Ilustrasi |
Orang Liya, ketika mendengarkan istilah ini mungkin akan banyak yang
bertanya. Siapa, dimana, dan bagaimana Orang Liya itu? Hal ini sangat wajar,
karena Liya sendiri bukanlah satu kelompok etnis seperti halnya Jawa, Sunda,
Bugis, Padang, Madura, Batak, Kaili, dan lain sebagainya. Liya adalah salah
satu sub-etnis Buton yang mendiami wilayah bagian timur pulau Wangi-Wangi.
Wangi-Wangi sendiri adalah salah satu pulau dari empat pulau yang pada masa
kekuasaan kesultanan Buton menjadi sistem pertahanan laut bagian timur. Selain
Wangi-Wangi, ada Kaledupa, Tomia, dan Binongko yang kemudian tergabung dalam
sebuah barata yang disebut dengan Barata Kahedupa. Saat ini keempat pulau
tersebut telah terbentuk menjadi satu kabupaten, yaitu Kabupaten Wakatobi.
Mengenal Orang Liya
Istilah
Liya dapat dipahami dalam beberapa pengertian. Pertama, Liya sebagai istilah geografis. Istilah ini mengacu pada
nama sebuah desa yang terletak dibagian timur pulau Wangi-Wangi. Saat ini,
wilayah Liya telah terbagi menjadi empat desa, yaitu Desa Liya Togo, Desa Liya
Bahari Indah, Desa Liya Mawi, dan Desa Liya One Melangka. Keempat desa tersebut
masuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Wangi-Wangi Selatan, Kabupaten Wakatobi.
Kedua, Liya sebagai nama sebuah
wilayah otonom pada masa kekuasaan Kesultanan Buton yang di istilahkan dengan kadie. Posisi kadie adalah struktur pemerintahan terendah tetapi diberikan
otonomi khusus oleh kesultanan. Ketiga,
Liya sebagai istilah untuk menyebut kelompok masyarakat yang mendiami wilayah tertentu dan merupakan
sub-etnik Buton dengan dialek bahasa yang berbeda dengan suku bangsa Buton
lainnya. Karena dialeknya, orang Liya sangat mudah di identifikasi terutama
ketika menggunakan bahasa daerah (lokal).
Secara kebahasaan, Liya berarti liang atau
lubang, penamaan ini mempunyai akar historis. Dalam tradisi lisan yang
berkembang pada masyarakat Liya, dikisahkan bahwa, pada zaman dahulu kala, ada
seorang anak remaja yang bernama La Banongke, berkeliling kampung sambil membawa
ayam jagonya untuk diadu dengan ayam jago lainnya (Sanfun-safu). Namun, ayam tersebut tiba-tiba lepas dan berlari meninggalkan
La Banongke. Karena rasa sayangnya dengan ayam tersebut, La Banongke lalu mengejar, namun ayam tersebut tidak dapat ditangkapnya. Hingga ayam itu berlari
dan masuk ke dalam gua, La Banongke pun ikut masuk ke dalam. Namun, naas
menimpa La Banongke, didalam gua dia tersesat, ia tidak menemukan ayam
kesayangannya dan juga tidak menemukan jalan kembali atau keluar dari dalam gua.
La Banongke terus berjalan, setiap celah-calah gua dilewatinya dengan
bermodalkan insting dan meraba. Dia terus berjalan ditengah kegelapan tanpa
arah, tanpa penerang, dan tanpa teman diskusi. Hingga suatu ketika, dia melihat
setitik cahaya yang muncul dari arah bagian depan, cahaya itu dilihatnya kecil
dengan posisi berada di ketinggian. La Banongke berdiri mematung, sambil terus
menengadah, memandang dan memastikan kebenaran cahaya yang dilihatnya. Setelah
yakin, ia lalu mengikuti jejak cahaya tersebut. Dilihatlah sebuah lubang kecil
yang terus ia datangi, lalu dia masuki. Dari lubang itulah La
Banongke mendapatkan jalan keluar dari dalam gua tempatnya tersesat. Ternyata,
cahaya yang dilihatnya adalah sinar matahari yang masuk ke dalam gua melalui
lubang kecil tersebut. Ketika menemukan jalan keluar dari dalam gua, La Banongke
sudah tidak muda lagi, dia sudah tua, kumis, jenggot dan brewok memenuhi
wajahnya. Sampai-sampai masyarakat hampir tidak mengenalnya lagi jika dia tidak
mengenalkan diri. Ketika orang-orang bartanya, "Hei….La Banongke, dari mana
saja, mengapa baru kelihatan? Dia lalu menjawab, 'saya pergi mencari ayamku'. Ketika
ditanya, selama dalam pencarian, kamu makan apa saja? Dia lalu menjawab, tai di bobosu ku kammakuki (setiap yang
menempel dipipiku, saya tangkap lalu saya makan).
