Satu minggu
menjelang bulan Ramadhan, tiba-tiba saya teringat dengan salah satu tradisi
unik di kampung halaman yang oleh para leluhur menyebutnya dengan “Posepa’a”.
Istilah Posepa’a adalah bahasa Liya yang berarti kegiatan saling tendang.
Liya sendiri adalah nama desa dalam wilayah administrasi kecamatan Wangi-Wangi Selatan
Kabupaten Wakatobi. Saat ini, wilayah Desa Liya telah dimekarkan menjadi empat
wilayah, yaitu Desa Liya Togo (desa induk), Desa Liya Mawi, Desa Liya Bahari
Indah, dan Desa Liya Onemelangka. Pada masa Kesultanan Buton, Liya menjadi
salah satu Kadie dimana wilayahnya mencakup Desa Wisata Kolo. Bagi masyarakat
yang bermukim diluar, Liya adalah wilayah yang sangat angker, ganas, ngeri,
menakutkan, dan semacamnya, terutama pada sekitar tahun 90-an. Tapi bagi saya
pribadi, Liya adalah kawah candradimuka. Disinilah bersama kawan-kawanku
menempah diri bagaimana menghadapi hidup yang serba kekurangan, serta serba
jauh dari berbagai fasilitas umum. Jauh dari sekolah, sangat jauh dengan pasar,
jauh dari sumur umum (untuk menempuhnya harus menuruni lembah). Pada tahun
90-an, ketika pulang sekolah (sekitar 4 km), bersama teman-teman bergegas
mengambil parang dan kapak, lalu menuju hutan belantara untuk menebang,
memotong, dan membelah kayu. Setelah kering, kayu-kayu itu lalu kami pikul ke
pesisir pantai, lalu kami ikat dan siap dimuat menggunakan perahu untuk dijual
sebagai kayu bakar di Wanci. Inilah salah satu kebiasaan kami orang Liya mengais
rezki diwaktu kecil. Bukan hanya sendiri, ada Taslimin (La Limi), La Ode Umar
(La Abu), La Ope, La Meta, La Radio (La Dio), Abdul Mu’arif (La Edi), La Ruslan
(Boneng), dan lain-lain.
Pernah
suatu waktu, ketika kayu bakar telah habis laku terjual di Wanci, kamipun
mempersiapkan untuk kembali ke kampung (Liya). Perjalanan laut dari Mola menuju
Liya dengan menggayuh perahu adalah pekerjaan yang melelahkan. Maka sebelumnya
kami singgah membeli makanan di pasar sentral, biasanya makanan favorit pada
saat itu adalah sanggara (pisang goreng) dan luluta (nasi bambu). Setelah
melewati wilayah Mola, tiba-tiba berhembus angin barat yang lumayan kencang.
Bagi “orang pulau” hembusan angin yang kencang adalah sahabat yang akan
mengantarkan ke seberang dengan waktu yang lebih cepat. Segera saya pasang
layar, lalu tali layar saya serahkan ke adik saya yang saat itu sekitar kelas 4
SD. Lalu saya kembali posisi semula yaitu duduk dibagian belakang sambil
mengendalikan arah perahu, kemudian saya perintahkan sang adik untuk menarik
tali layar, dan dengan sekejap perahu meluncur dengan sangat cepat menuju Liya.
Perjalanan yang asyik, laut bergelombang, angin bergerak dengan cepat, maka
perahupun bergerak cepat sambil meliuk-liuk mengikuti pergerakan ombak. Dalam
tradisi bahari orang Wakatobi, pola pelayaran seperti itu kami sebut dengan
“opala” atau opal. Mengapa disebut opal, karena pergerakan perahu menuju arah
utara, sedangkan angin berhembus ke arah timur. Jika pergerakan perahu searah
dengan pergerakan angin, maka kami menyebutnya dengan “bangunturu.” Tapi naas
menimpa ketika memasuki area Liya Onemelangka, perahu bersenggolan dengan
bongkahan kayu, dan bose (dayung) yang menjadi pengendali perahu tersingkap.
