Ilustrasi |
Hanya
berselang beberapa menit, video tersebut menjadi viral di media sosial. Beragam
tanggapan atas video tersebut bermunculan, sangat banyak yang menyesalkan,
terutama yang merasa sebagai alumni. Bagi mereka, semestinya ekspresi kelulusan
dirayakan sewajarnya, dan baju seragam yang dimiliki selayaknya dihibahkan
kepada mereka yang masih membutuhkan. Banyak cara yang terpuji untuk menuangkan
kegembiraan karena telah lulus, dibanding harus melakukan coret-moret apakah
lagi dengan goyangan erotis. Namun ada juga yang menganggap goyangan erotis itu
sebagai hal yang wajar, sebagai sesuatu yang biasa saja. Toh kesuksesan
seseorang tidak ditentukan oleh seberapa tinggi tingkat pendidikannya, namun
ditentukan oleh usaha masing-masing. Banyak contoh kasus, bahwa pendidikannya
tidak tinggi-tinggi amat, namun dapat menjadi orang sukses atau orang kaya raya.
Kurang lebih seperti itulah argumentasi kelompok yang menganggap goyangan
erotis siswa yang merayakan kelulusan sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja.
Atas dasar
perdebatan tersebut, maka akan lebih bijak jika ekspresi kelulusan dan
kesuksesan seseorang dilihat pada ruang yang terpisah. Ekspresi kelulusan
dilihat sebagai sesuatu yang tidak terpisahkan dari tujuan menuntut ilmu di
sekolah, oleh karena itu mempunyai hubungan yang erat dengan fungsi sekolah.
Sedangkan kesuksesan seseorang dipandang sebagai rangkaian dari upaya pemenuhan
kebutuhan hidup dan aktualisasi diri. Dengan demikian, sukses tidak hanya dilihat dalam konteks
fisik-jasmaniyah, tetapi juga dalam aspek psikis-rohaniyah.
Apa tujuan seorang
anak bersekolah, dan untuk apa orang tua menyekolahkan anaknya? Tentu bukan
untuk sukses, karena sesungguhnya anak maupun orang tua tahu bahwa mencapai
sukses itu membutuhkan usaha yang serius dan proses yang panjang. Seorang anak
bersekolah atau disekolahkan oleh orang tuanya dengan satu harapan yakni
mendapatkan pengetahuan sebagai bekalnya mengarungi kehidupan. Dengan
pengetahuan yang mereka peroleh di sekolah, mereka dapat membaca, menulis, dan
menghitung, dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, dapat memilah
mana yang indah dan mana yang norak, mengetahui yang dilarang dan yang tidak
dilarang, membedakan perbuatan yang sesuai hukum dengan yang melanggar hukum, termasuk
memilah mana yang etis dan mana yang erotis, dan lain sebagainya. Sejumlah
pengetahuan tersebut diyakini dapat menjadi bekal siswa untuk mewujudkan
kehidupan yang rukun dalam masyarakat. Hal ini sejalan dengan fungsi sekolah
yaitu mewujudkan keteraturan sosial. Guna memenuhi harapan tersebut maka
disusunlah dokumen kurikulum yang terdiri dari kelompok mata pelajaran untuk
dipelajari oleh anak di sekolah. Kurikulum ini sifatnya sequen, artinya
disusun secara sistematis berdasarkan level kelas dan jenjang sekolah.
Ketuntasan materi pelajaran pada masing-masing level akan disertai dengan
kenaikan kelas, sedangkan ketuntasan pada setiap jenjang akan diakhiri dengan
kelulusan. Indikator untuk menentukan kenaikan kelas dan atau kelulusan seorang
siswa diukur dengan melihat tiga domain pembelajaran, yakni kognitif
(pengetahuan), afektif (sikap), dan psikomotor (keterampilan). Seorang anak
yang dinyatakan naik kelas atau lulus ujian berarti memiliki pengetahuan yang baik,
sikap dan prilaku yang baik, serta keterampilan yang baik.