Masyarakat Liya sendiri belum dapat
memastikan apakah cerita tersebut hanyalah mitos belaka atau fakta. Tetapi,
jejak cerita La Banongke masih dapat kita temukan di Desa Liya Togo. Gua yang
dimasuki untuk mengejar dan mencari ayamnya, kini disebut dengan Loba La Banongke atau Gua La Banongko.
Posisi gua tersebut bersebelahan dengan Air Tamba’a,
air ‘wajib’ setiap masyarakat Liya melaksanakan ritual tradisi hedhasena atau hefale-falea. Sedangkan liang atau lubang tempat keluarnya La
Banongke dari dalam gua berada di sisi kiri bagian depan lapangan masjid
keraton Liya (Masjid Mubaraq). Saat ini, lubang tersebut telah dibangunkan
sebuah tugu sebagai menara ‘pengabadian’ nama Liya.
Berdiaspora
Secara
demografis, Liya terletak di daerah ketinggian, sehingga aktifitas
masyarakatnya mengharuskan untuk ‘mendaki gunung dan menuruni lembah’ setiap
saat. Berangkat ke kebun, pergi melaut, mengambil air atau kayu bakar,
berangkat ke sekolah, semua dimulai dengan menuruni lembah (pergi) dan mendaki
gunung (pulang) dengan berjalan kaki. Untuk keperluan air bersih, Liya
sebenarnya dikelilingi oleh mata air yang jernih dan tawar, tetapi posisinya
agak jauh dan berada di lembah. Ada ufe
kohonda’o, ufe afatu, te’e lange-lange, ufe efula’a, ufe balaoni, te’e mo’ori,
te’e meantu’u, tamba’a, dan esaho,
adalah beberapa sumber mata air yang menjadi konsumsi orang Liya. Struktur
tanah pada wilayah Liya juga tidak subur. Batu lebih dominan daripada tanah,
sehingga oleh masyarakat menyebutnya dengan ‘batu bertanah’ bukan ‘tanah
berbatu’. Mata pencaharian utama masyarakatnya adalah bertani dan melaut. Tetapi,
hasil kebun dan laut tidak dapat memenuhi kebutuhan keluarga secara maksimal. Tanaman
pokok yang di budidayakan adalah jagung yang dipanen tidak lebih dari sekali
dalam semusim dan ubi kayu yang hanya bisa di panen dalam waktu satu atau dua
tahun. Kondisi alam yang tidak menjanjikan ini membuat kebanyakan Orang Liya
memilih keluar dari daerahnya, mencari nafkah di negeri orang, entah sebagai
pelayar, pedagang, buruh, dan pekerjaan lainnya yang halal diperantauan. Inilah
alasan utama mengapa orang Liya berdiaspora, bertebaran ke berbagai penjuru
negeri.
Dalam perantauan, orang Liya tersebar melakukan migrasi ke berbagai
daerah. Di daerah baru yang mereka datangi, mereka melakukan adaptasi, mencari dan
menemukan pekerjaan baru yang lebih menjanjikan. Di wilayah timur, mereka
tersebar mulai dari Namlea, Banda, Ambon, Seram, Tual, Dobo, Saumlaki, hingga Papua. Tanah Rata adalah nama kampung di Banda dimana ditemukan banyak Orang
Liya; Silale adalah nama ‘kampungnya’ orang Liya di Ambon; Laha Islam di Seram
adalah tempat dimana orang Liya banyak bermukim; dan hampir semua daerah-daerah
di wilayah Maluku hingga pedalaman Papua juga ditemukan orang Liya. Demikian
pula wilayah Maluku Utara, mulai dari Taliabo, Mangole, Sanana, Kepulauan
Bacan, hingga masuk ke Ternate, Tidore, dan Halmahera juga ditemukan banyak
Orang Liya. Pada beberapa wilayah di Kalimantan seperti; Balikpapan, Samarinda,
Tarakan, Nunukan, Berau, Tenggarong, dan sebagainya juga banyak ditemukan Orang
Liya. Bahkan di Samarinda terdapat daerah yang khusus didiami oleh orang-orang
Liya, kampung tersebut terletak di bilangan RSI Samarinda, berada di ketinggian,
mirip dengan Desa Liya. Pada wilayah barat, Orang Liya juga banyak melakukan
migrasi hingga sampai ke pulau Bangka dan Kepulauan Riau. Seorang teman,
menginformasikan bahwa beberapa keluarga dari Liya menetap di daerah Tanjung
Priok dan daerah Warakas.