Aku terjatuh ke laut, sementara perahu terus bergerak menjauh. Adikku yang
masih kecil itu sendirian di dalam perahu. Aku memberikan kode, lepas tali
perahu, lalu dia melepaskannya. Tapi goyangan layar serta hempasan angin
membuat perahu semakin menjauh. Aku kebingungan, daratan masih sangat jauh
untuk berenang, sementara perahu semakin menjauh. Dari kejauhan saya melihat
adikku mengambil dayung dan mendayung ke arahku. Memang tidak bergerak maju, karena
perahunya besar dan berlawanan dengan arah angin, tetapi paling tidak mampu
menahan pergerakan perahu untuk tidak menjauh. Saya berenang menuju perahu, dan
adik terus menggayuh perahu menuju ke arahku, sampai pada akhirnya saya bisa
kembali naik ke perahu. Kami kemudian melanjutkan pelayaran menuju Liya, kali
ini sudah di wilayah Liya Mawi. Pelayaran dari wilayah Liya Mawi menuju Liya
togo semakin kencang, karena kami lakukan dengan “bangunturu”, selaras arah
perahu dan arah pergerakan angin. Saya hanya mengendalikan perahu dengan dayung
dari belakang, sementara adik memegang tali layar sambil sekali-sekali kakinya
menghentak untuk mengeluarkan air laut yang masuk ke dalam perahu.
Kembali ke
topik utama, Posepa’a. Tradisi Posepa’a dilaksanakan di halaman Masjid Keraton
Liya, dengan melibatkan dua pihak yang akan Posepa (saling tendang), yaitu
antara yro Wafo (orang atas) dan yro Woru (orang bawah). Pada awalnya, Orang Wafo
merujuk pada masyarakat Togo (sekarang Liya Togo), karena menetap di wilayah
ketinggian, sedangkan orang Woru merujuk pada masyarakat Desa Kareke (tempat
pemukiman masyarakat dibagian belakang Masjid keraton) karena menetap di
wilayah yang lebih rendah. Saat ini Desa Kareka hanya tinggal bekasnya,
masyarakatnya tersebar ke Liya Bahari Indah, Liya Mawi dan Liya Onemelangka. Tradisi
Posepa’a, dimulai pada hari terakhir sebelum masuk ramadhan. Ketika kaum
perempuan menyiapkan makanan untuk dikemas dalam bentuk Liwo sebagai menu
hidangan menyambut bulan puasa, kaum laki-laki berkumpul di halaman Masjid
Kerator untuk memulai tradisi Posepa’a. Selama bulan ramadhan, acara Posepa’a
dapat diklasifikasi menjadi tiga bagian, yaitu 10 hari pertama diramaikan oleh
anak-anak usia SD, 10 hari kedua diramaikan oleh anak-anak usia remaja (SMP dan
SMA), dan 10 kari ketiga diramaikan oleh usia remaja dan dewasa bahkan orang
tua. Puncak pelaksanaan tradisi Posepa’a adalah pada hari raya Idul Fitri,
dilaksanakan setelah selesai Shalat Ied.
Kapan
acara Posepa’a dimulai? Bermula dari salah satu pihak (Wafo atau Woru)
mendorong jagoanya dua orang saling berpegangan (berpasangan) maju ke
depan. Lalu, pasangan tersebut atau orang-orang dari golongannya berteriak,
“pokontamo”. Teriakan pokontamo, berarti ajakan supaya segera berpegangan
karena acara Posepa’a akan segera dimulai. Pasangan yang maju ke depan
dan berteriak tadi berarti menantang, dan siap melayani saling tendang jika ada
dari pihak lawan yang datang hadapi, dengan catatan bahwa yang datang hadapi
harus seimbang. Jika pasangan yang lebih dulu maju ke depan tadi menganggap
bahwa lawan yang akan dihadapi mempunyai kekuatan yang lebih, maka mereka akan
mundur dan mencari pasangan yang dianggap memiliki kekuatan yang berimbang.
Apabila calon lawan yang datang dianggap seimbang, maka Posepa’a pun akan
segera dimulai. Salah satu dari masing-masing pasangan akan melakukan “pigi”. Pigi, dalam istilah Posepa’a
adalah maju kedepan mendahului pasangannya (tetapi masih berpegangan) untuk memulai menendang (sepa). Biasanya, tendangan pertama yang
akan dia lakukan adalah Bagaigu.
Tendangan ini dilakukan pada posisi sedikit maju kedepan dari pasangannya dan
menendang menyibak dari arah samping. Sasaran yang dituju adalah bagian
pelipis, rahang, atau dada bagian samping. Setelah lawan melakukan tendangan
Bagaigu, maka lawan pun akan membalas dengan tendangan, apakah “hekafi” atau “tuduhi”. Hekafi adalah tendangan menyilang ke arah depan, biasanya
sasaran yang menjadi target adalah dada atau rahang, tetapi ketika lawan berada
dalam posisi miring; sedangkan tuduhi adalah tendangan lurus ke depan biasanya
sasarannya adalah dada atau paha untuk melumpuhkan lawan. Masing-masing jenis
tendangan, apakah bagaigu, hekafi,
atau tuduhi, memiliki kelebihan dan
kekurangan. Kemampuan dalam memanfaatkan ketiga jenis tendangan tersebut akan
menentukan keunggulan dalam melakukan Posepa. Selain itu, kecocokan dengan
pasangan juga sangat menentukan. Karena ketiga jenis tendangan tadi, selain
bisa diantisipasi sendiri juga dapat ditepis oleh pasangan.
