Hepatirangga : Perspektif Baru Menyambut Lebaran



Menjelang berakhirnya bulan ramadhan masyarakat akan disibukkan dengan beragam aktivitas guna menyambut datangnya hari kemenangan. Setelah kaum muslimin menjalankan ibadah puasa selama sebulan penuh, mereka lalu dianggap telah memenangkan "peperangan", yaitu peperangan melawan hawa nafsu. Selama berpuasa, nafsu terhadap makanan, minuman, dan pemenuhan kebutuhan biologis dikontrol, agar manusia tidak melampaui batas dalam memenuhi ketiga kebutuhan pokok tersebut. Ketika kita mampu mengendalikan nafsu selama berpuasa, maka kita berarti telah memenangkan peperangan. Hari kemenangan tersebut adalah Hari Raya Idul Fitri. Idul fitri berarti kembali menjadi suci, atau kembali ke fitrah. Pada hari itu, kaum muslimin dianggap bebas dari segala dosa dan diibaratkan seperti kertas putih yang tidak memiliki noda. Dikalangan kaum muslimin, hari raya Idul Fitri lebih familiar di istilahkan dengan Lebaran.

Banyak ragam ekspresi kaum muslimin dalam menyambut datangnya lebaran. Membuat kue, membeli baju baru, membeli petasan dan kembang api, mengecat rumah, adalah beberapa aktivitas menjelang datangnya lebaran. Masyarakat Wakatobi mempunyai tradisi menarik dalam menyambut datangnya lebaran, yaitu Hepatirangga. Secara etimologi, Hepatirangga terdiri dari dua suku kata, yaitu He berarti memakai, dan Patirangga yaitu istilah lokal tumbuhan Pacar Kuku. Hepatirangga berarti aktivitas mewarnai kuku (tangan dan kaki) dengan menggunakan daun Pacar kuku sebagai bahan baku utamanya. Caranya adalah; daun pacar kuku ditumbuk atau dikunyah sampai halus, lalu daun pacar yang telah halus disimpankan diatas kuku sesuai porsinya, kemudian dibungkus dengan daun-daunan (mirip dengan daun jati, tapi posturnya lebih lunak). Biasanya, kualitas warna kuku yang diberikan daun pacar sangat ditentukan oleh tingkat kehalusan daun pacar kuku ketika dikunyah atau ditumbuk. Sewaktu kecil, siapa yang mempunyai kuku dengan kualitas warna merah tua yang bagus pasti akan sangat bangga. Sehingga tidak jarang, nenek pemakan sirih diminta jasanya untuk mengunyahkan daun pacar kuku guna mendapat hasil terbaik. Pada saat itu, ada keyakinan bahwa kualitas warna yang dihasilkan oleh daun pacar kuku yang dikunyah oleh nenek pemakan sirih adalah “the best”.

Tradisi Hepatirangga dilakukan pada malam ke-27 ramadhan, biasanya sampai tiga malam berturut-turut. Tujuannya adalah untuk mendapatkan hasil (warna) yang terbaik. Tentang mengapa dilakukan pada malam ke-27, belum ditemukan deskripsi yang komprehensif. Tetapi ketika ditanyakan mengapa sampai ada kebiasaan Hepatirangga pada masyarakat Wakatobi, maka muncullah cerita asal muasal tradisi tersebut. Diceritakan bahwa, pada zaman dahulu, ada salah satu keluarga yang hidup dalam kemiskinan. Hidupnya sangat sederhana, serba kekurangan, tetapi sangat taat dalam agama. Selama ramadhan, mereka istiqomah melaksanakan ibadah puasa serta ibadah-ibadah lainnya. Menjelang lebaran, para tetangga sedang sibuk membuat kue dan membeli baju baru untuk lebaran. Menyaksikan hal tersebut anak semata wayang mereka, kembali ke rumah dan berjumpa ayahnya. Setelah bertemu, sang anak bertanya kepada ayahnya, kapan akan dibelikan baju lebaran, sang ayah lalu menjanjikan kepada anak untuk memberikan sesuatu yang “istimewa” sebagai hadiahnya di hari lebaran karena telah melakukan puasa sebulan penuh. Tiga malam sebelum lebaran, ayahnya mengambil daun pacar kuku di kebun, dan ketika malam tiba, sang anak di hepatirangga oleh ibunya sebelum tidur. Ketika bangun pagi dan membuka semua bungkusan jari-jari tangan dan kakinya, disaksikanlah warna merah jingga disemua jarinya. Sang anak senang kegirangan, sampai ketika lebaran, disaat teman-temannya menggunakan baju baru, dia hanya menggunakan pakaian yang biasa dikenakan setiap harinya. Tetapi, yang justru dikerumuni oleh orang banyak adalah “si miskin”, karena hiasan yang ada disetiap jarinya.

Baju baru, sajadah dan mukena baru, kue lebaran, dan petasan, adalah salah satu pendekatan dalam menyambut lebaran, dan hepatirangga adalah pendekatan lain dalam menyambut lebaran. Tidak semua orang memiliki kecukupan  untuk menyambut lebaran dengan baju baru, dan sebagainya. Substansi berlebaran adalah bergembira menyambut hari kemenangan, kemenangan melawan hawa nafsu sehingga kembali menjadi fitrah. Dengan demikian, setiap insan bebas mengekspresikan kegembiraannya dalam menyambut lebaran. Hepatirangga kini menjadi tradisi, kebiasaan yang telah dilakukan secara turun temurun. Tetapi, pada saat itu ia menjadi perspektif baru dalam merayakan hari kemenangan (Idul Fitri).Wallahu a'lam bish-shawab

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Hepatirangga : Perspektif Baru Menyambut Lebaran"

Posting Komentar