www.fastabiqu.com |
Namun
demikian, kita juga patut berbangga bahwa negeri ini memiliki para pendahulu yang
begitu gigih memperjuangkan Indonesia agar terbebas dari penjajahan. Mereka
memiliki keterbatasan persenjataan, memiliki modal finansial seadanya, tapi
memiliki jiwa nasionalisime yang kuat, semangat persatuan yang kokoh sehingga secara
konsisten berjuang merebut kemerdekaan. Ada yang meninggal sebelum
perjuangannya berhasil merebut kemerdekaan, tetapi mereka telah mampu
meletakkan fondasi dan semangat perjuangan sehingga terwariskan pada setiap
generasi penerus. Kelompok ini, dalam perspektif historis dikenal sebagai
pahlawan pra-kemerdekaan. Mereka berjuang merebut kemerdekaan, tetapi meninggal
belum sampai mencapai kemerdekaan. Ada juga yang perjuangannya dilakukan sampai
mencapai kemerdekaan, berhasil mengusir penjajah dari negeri tercinta ini,
berhasil mengibarkan bendera merah putih, dan ikut merumuskan dan membacakan
Proklamasi kemerdekaan. Mereka yang tergabung ke dalam kelompok ini dalam
perspektif sejarah dikenal sebagai pahlawan kemerdekaan. Baik pahlawan
pra-kemerdekaan, maupun pahlawan kemerdekaan, memiliki peran yang sama penting
dengan ukuran yang tidak ternilai dalam perjuangan mencapai kemerdekaan.
Sebagai penghargaan atas jasanya, baik pahlawan pra-kemerdekaan maupun pahlawan
kemerdekaan, keduanya diistilahkan dengan Pahlawan Nasional.
Diantara
sekian banyak tokoh yang tergabung dalam kategori pahlawan pra kemerdekaan
adalah K.H Ahmad Dahlan. Tokoh kharismatik ini dikenal sebagai pendiri
organisasi keagamaan yang disebut Muhammadiyah. Kisah tentang peperangan yang
dilakukan untuk menentang penjajah memang tidak terlalu banyak. Tetapi
perjuangannya melalui Muhammadiyah diakui telah banyak memberikan pencerahan
kepada masyarakat. Pada satu sisi, kegiatan amar
ma’ruf nahi mungkar yang dilakukan untuk memberantas praktek keagamaan yang
dianggap sudah melenceng dari ajaran Islam (Tahayyul, Bid’ah, dan Churafat)
telah menumbuhkan keasadaran beragama bagi umat Islam Indonesia yang sesuai
dengan Al-Qur’an dan Hadist. Pada sisi yang lain, sistem pendidikan yang telah
dikembangkan oleh K.H Ahmad Dahlan melalui Muhammadiyah ikut mengambil peran
yang tidak sedikit dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Masyarakat Indonesia
mengalami penindasan, pembodohan, kerja paksa, dan segala perbuatan yang tidak
manusia dari penjajah dalam kurun waktu yang tidak singkat. Sekolah disediakan
oleh Belanda hanya untuk kalangan tertentu saja, dan hanya untuk kepentingan
memperkokoh penjajahan. Akibatnya masyarakat konsisten dengan kebodohannya.
Muhammadiyah dengan sistem pendidikannya yang khas telah menjadi wadah menumbuhkan pengetahuan dan kualitas
sumber daya manusia (SDM) Indonesia sehingga menyadari nasib bangsanya yang
terjajah. Melalui sekolah-sekolah Muhammadiyah, lahirlah generasi-generasi yang
cerdas dan pemberani yang kemudian secara bersama-sama berjuang merebut
kemerdekaan. Jenderal Sudirman, Presiden Sukarno, dan Presiden Suharto, adalah
tiga diantara sekian banyak pejuang yang merupakan alumni sekolah Muhammadiyah.
Dalam konteks ini, penting untuk
menguraikan pemikiran pendidikan K.H Ahmad Dahlan dalam perspektif humanis
religious. Melalui perspektif humanis, kita dapat memahami dimensi-dimensi
kemanusiaan yang menjadi fokus K.H Ahmad Dahlan melalui Muhammadiyah, dan
dengan perspektif religius kita dapat mengetengahkan landasan dan tujuan
perjuangannya melalui Muhammadiyah. Antara gagasan pembaharuan K.H Ahmad Dahlan
dengan Muhammadiyah tidak dapat dipisahkan. Mengapa? Karena selain Muhammadiyah
diposisikan sebagai wahana dakwah dalam pemberantasan Tahayyul, Bid’ah, dan
Churafat (TBC) yang menjadi symbol kejumudan Umat Islam Indonesia pada saat
itu, Muhammadiyah sendiri adalah wujud konkrit dari ide-ide pembaharuan K.H
Ahmad Dahlan. Tanpa Muhammadiyah, nampaknya akan sulit menghadirkan pemikiran
pendidikan K.H Ahmad Dahlan secara komprehensif.