Adanya
sekelompok siswa yang melakukan goyangan erotis dalam lingkungan sekolah,
sesungguhnya mengirim pesan kepada dewan gurunya bahwa mereka sebenarnya belum
layak lulus sekolah. Indikatornya jelas, bahwa domain afektifnya belum tuntas
karena belum mampu membedakan mana yang pantas dengan yang tidak pantas
dilakukan di depan umum. Jika domain afektifnya sudah tuntas, maka tidak
semestinya goyangan norak, tidak etis dan tidak punya nilai estetika itu
dilakukan dihadapan halayak ramai. Pesan kedua adalah belum maksimalnya fungsi
sekolah. Pihak sekolah belum mampu melakukan fungsi prefentif guna mencegah
berbagai hal yang terjadi pada acara pelulusan. Bukankah sekolah adalah sistem,
bukankah sekolah memiliki perangkat aturan yang mengikat semua komunitas
sekolah. Goyangan erotis yang dipertontonkan oleh sekelompok siswa dalam
lingkungan sekolah adalah bukti bahwa sekolah telah gagal membina mental dan
kepribadian mereka. Pesan ketiga adalah tidak tercapainya harapan orang tua,
yakni menyekolahkan anaknya untuk mendapatkan pengetahuan sebagai bekalnya
mengarungi kehidupan. Silahkan hal ini diperdebatkan, tapi orang tua manapun
pasti akan bersedih ketika mengetahui anaknya melakukan sesuatu yang tidak sepatutnya
dilakukan.
Bagaimana
dengan kesuksesan seseorang? Dalam ajaran agama (Islam), kesuksesan seseorang
tidak ditentukan oleh seberapa tinggi sekolahnya, seberapa pintar gurunya, atau
seberapa kaya orang tuanya. Kesuksesan seseorang sangat tergantung pada
usahanya sendiri (lihat QS Ar-Ra’ad:11). Tetapi, dalam melaksanakan usaha guna
mendapatkan hasil, seseorang atau kelompok diikat oleh ketentuan. Islam
mengharuskan terpenuhinya dua aspek dalam berusaha yakni halal (diperbolehkan)
dan thayyib (baik). Halal berkaitan dengan hasil usaha dalam
bentuk barang atau benda, sedangkan thayyib berhubungan dengan cara yang
digunakan. Berdagang adalah cara yang baik (thayyib) tetapi jika yang
diperdagangkan adalah minuman keras, maka muniman kerasnya tidak halal.
Menjadi pejabat adalah halal (diperbolehkan) namun jika jabatan itu
diperoleh dengan jalan sogok, maka caranya tidak thayyib (baik), dengan
demikian agama melarangnya. Aspek yang ditekankan oleh agama adalah menjadi
pejabat (halal) atas dasar prestasi dan kinerja (thayyib), menjadi
pengusaha walaupun hanya dengan warung pojok yang sempit tetapi menjual makanan
dan minuman yang halal dan baik, pada konteks inilah kesuksesan bersemayam.
Seorang WTS, pemilik bar, penyanyi dengan pakaian seksi dan goyangan erotis,
pengedar narkoba, penjudi, dan lain sebagainya, bisa saja menjadi kaya raya.
Namun dalam konteks agama mereka bukanlah orang-orang yang sukses, karena usaha
yang dilakukan tidak halal dan thayyib. Demikian pula pelaku
korupsi bisa saja menjadi sangat kaya, pelaku sogok dapat saja memiliki jabatan
sangat tinggi, tetapi karena cara yang digunakan tidak thayyib (baik)
maka agama justru memandangnya sebagai orang yang tercela, bukan orang yang
sukses. Pemenuhan aspek halal dan thayyib dalam setiap usaha, tidak
hanya menjamin kesuksesan secara fisik-jasmaniyah semata, tetapi juga menjamin
kesuksesan secara psikis-rohaniyah.
Lalu, bagaimana
dengan siswa yang mengekspresikan kelulusannya dengan melakukan goyang erotis
di sekolah? Semoga ke depannya menjadi orang sukses sebagaimana yang diharapkan
gurunya, orang tuanya, dan ia sendiri. Toh Tuhan tidak akan merubah nasib
seseorang kecuali dia sendiri yang merubahnya. Artinya, kesuksesan seseorang
tidak terkait dengan apa yang ia lakukan ketika menamatkan sekolahnya pada salah
satu jenjang pendidikan tertentu. Tetapi melakukan goyangan erotis dihadapan
orang banyak merupakan sikap yang tidak terdidik sekaligus tidak mendidik. Semoga
kita dapat mengambil hikmah, sembari berharap bahwa kejadian yang sama tidak
kembali terulang. Wallahu a’lam bish-shawab
Komp.
Samirono, Sleman DIY, 6/5/2018
Super, pak doktor.👍
BalasHapusDepo Pulsa 25rb Dan Bonus Chip Gratis Bermain Dragon Tiger
BalasHapus================================================
BalasHapusSlot Deposit Via Pulsa 10 Ribu
Live Chat Agen S12888
ID303
Situs Poker Online Uang Asli
Situs Judi Online Uang Asli
Link Alternatif Fifapoker
Bonus Special Sabung Ayam Online Hari Natal dan Tahun Baru
Bonus Special Sabung Ayam Online Hari Natal dan Tahun Baru
Bonus Special Sabung Ayam Online Hari Natal dan Tahun Baru
================================================