Ada dua pola migrasi orang Liya. Pertama, pola merantau. Pada
pola ini, daerah yang didatangi dianggap sebagai daerah mencari rezki. Karena
hanya mencari rezki, maka keluarga tidak dibawa serta, tetapi ditinggal
dikampung halaman. Dengan demikian, keberadaannya di daerah perantauan tidak
dalam jangka waktu yang lama, biasanya cukup dua sampai tiga tahun. Setelah itu
dia akan kembali ke kampung (Liya), lalu kembali merantau, dan proses ini
berjalan secara berulang. Bisa jadi akan kembali merantau ke daerah yang sama
atau mencoba petualangan baru di daerah yang lain. Kedua, pola menetap.
Berbeda dengan pola pertama, pola ini menganggap daerah yang didatangi selain
untuk mencari rezki juga tempat menetap atau bertempat tinggal. Oleh karena
mencari rezki sekaligus menetap, maka keluarga dibawa serta. Biasanya, siapa
saja yang bermigrasi dengan pola ini jangka waktunya adalah lama atau bahkan
selamanya. Mereka akan kembali ke Liya hanya sekedar untuk bersilaturrahmi
dengan keluarga, ada hajatan keluarga, atau sekedar mengobati rasa rindu dengan
kampung halaman. Waktu yang selalu digunakan untuk pulang kampung adalah
menjelang lebaran idul fitri atau lebaran haji.
Perubahan Orientasi
Bisa jadi karena faktor
lingkungan, atau effect migrasi baik
pola pertama maupun pola kedua, lalu merubah orientasi masyarakat liya yang
saat ini tinggal di Liya. Cerita para perantau yang sukses dirantau orang, ikut
mempengaruhi cara pandang masyarakat liya dalam pemenuhan kebutuhan hidup. Fenomena
ini mulai terbaca, ketika melakukan perjalanan laut di wilayah Liya. Biasanya,
ketika kita melakukan perjalanan laut, kita akan menemukan banyak perahu yang
dilabuhkan disetiap pesisir pantai, mulai dari Ambiha, Hu’uno, Loponi, Dongkala, hingga sampai Kema, Uloho, Ponta, dan Untu. Begitupula di pulau Sumanga
dan pulau Oroho. Banyaknya perahu
yang dilabuhkan di setiap pesisir pantai menjadi gambaran aktivitas masyarakat
Liya. Ada yang berkebun, menanam rumput laut, mencari kayu bakar, menjaring
ikan, memancing, mencari teripang, dan lain sebagainya. Sekarang, gambaran
tersebut sudah berubah. Tidak ada lagi perahu yang dilabuhkan di pesisir pantai,
kalaupun ada hanya tinggal sedikit saja. Kondisi ini menggambarkan adanya
perubahan orientasi masyarakat liya.
Dahulu, masyarakat Liya
menggantungkan hidupnya pada dua sektor utama, yaitu pertanian dan kelautan.
Kini, kedua profesi tersebut perlahan sudah mulai ditinggalkan. Masyarakat Liya
mulai banyak yang memasuki dunia pasar, dunia jasa, dan pemerintahan. Kita
misalnya dapat melihat bahwa sangat banyak penjual di pasar sentral Wakatobi
adalah orang Liya (diperkirakan sekitar 50%), rute yang paling banyak dilayani
mobil angkot adalah jalur Sentral-Liya. Dunia birokrasi dan pendidikan juga
sudah mulai dimasuki oleh orang Liya. Sampai dengan tahun 90-an, pemuda Liya
banyak merantau ke luar negeri terutama ke Malaysia dan Singapura, sekarang lebih
banyak memasuki jenjang pendidikan tinggi atau berwiraswasta. Gambaran ini
menunjukan bahwa ada perubahan orientasi pada masyarakat Liya, yaitu mulai
memasuki dunia bisnis, dunia birokrasi, dunia pendidikan, dan dunia jasa. Dunia
lama yang mereka geluti yaitu mengandalkan kemampuan fisik namun tidak menjanjikan, mulai
ditinggalkan. Mereka mulai memasuki dunia baru yang lebih prospektif, dunia yang mengandalkan
kemampuan otak dan skill.
Meskipun demikian, bukan
berarti bahwa bumi dan lautnya orang Liya sudah mulai ditinggalkan. Kebun masih
diurus, laut juga masih didatangi. Tetapi kebun dan laut tidak lagi menjadi
sumber mata pencaharian utama. Kalaupun masih menjadi yang utama, kebun dan
laut seolah sudah menjadi ranahnya kaum laki-laki, tidak lagi melibatkan kaum perempuan.
Semoga dengan perubahan orientasi ini, bumi dan lautnya orang Liya, tetap
terjaga. Wallahu a’lam bish-shawab
Belum ada tanggapan untuk "Orang Liya: Diaspora, dan Perubahan Orientasi"
Posting Komentar