Riwayat Hidup K.H. Ahmad Dahlan
Nama kecil Kyai Haji Ahmad Dahlan adalah
Muhammad Darwis. Beliau dilahirkan di Kauman Yogyakarta dari pernikahan Kyai
Haji Abu Bakar dengan Siti Aminah pada tahun 1285 H (1868 M). Kyai Haji Abu
Bakar adalah Khatib di Masjid Agung Kesultanan Yogyakarta, sedangkan ibunya
Siti Aminah adalah puteri dari H. Ibrahim yang merupakan penghulu Kesultanan Yogyakarta
pada masa itu. Kampung
Kauman sebagai tempat kelahiran dan tempat Muhammad Darwis dibesarkan merupakan
lingkungan keagamaan yang sangat kuat, yang berpengaruh besar dalam perjalanan
hidup Muhammad Darwis di kemudian hari. K.H Ahmad Dahlan belajar mengaji
sekitar tahun 1875 dan masuk pondok pesantren. Sejak kanak-kanak Muhammad Darwis
kecil sudah diberikan pelajaran dan
pendidikan agama oleh orang tuanya, oleh para guru (ulama) yang ada di dalam
masyarakat lingkungannya. Pengetahuan yang dimiliki sebagian besar merupakan
hasil otodidaknya, kemampuan membaca dan menulisnya diperoleh dari belajar
kepada ayahnya, sahabatnya dan saudara-saudaranya. Ia di didik sendiri melalui
cara pengajian yaitu dengan menirukan kalimat-kalimat atau bacaan yang
diajarkan oleh ayahnya (Asrofie M. Yusron; 1983, 21).
Ketika masih muda, K.H Ahmad Dahlan
terkenal memiliki pikiran yang cerdas dan memiliki akal budi yang bersih dan
baik. Pendidikan agama yang diterima dipilih secara selektif tidak hanya itu
tetapi sesudah dipikirkan di bawa dalam perenungan-perenungan, ingin
dilaksanakannya dengan sebaik-baiknya. Waktu menjelang dewasa K.H Ahmad Dahlan
belajar Ilmu Fiqih kepada KH Muhammad Shaleh, belajar Ilmu Nahwu kepada K.H
Muhsin, kemudian gurunya yang lain ialah KH Abdul Hamid. Keahlian dalam Ilmu
Falaq, diperoleh dari belajar dan berguru kepada K.H Raden Dahlan salah seorang
putra Kyai Termas dan yang terakhir Ilmu Hadits dipelajarinya dari Kyai Mahfud
dan Syekh Khayyat.
Pada usia 22 tahun (1890) dengan
bantuan kakaknya (Nyai Hajah Sholeh) beliau berangkat ke Makkah, dan belajar
disana selama satu tahun untuk memperdalam ilmu pengetahuan tentang Islam. Setelah
kembali ke Yogyakarta K.H Ahmad Dahlan membantu ayahnya mengajar pengajian
anak-anak namun pada kesempatan-kesempatan yang memungkinkan sering pula K.H
Ahmad Dahlan mewakili ayahnya memberikan pelajaran keagamaan kepada orang-orang
yang usianya lebih tua dari dirinya sendiri. Keadaan itu telah menyebabkan
pengaruhnya dalam masyarakat semakin luas karena masyarakat semakin yakin bahwa
K.H Ahmad Dahlan adalah seorang yang memiliki ketaatan beragama yang baik serta
mempunyai pengetahuan yang luas, baik dalam ilmu maupun dalam penalangan akal
budi. Oleh sebab itu, K.H Ahmad Dahlan diberikan gelar “Kyai”. Menurut catatan Junus Salam, beberapa buku
yang pernah dibaca oleh K.H Ahmad Dahlan diantaranya adalah; Kitab Tauhid, Tafsir Juz’Amma, ai-Islam wa
an-Nashraniyyah (ketiganya karya Muhammad Abduh), Kanzul Ulum, Dairatul Ma’arif (karya Farid Wajdi), at-Tawassul wa al-Washilah (karya Ibnu
Taimiyah), Izharul Haq (karya
Rahmatullah al-Hindi), Tafsir al-Manar
(karya Rasyid Ridha), Matan al-Hikam
(karya Ibn Athaillah), al-Qashaid
ath-Tahsiyah (karya Abdullah Al-Attas), Tafsilu
an-Nasyatain Tafsilu asy-Syahadatain, kitab-kitab hadis karangan ulama
mazhab Hambali, majalah al-Urwatu
al-Wustaqa, dan lain-lain (Mu’arif; 2014, 136).
Dalam silsilah
keluarga, beliau termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik
Ibrahim, seorang wali besar dan seorang yang terkemuka di antara Wali Songo
(wali Sembilan), yang merupakan pelopor pertama dari penyebaran dan pengembangan
Islam di tanah Jawa.
Pemikiran
Pendidikan K.H. Ahmad Dahlan
Menurut
K.H. Ahmad Dahlan, pendidikan Islam hendaknya diarahkan pada usaha
membentuk manusia muslim yang berbudi pekerti luhur, alim dalam agama, luas
pandangan dan paham masalah ilmu keduniaan, serta bersedia berjuang untuk
kemajuan masyarakatnya. Tujuan pendidikan tersebut merupakan pembaharuan dari
tujuan pendidikan yang saling bertentangan pada saat itu yaitu pendidikan
pesantren dan pendidikan sekolah model Belanda. Di satu sisi pendidikan
pesantren hanya bertujuan utnuk menciptakan individu yang salih dan mendalami
ilmu agama. Sebaliknya, pendidikan sekolah model Belanda merupakan pendidikan
sekuler yang didalamnya tidak diajarkan agama sama sekali.
Melihat
ketimpangan tersebut K.H Ahamd Dahlan berpendapat bahwa tujuan pendidikan yang
sempurna adalah melahirkan individu yang utuh menguasai ilmu agama dan ilmu
umum, material dan spritual serta dunia dan akhirat. Bagi K.H. Ahmad Dahlan kedua hal tersebut
(agama-umum, material-spritual dan dunia-akhirat) merupakan hal yang tidak bisa
dipisahkan satu sama lain. Inilah yang menjadi alasan mengapa KH. Ahmad Dahlan
mengajarkan pelajaran agama dan ilmu umum sekaligus di Madrasah Muhammadiyah.