Dalam
tradisi Posepa’a, kewaspadaan memang sangat dibutuhkan. Ketika pasangan yang
akan posepa sudah masuk arena, maka yang harus diwaspadai adalah bukan hanya
lawan yang ada di depannya, tetapi juga pasangan lain yang menjadi lawan.
Situasi ideal adalah jumlah pasangan sama, tetapi pada situasi tertentu bisa
saja pasangan lawan lebih banyak. Ada pasangan lawan yang tiba-tiba masuk ke
arena untuk membantu karena melihat temannya terdesak. Apa yang dilakukan oleh
pasangan tambahan yang masuk untuk membantu temannya yang terdesak di sebut Soboti. Artinya masuk mengganti temannya
yang kewalahan, tetapi karena waktunya terlalu cepat sehingga kadang-kadang
yang diganti pun belum sempat keluar lapangan. Situasi ini semakin menjadikan
suasana Posepa’a semakin meriah, dengan suara sorak-sorai dan dukungan kaum
perempuan yang menonton di pinggir arena. Acara Posepa’a akan berakhir ketika
para orang tua adat, Kepala Desa, atau figur yang disegani yang dianggap netral
meleraikan dan meminta agar acara segera diakhiri. Biasanya, alasan yang digunakan
adalah kalau sudah menjelang waktu sholat.
Ada
sejumlah hal menarik dari tradisi Posepa’a. Pertama,
dimulai pada hari terakhir sya'ban (satu hari sebelum memasuki bulan ramadhan), dilaksanakan selama
bulan ramadhan yaitu sore hari menjelang berbuka, dan berpuncak pada hari raya
Idul Fitri. Secara kultural, Posepa’a adalah bentuk sambutan masyarakat Liya
terhadap bulan ramadhan. Sehingga, ketika ada keinginan dari pihak-pihak tertentu
agar kegiatan Posepa’a dilaksanakan diluar bulan Ramadhan, maka bagi saya, ini
adalah upaya desakralisasi tradisi Posepa’a
atau bahkan devaluasi tradisi Posepa’a.
Beberapa informasi lokal mengatakan bahwa Islam pertama masuk di kepulauan
Wakatobi adalah melalui Liya (desa Liya), tetapi ada juga yang mengatakan bahwa
melalui Popalia (Binongko). Saya kira perlu ada kajian mendalam, apalagi kata
Liya, ternyata sama dengan nama daerah asal mia
patamiana (Sipanjonga, Sijawangkati, Simalui, dan Sitamanajo), empat orang yang
pertama kali mendirikan kerajaan Buton. Kedua,
dalam tradisi Posepa’a ada aturan yang diberlakukan bahwa “masalah diluar” tidak boleh dibawah masuk ke arena, dan “masalah di dalam arena” tidak boleh
dibawa keluar. Dengan demikian, tidak ada dendam dalam tradisi Posepa’a. Ketiga, selama ramadhan, tradisi
Posepa’a diikuti oleh semua unsur generasi, dari anak laki-laki usia SD, SMP
dan SMA serta orang Dewa. Hal ini menujukkan bahwa upaya penanaman dan
pelestarian tradisi Posepa’a pada generasi Liya dilaksanakan melalui pembiasaan
secara terstruktur. Sehingga betul-betul tertanam pada jiwa masyarakat Liya.
Salah satu bukti adalah, jika ada orang Liya yang sejak kecilnya terbiasa ikut
Posepa, lalu tiba-tiba dilarang ikut Posepa, padahal sedang berada di arena
Posepa’a, maka mungkin saja dia akan mengindahkan larangan. Tetapi, ketika
tradisi itu sudah dimulai, dimana sudah mendengar pekikan “Pokontamooo”, atau mendengar riak-riuh penonton memberi support, maka secara spontan tubuhnya
akan bergetar hebat seperti orang yang menggigil karena demam. Dan ingat kawan,
obatnya hanya satu, persilahkan kepadanya untuk masuk arena dan ikut Posepa,
maka gemetaran tubuhnya akan segera hilang. Mari kita jaga dan lestarikan
tradisi “Posepa’a. Wallahu a’lam
bish-shawab.
Belum ada tanggapan untuk "Mengenang Tradisi “Posepa’a” di Liya"
Posting Komentar