Bagi K.H Ahmad Dahlan, kurikulum atau materi pendidikan hendaknya meliputi tiga
hal, yaitu; 1) Pendidikan moral, akhlaq yaitu sebagai usaha menanamkan karakter
manusia yang baik berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, 2) Pendidikan individu,
yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesadaran individu yang utuh yang
berkesinambungan antara perkembangan mental dan gagasan, antara keyakinan dan
intelek serta antara dunia dengan akhirat, dan 3) Pendidikan kemasyarakatan
yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesediaan dan keinginan hidup
bermasyarakat.
Pada masa sebelum kemerdekaan, ada
dua sistem pendidikan yang berkembang di Indonesia, yaitu pendidikan pesantren
dan pendidikan barat. Pendidikan pesantren lebih banyak dikembangkan oleh para
pemuka Agama khususnya yang berafiliasi dengan Nahdatul Ulama (NU), sedangkan
pendidikan barat adalah yang dikembangkan oleh Belanda. K.H Ahmad Dahlan
berpandangan bahwa, ada problem mendasar berkaitan dengan lembaga pendidikan di
kalangan umat Islam, khususnya lembaga pendidikan pesantren. Menurut Syamsul
Nizar, dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam, menerangkan bahwa problem
tersebut berkaitan dengan proses belajar-mengajar, kurikulum, dan materi
pendidikan. Berdasarkan realitas pendidikan tersebut, K.H. Ahmad Dahlan
menawarkan sebuah metode sintesis antara metode pendidikan modern Barat dengan
metode pendidikan pesantren. Dari sini tampak bahwa lembaga pendidikan yang dikembangkan
oleh K.H. Ahmad Dahlan berbeda dengan lembaga pendidikan Pondok Pesantren dan
lembaga Pendidikan Barat. Metode pembelajaran yang dikembangkan K.H. Ahmad Dahlan
bercorak kontekstual melalui proses dialogis dan penyadaran. Dengan demikian,
penekanan materi pelajaran tidak dipahami secara dogmatis, tetapi dipahami
secara dialektis. Contoh klasik adalah ketika beliau menjelaskan surat al-Ma’un
kepada santri-santrinya secara berulang-ulang sampai santri itu menyadari bahwa
surat itu menganjurkan supaya kita memperhatikan dan menolong fakir-miskin, dan
harus mengamalkan isinya. Bagi K.H Ahmad Dahlan, pelajaran agama tidak cukup
hanya dihafalkan atau dipahami secara kognitif, tetapi harus diamalkan sesuai
situasi dan kondisi. Pada konteks ini, Ahmad Dahlan menekankan pentingnya
kontekstualisasi pemahaman Agama. Artinya, pemahaman agama tidak cukup pada
tingkatan tekstual, tetapi harus dapat diaplikasikan secara kontekstual.
Beberapa perbedaan model belajar yang digunakan pada pendidikan di pesantren
dengan pendidikan yang diajarkan oleh Ahmad Dahlan adalah sebagai berikut:
- Cara belajar-mengajar di pesantren menggunakan sistem Weton dan Sorogal, sedangkan pada Madrasah yang dibangun Ahmad Dahlan menggunakan sistem masihal seperti yang diterapkan pada sekolah Belanda.
- Bahan pelajaran di pesantren mengambil kitab-kitab agama (klasik). Sedangkan pada madrasah yang dibangun Ahmad Dahlan bahan pelajarannya diambil dari buku-buku umum.
- Hubungan antara guru-murid, di pesantren hubungan guru-murid biasanya terkesan otoriter karena para kiai memiliki otoritas ilmu yang dianggap sakral. Sedangkan pada madrasah yang dibangun oleh K.H Ahmad Dahlan mulai mengembangkan hubungan guru-murid yang akrab.
Muhammadiyah
menanamkan keyakinan paham tentang Islam dalam sistem pendidikan dan
pengajaran. Penerapan sistem pendidikan Muhammadiyah ini ternyata membawa
hasil yang tidak ternilai harganya bagi kemajuan, bangsa Indonesia pada umumnya
dan khususnya umat Islam di Indonesia. Pada pendidikan Muhammadiyah, posisi
guru memegang peranan yang sangat penting di sekolah dalam upaya menciptakan peserta
didik seperti yang dicita-citakan oleh Muhammadiyah. Peranan Guru memahami dan
menghayati serta ikut beramal dalam Muhammadiyah dengan senantiasa berpegang
teguh pada misi pendirian Muhammadiyah yaitu amar ma’ruf nahi munkar. Dengan memahami dan menghayati serta ikut
beramal dalam Muhammadiyah, para guru dapat menjalankan fungsinya sesuai dengan
apa yang dicita-citakan Muhammadiyah, yaitu menyerukan pada kebajikan dan
mencegah pada kemungkaran. Muhammadiyah berusaha mengembalikan ajaran islam
pada sumbernya yaitu Al-Qur’an dan Hadis. Muhammadiyah bertujuan meluaskan dan
mempertinggi pendidikan agama Islam, sehingga terwujud masyarakat Islam yang
sebenarnya. Untuk mencapai tujuan itu, Muhammadiyah mendirikan sekolah-sekolah
yang tersebar di seluruh Indonesia.
Dalam
dunia pendidikan dan pengajaran Muhammadiyah telah mengadakan pembaruan Pendidikan
Agama. Modernisasi dalam sistem pendidikan dijalankan dengan menukar sistem
pondok pesantren dengan pendidikan modern sesuai dengan tuntutan dan kehendak
zaman. Pengajaran agama Islam diberikan di sekolah-sekolah umum baik negeri
maupun swasta. Muhammadiyah telah mendirikan sekolah-sekolah baik yang khas
agama maupun yang bersifat umum.
Selain
memahami pemikiran pendidikan K.H Ahmad Dahlan sebagai uraian tersebut, secara
spesifik pemikiran dapat dipahami pada tiga aspek, yaitu;
1.
Tujuan
dan Model Pendidikan
Setelah
berdirinya Muhammadiyah pada tanggal 18 November 1912, rintisan sekolah K.H
Ahmad Dahlan dikelola dibawah manajemen Hoofdbestuur Muhammadiyah bagian
Sekolahan (Departemen van Onderwijs).
Amal usaha pendidikan Muhammadiyah merupakan
alat untuk mencapai Persyarikatan Muhammadiyah. Dalam statuta Muhammadiyah tahun 1912, tujuan
persyarikatan Muhammadiyah adalah sebagai berikut: “(a) menyebarkan pengajaran
agama Kanjeng Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam kepada penduduk
bumiputera di dalam residensi Yogyakarta, dan (b) memajukan hal agama kepada
angggota-anggotanya.” Untuk mencapai tujuan tersebut, Muhammadiyah mendirikan
berbagai amal usaha, diantaranya adalah sekolah-sekolah.
Model
pendidikan yang pertama kali dirintis oleh K.H Ahmad Dahlan adalah Madrasah.
Model pendidikan ini sebenarnya bukan hal baru karena sudah pernah berkembang
dan mencapai puncak kejayaan pada masa Nizamul Mulk. Sistem Madrasah pada abad
pertengahan yang tergolong modern. Akan tetapi berdasarkan sumber Mehdi
Nakosteen, sistem madrasah pada abad pertengahan masih sepenuhnya hanya
mengajarkan ilmu-ilmu agama. sebab, penyelenggaraan madrasah pada waktu itu
memang bersinggungan dengan gesekan politik antara kaum Sunni dan Syi’ah
(Mu’arif;2014, 142).
Di
Tanah Air, model madrasah pertama kali dirintis
di Padang Panjang pada tahun
1907. Madrasah tersebut bernama Adabiyah
School, pendirinya adalah Haji Abdullah Ahmad. Hanya saja, sistem baru ini
tidak diterima dengan baik oleh masyarakat setempat. Pada kenyataannya, Adabiyah School di Padang Panjang tidak
bertahan lama karena belum genap satu tahun sudah ditutup. Sumber-sumber yang
dapat memberikan informasi tentang pengaruh pemikiran Haji Abdullah Ahmad
terhadap pemikiran K.H Ahmad Dahlan memang belum ditemukan hingga kini. Dengan
demikian, model madrasah dengan sisten kurikulum integral dapat dikatakan
sebagai gagasan murni K.H Ahmad Dahlan. Akan tetapi, apabila dikemudian hari
ditemukan sumber-sumber yang dapat memberikan informasi tentang pengaruh
pemikiran Haji Abdullah Ahmad kepada K.H Ahmad Dahlan, model Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah
hanya sebatas adopsi gagasan tokoh pendiri Adabiyah
School tersebut (Ibid, 142-143).
2.
Peran
Guru dan Murid
K.H Ahmad Dahlan, selain dipandang
sebagai seorang ulama, juga berperan sebagai guru bagi para pengikutnya.
Sebagai ulama dan guru sekaligus tentu mempunyai cara pandang tersendiri
bagaimana membangun interaksi dengan murid-muridnya sehingga tercipta suasana
yang edukatif. Salah seorang murid K.H Ahmad Dahlan yang bernama Badilah Zuber
menguraikan bahwa peran K.H Ahmad Dahlan dalam kegiatan pembelajaran adalah
sebagai pemandu atau pembimbing belajar. Dalam proses membimbing peserta didik,
guru dituntut bersabar ketika menghadapi berbagai kelakuan para murid.
Cara pandang K.H Ahmad Dahlan dalam
menghadapi murid muridnya yang nakal termasuk unik. Menurutnya, murid-murid
yang nakal justru dipahami sebagai manifestasi kehendak dan kebebasan yang akan
menentukan dalam proses pembentukan karakter. Murid-murid yang nakal (mbeling)
diartikan sebagai ekspresi kreatif yang butuh bimbingan. Dalam membimbing
murid-murid, Kyai Dahlan berpesan agar ikhlas dan senang belajar menuntut ilmu.
Apabila berhadapan dengan murid yang enggan belajar, tetapi selalu mengharapkan
cepat lulus, K.H Ahmad Dahlan akan memberi peringatan. Sebaliknya, apabila
terdapat murid yang serius belajar, tetapi prestasi di kelas tidak pernah
bertambah, maka akan diberinya semangat atau support.
Sebagai seorang guru, K.H Ahmad Dahlan
selalu kreatif dalam menyampaikan pelajaran. Metode yang digunakan cenderung
variatif sehingga tidak membosankan. Metode yang paling sering digunakan adalah
metode dialog. Dalam proses mengajar, K.H Ahmad Dahlan tidak keberatan menjawab
semua pertanyaan peserta didi secara tuntas sehingga secara psikologis membekas
pada peserta didik. Salah satu bukti kreativitas K.H. Ahmad Dahlan dalam
mengajar adalah ketika murid-muridnya diajak tamasya ke Taman Sriwedari di
Solo. Surat kabar Bromartani edisi 15 September 1915 memberitakan peristiwa
ketika murid-murid K.H Ahmad Dahlan yang sedang bertamasya dibuntuti pencopet.
K.H Ahmad Dahlan sebagai seorang guru harus bersabar menghadapi musibah
tersebut (Ibid; 143-144).
3.
Kurikulum
dan Pembelajaran
Wujud kecerdasan K.H. Ahmad Dahlan dalam
bidang pemikiran pendidikan adalah ketika mampu mengembangkan pendekatan yang
memadukan pengetahuan umum dan pengetahuan agama melalui madrasah. Tidak
seperti madrasah pada umumnya yang hanya mengajarkan pengetahuan agama,
madrasah yang dikembangkan oleh K.H Ahmad Dahlan, selain mengajarkan
pengetahuan agama juga mengajarkan pengetahuan umum. Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah hasil eksperimen K.H Ahmad
Dahlan dapat dikatakan berhasil dalam integrasi keilmuan. Karena, selain
mengajarkan ilmu-ilmu agama, juga mengajarkan ilmu-ilmu umum. Dalam perspektif
pendidikan Islam, dapat dikatakan sebagai madrasah
plus, sedangkan dalam perspektif sekolah umum dapat dikatakan sebagai sekolah berciri khas.
Setelah perkembangan sekolah-sekolah
Muhamadiyah cukup pesat, pada tahun 1919, K.H Ahmad Dahlan mendirikan Al-Qismul
Arqa yang pada dasarnya jenis pendidikan Islam tradisional. Al-Qismul Arqa
hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama karena memang tujuan praktisnya adalah untuk
menyediakan para tenaga guru agama di sekolah-sekolah Muhammadiyah. Perkembangan
Al-Qismul Arqa pada tahun 1921 cukup menarik karena sistem yang digunakan tidak
lagi murni pondok pesantren. Seiring perubahan nama lembaga pendidikan menjadi
Pondok Muhammadiyah, K.H Ahmad Dahlan berusaha memadukan model dan sistem
pondok pesantren dan sekolah umum. Di Pondok Muhammadiyah berlaku sistem
pesantren, yang mana para santri harus tinggal diasrama. Pelajaran agama tidak
hanya disampaikan secara formal lewat proses pembelajaran di kelas, tetapi juga
lewat asrama yang dijaga oleh guru. Ilmu-ilmu umum disampaikan di kelas dengan
metode pembelajaran modern. Walhasil, Pondok Muhammadiyah menjadi satu-satunya
lembaga pendidikan Islam modern pertama di Yogyakarta (Wirjosukarto; 1962, 120).
Memasuki tahun 1922, Pondok Muhammadiyah
diproses menjadi sebuah institusi pendidikan modern dengan nama Kweekschool Islam. Kweekschool Islam
yang dikemudian hari dikenal dengan nama Kweekschool
Moehammadijah berubah menjadi sekolah modern dengan ciri khas keislaman ala Muhammadiyah. Kweekschool Moehammadijah inilah yang hingga saat ini bertahan menjadi Madrasah Muallimin Muhammadiyah
Yogyakarta (Mu’arif: 2014, 145).
Berikut
adalah Rencana Pengajaran di Kweekschool
Moehammadijah pada tahun 1922, yang sekaligus menggambarkan struktur
kurikulum yang diberlakukan.
Materi
|
Jam Pelajaran
|
Keterangan
|
|||
Kelas I
|
Kelas II
|
Kelas III
|
|||
Bahasa Arab
|
Mantik
|
||||
1
|
Madarijul-Insya
|
4
|
1
|
-
|
|
2
|
Nahwu
|
2
|
3
|
2
|
|
3
|
Lughot
|
5
|
6
|
-
|
|
Adab
|
2
|
2
|
3
|
Kelas III ditambah
Akhlak
|
|
Tarikh Anbiya dan
Islam
|
4
|
2
|
3
|
||
Husnul Khat
|
2
|
2
|
-
|
||
Fiqih
|
4
|
2
|
3
|
Kelas III ditambah
Ushul Fiqih
|
|
Tauhid
|
4
|
5
|
3
|
||
Imla
|
1
|
-
|
-
|
||
Quranul Karim
|
2
|
2
|
-
|
||
Tafsirul Quran
|
-
|
4
|
6
|
||
Ilmul Asyya'
|
-
|
1
|
-
|
||
Hadits dan Musthalahul
Hadits
|
-
|
-
|
4
|
||
Tarikh Tanah Jawa dan
Hindia
|
-
|
-
|
1
|
||
Berhitung Rupa-Rupa
|
1
|
1
|
2
|
||
Ilmu Bumi
|
1
|
1
|
1
|
||
Permulaan Natuurkennis
(Ilmu Thabi'i)
|
-
|
-
|
1
|
||
Ilmu Guru
|
-
|
-
|
1
|
||
Bahasa Jawa
|
1
|
1
|
2
|
||
Bahasa Melayu
|
1
|
1
|
1
|
||
Menulis dan Menggambar
|
-
|
-
|
1
|
||
Jumlah
|
34
|
34
|
34
|
Jam
|
Sumber:
SM no.1/1992.
Rencana
pengajaran yang dimaksud bukan rencana pelaksanaan pengajaran (RPP) dalam
konteks sekarang, tetapi yang dimaksud adalah struktur kurikulum atau uraian
jumlah mata pelajaran yang diajarkan pada Kweekschool
Moehammadijah pada tahun 1922. Struktur pengajaran tersebut tidak hanya
menguraikan nama-nama mata pelajaran yang akan diajarkan pada setiap level
kelas, tetapi juga menerangkan beban jam setiap mata pelajaran. Ada mata
pelajaran yang diajarkan pada setiap kelas da nada yang tidak, demikian juga
ada mata pelajaran yang beban jamnya sama pada setiap level kelas, ada juga
yang berbeda. Hal ini menjunjukkan bahwa pemahaman K.H Ahmad Dahlan tentang
kurikulum dan pembelajaran secara khusus dan pendidikan secara umum sangat
komprehensif. Berdasarkan struktur rencana pengajaran tersebut juga nampak
bahwa sistem pembelajaran yang diberlakukan pada Kweekschool Moehammadijah adalah sistem pembelajaran modern yang
memadukan pengetahuan agama dan pengetahuan umum. Dalam istilah yang lebih
modern, model kurikulum yang digunakan adalah kurikulum terpadu, sedangkan model
sekolah yang dikembangkan adalah sekolah terpadu.
Dimensi
Humanis Religius
Dalam
mindset barat, dimensi humanis dan
dimensi religius adalah dua persoalan yang berbeda, antara keduanya tidak dapat
disatukan. Dimensi humanis berhubungan erat denga persoalan-persoalan sosial
kemasyarakat dan karenanya bersifat umum. Sedangkan dimensi religius adalah
persoalan yang hanya menjadi ranah pribadi. Asumsi dasar yang melandasi pola
pikir ini adalah sekularisme, yaitu
sebuah paham yang senantiasa memisahkan antara urusan dunia yang sifatnya
komunal dan urusan agama yang bersifat personal. Implikasi dari mindset ini adalah urusan negara juga
harus dipisahkan dari urusan agama. Tetapi dalam dunia Islam, hubungan antara
dimensi humanis dan dimensi religius adalah persoalan yang tidak bisa
dipisahkan. Keduanya ibarat dua sisi mata uang yang nampaknya berbeda tetapi
sesungguhnya adalah sama. Dalam hal urusan kenegaraan misalnya, ada sebagian
kalangan yang memandang hubungan negara dengan agama sebagai “ad-Diynu wa ad-Dawlah”. Artinya, ketika
berbicara tentang Islam, maka berarti berbicara tentang sesuatu yang sangat
komprehensif, termasuk urusan politik dan negara. Sehingga negara tidak bisa
dipisahkan dari agama, demikian pula sebaliknya.
Azyumardi
Azra (2015; 115), setidaknya melihat ada tiga bentuk posisi hubungan antara
Islam dan negara dalam masa modern-kontemporer. Pertama, pemisahan antara agama
dan politik yang bahkan disertai ideologi politik sekuler yang tidak bersahabat
dengan agama (religiously unfriendly-secularism)
seperti Turki; kedua, pemisahan disertai dengan ideologi yang bersahabat dengan
agama (religiously friendly ideology)
seperti Indonesia. Bentuk kedua ini juga dapat disebut sebagai akomodasi antara
negara dan agama; ketiga, penyatuan agama dengan negara seperti Arab Saudi,
yang juga disebut sebagai teokrasi.
Memahami dimensi humanis religious
pemikiran pendidikan K.H Ahmad Dahlan, nampaknya tidak bisa dipisahkan dari pengaruh
pola ketiga dalam pola hubungan agama dengan negara. Paling tidak, ada beberapa
argumentasi yang melandasi pemikiran tersebut, antara lain;
1. K.H Ahmad Dahlan menempuh studi di Arab
Saudi. Diseritakan bahwa, pada usia 22 tahun (1890) dengan bantuan kakaknya (Nyai
Hajah Sholeh) beliau pergi ke Mekkah, dan belajar disana selama satu tahun
untuk memperdalam ilmu pengetahuan tentang Islam. Dengan demikian, pemikiran
dan pengetahuan yang diperoleh dan dikembangkan oleh K.H Ahmad Dahlan tidak
dapat dipisahkan dari perkembangan Ilmu pengetahuan yang berkembang di dunia
Arab pada saat itu.
2. Dari sejumlah buku referensi yang
menjadi acuan K.H Ahmad Dahlan diketahui bahwa buku-buku tersebut adalah
karangan Muhammad Abduh, Farid Wajdi, Ibnu Taimiyah, Rahmatullah al-Hindi, Rasyid Ridha, Ibn
Athaillah, dan Abdullah Al-Attas. Pemikir-pemikir tersebut memiliki cara
pandang yang tidak memisahkan antara agama dan negara tetapi melihatnya sebagai
bagian yang integral.
3. Situasi
Indonesia pada saat itu masih sedang dalam masa penjajahan, sehingga belum
mempunyai format kenegaraan yang baku dan jelas. Sistem kenegaraan masih
dikendalikan oleh kaum penjajah, sehingga sesungguhnya Indonesia belum menjadi
negara yang sebenar-benarnya (the truely
of state).
Namun
demikian, memahami dimensi humanis religius pemikiran pendidikan K.H Ahmad
Dahlan tidaklah cukup hanya dengan berdasar pada ketiga asumsi tersebut. Perlu
dilakukan kajian mendalam untuk dapat mengungkap berbagai hal yang memiliki
relevansi dengan persoalan kemanusiaan (humanis)
dan persoalan keagamaan (religius)
melalui pemikiran dan praktek pendidikan selama masa perjuangan beliau bersama
organisasi yang beliau dirikan yaitu Muhammadiyah. Organisasi Muhammadiyah
adalah wadah pergerakan K.H Ahmad Dahlan, sekaligus sebagai pengejawantahan
dari ide-ide brilian beliau terkait dengan urusan pendidikan, sosial, dan
keagamaan. Dengan demikian, antara K.H Ahmad Dahlan sebagai individu dan
Muhammadiyah sebagai lembaga tidak bisa dipisahkan, tetapi harus dipandang
sebagai sesuatu yang integratif untuk melihat perspektif humanis religius dari
pemikiran-pemikirannya dalam bidang pendidikan.
Berdasarkan uraian yang telah
diketengahkan sebelumnya, mulai dari biografi singkat beliau terutama masa
kelahiran, Orang tua, kultur keluarga, tempat mengenyam pendidikan, buku-buku
serta pengarang yang menjadi rujukan, pemikiran-pemikirannya dalam pendidikan, sampai
dengan masa pendirian Muhammadiyah, dapat diketengahkan perspektif humanis
religius pemikiran pendidikan K.H Ahmad Dahlan adalah sebagai berikut:
1. Misi
dakwah yang menjadi acuan adalah “amar
Ma’ruf nahi mungkar,” yaitu ajakan pada kebajikan dan mencegah kemungkaran.
Misi ini didasarkan pada perintah Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Ali Imran
ayat 104 yang artinya adalah “dan hendaknya ada diantara kamu yang menyeru
(berdakwah) kepada kebajikan (mengembangkan Islam) dan mencegah kepada
kemungkaran (buruk dan keji). Secara literal, ayat ini mengandung ajak untuk
berbuat baik sekaligus mencegah perbuaan yang tidak baik. Tetapi kandungan
makna ayat ini sangat mendalam, karena menyangkut urusan dunia dan akhirat,
urusan ibadah dan muamalah, serta urusan pribadi dan sosial. Hal ini
menunjukkan bahwa perspektif humanis dan
religius dalam misi dakwah Muhammadiyah adalah berjalan secara bersamaan. Tentu
hal ini, tidak bisa dipisahkan dari K.H Ahmad Dahlan sendiri sebagai pendiri
sekaligus sebagai perumus misi dakwah Muhammadiyah.
2. Integrasi
pengetahuan agama dan pengetahuan umum dalam sekolah Muhammadiyah. Jika kita
asumsikan bahwa pengetahuan agama adalah untuk urusan pribadi dan akhirat,
sedangkan pengetahuan umum adalah untuk urusan umum dan dunia, maka berarti
harus ada pemilahan. Inilah yang terjadi di sekolah-sekolah barat. Tetapi di
sekolah-sekolah Muhammadiyah, kedua pengetahuan tersebut di integrasikan dan
diajarkan secara bersamaan. Hal ini dapat menjadi bukti bahwa K.H Ahmad Dahlan
memandang pengetahuan umum sama pentingnya dengan pengetahuan agama, atau
sebaliknya.
3. Tujuan
pendidikan Muhamadiyah menekankan pada usaha menanamkan karakter manusia yang
baik berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam kapasitas peserta didik sebagai individu
dan sebagai masyarakat. Sebagai individu, pendidikan dipandang sebagai usaha
untuk menumbuhkan kesadaran individu yang utuh yang berkesinambungan antara
perkembangan mental dan gagasan, antara keyakinan dan intelek serta antara dunia
dengan akhirat. Sedangkan sebagai bagian dari masyarakat, pendidikan dianggap
sebagai usaha untuk menumbuhkan kesediaan dan keinginan hidup bermasyarakat.
4. Teori
dan praktek berjalan secara bersamaan. Pada sekolah-sekolah Muhammadiyah,
peserta didik tidak hanya belajar tentang teori, tetapi juga belajar bagaimana
teori dipraktekan. Jauh sebelum isu Home
Schooling dikembangkan di Indonesia, Muhammadiyah justru telah
menerapkannya melalui model sekolah berasrama yang saat ini bernama Madrasah Al-Muallimin Muhammadiyah.
5.
Keseimbangan antara amal ibadah dan amal
usaha. Dalam statuta Muhammadiyah tahun 1912, salah satu tujuan persyarikatan
Muhammadiyah adalah menyebarkan pengajaran agama Kanjeng Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam kepada
penduduk bumiputera di dalam residensi Yogyakarta. Hal ini menegaskan bahwa
prioritas dari dakwah Muhammadiyah adalah ibadah. Semua warga Muhammadiyah
harus taat beribadah, selaksanakan semua ajaran agama yang dibawa oleh Muhammad
SAW. Tetapi untuk mendukung langkah tersebut harus ada amal usaha. Maka
dibangunlah sekolah-sekolah, lalu dikembangkan ke Rumah Sakit, Rumah bersalin,
Panti Asuhan, dan Perguruan Tinggi. Jika amal ibadah adalah dimensi
religiusnya, maka amal usaha adalah dimensi humanisnya. Dalam perspektif
humanis religius, apa yang ingin diwujudkan oleh K.H Ahmad Dahlan adalah
mewujudkan kesalehan sosial (humanis) dan kesalehan individu (religius) pada
seluruh warga Muhammadiyah.
Nampaknya kelima hal tersebut dapat
menjadi poin-poin penting untuk melihat pemikiran pendidikan K.H Ahmad Dahlan
dalam perspektif humanis religius. Memang secara sengaja, perspektif humanis
dan perspektif religius tidak dipisahkan untuk melihat pemikiran pendidikan K.H
Ahmad Dahlan. Karena persoalan kemanusiaan (humanis)
dan persoalan keagamaan (religius) dalam
misi dakwah K.H Ahmad Dahlan adalah hal yang terpadu. Demikian juga K.H Ahmad
Dahlan tidak dipisahkan secara personal dengan Muhammadiyah secara kelembagaan.
Mengapa? Karena Muhammadiyah itu sendiri adalah “buah” pemikiran pendidikan K.H
Ahmad Dahlan.
Kesimpulan
Memahami
pemikiran pendidikan K.H Ahmad Dahlan, ibarat menyelami samudra luas dan dalam,
semakin luas kita menyelam semakin luas pula butiran-butiran hikmah yang kita
temukan, dan semakin dalam kita menyelam, maka semakin dalam pula pengetahuan
yang kita peroleh. Kita memang patut bersyukur pernah memiliki tokoh sekaliber
K.H Ahmad Dahlan, karena pemikiran-pemikirannya dalam bidang pendidikan telah
ikut mencerdaskan banyak generasi, sejak zaman sebelum kemerdekaan, zaman kemerdekaan,
hingga saat ini bahkan sampai masa depan.
Mencoba memahami pemikiran pendidikan
K.H Ahmad Dahlan dalam perspektif humanis religius memang bukan persoalan
gampang. Dua dimensi kehidupan yang betul-betul menjadi konsen dakwah K.H Ahmad
Dahlan, dan memiliki cakupan yang sangat kompleks. Namun demikian, dapat
ditarik suatu kesimpulan bahwa memahami pemikiran pendidikan K.H Ahmad Dahlan
dalam perspektif humanis religius dapat dilihat dari; (1) misi dakwah yang
senantiasa menyerukan pada kebajikan dan mencegah kemungkaran. Misi ini
didasarkan pada Surat Ali Imran ayat
104, yang kandungannya tidak hanya menyangkut urusan akhirat, tapi juga urusan
dunia, bukan hanya urusan pribadi tapi juga urusan sosial; (2) model pendidikan
yang senantiasa mengintegrasikan pengetahuan umum dan pengetahuan agama, serta
menekankan pada perkembangan peserta didik sebagai individu dan sosial; dan (3)
keseimbangan antara kesalehan individu (taqwa) dan kesalehan sosial (peduli).
DAFTAR PUSTAKA
Asrofie M. Yusron. 1983. Kyai Haji Ahmad Dahlan,
Pemikiran dan Kepemimpinannya.
Yogyakarta:
Yogyakarta Offset.
Azra Azyumardi. 2015. Islam dan
Konsep Negara, dalam Fikih Kebhinekaan.
Pandangan Islam Indonesia
Tentang Umat, Kewargaan, dan Kepemimpinan
Non-Muslim. Bandung; PT.
Mizan Pustaka.
Bayu
Bekti Arfian. 2015. Pemikiran K.H Ahmad
Dahlan Tentang Pendidikan Islam.
Latif Yudi. 2015. Bhineka Tunggal
Ika: Suatu Konsepsi Dialog Keragaman Budaya,
dalam Fikih Kebhinekaan. Pandangan Islam Indonesia
Tentang Umat,
Kewargaan, dan
Kepemimpinan Non-Muslim. Bandung; PT. Mizan Pustaka.
Mu’arif.
2014. Pendidikan Islam Berkemajuan:
Telaah Kritis Pemikiran K.H. Ahmad
Dahlan
Perspektif Filsafat Pendidikan Progresivisme. Dalam Muhrizal Arif,
dkk. Pendidikan Posmodernisme.
Telaah Kritis Pemikiran Tokoh Pendidikan.
Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA.
Mu’arif.
2010. Benteng Muhammadiyah: Sepenggal
Riwayat dan Pemikiran Haji
Fachrodin
(1890-1929).
Yogyakarta: Suara Muhammadiyah
-----------.
“Tujuh Tokoh Pendiri Muhammadiyah”.
Dalam Basis edisi 01-02,
tahun
ke59/2011.
Muhammad Soedja. 1993. Cerita Tentang Kyiai Haji Ahmad Dahlan.
Jakarta:
Rhineka
Cipta
Mulkhan,
Abdul Munir. 2002. “Pengantar.” Dalam Teven M. Chan, Pendidikan Liberal
Berbasis Sekolah. Terj. Umi
Yawisah. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
-----------------.1990. Warisan
Intelektual KH Ahmad Dahlan dan Amal
Muhammadiyah
Cet I, Yogyakarta: PT
Percetakan Persatuan.
-----------------.
2007. Pesan dan Kesan Kiai Haji Ahmad
Dahlan dalam Hikmah
Muhammadiyah. Yogyakarta:
Suara Muhammadiyah.
Tampubolon
P. Daulat. 2001. Perguruan Tinggi
Bermutu. Paradigma Baru Manajemen
Pendidikan
Tinggi Menghadapi Tantangan Abad ke-21. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama.
Wirjosukarto,
Hamzah Amir. 1962. Pembaharuan Pendidikan
dan Pengdjaran Islam
jang
Diselenggarakan oleh Muhamadiyah. Singosari: Ken Mutia.
Bagus sekali
BalasHapus