Wajah Sekolah; antara Teori Struktural Fungsional dan Teori Konflik
Usai
sudah pengumuman kelulusan Ujian Nasional Tahun Pelajaran 2015/2016 jenjang SMA
sederajat. Secara psikologis, nilai kesakralan pengumuman kali ini berbeda
dengan tahun-tahun sebelumnya. Kewenangan penentuan kelulusan yang semula
ditentukan oleh pemerintah pusat kini diserahkan kepada satuan pendidikan
dengan senantiasa mempertimbangkan nilai UN, nilai Ujian sekolah, nilai ujian
praktek, dan nilai rapor, nampaknya menjadi faktor yang dominan. Dengan
mekanisme seperti itu, dapat dipastikan bahwa semua siswa dinyatakan lulus.
Siswa tidak lagi khawatir dengan nasib kelulusannya, karena yang akan
menentukan adalah orang-orang yang sudah dianggap sebagai orang tuanya sendiri.
Tetapi, dengan situasi ini justru tidak merubah wajah “kenduri” pelulusan.
Coret-coret seragam, tawuran, konvoi, parade kendaraan racing, dan lain
sebagainya masih mewarnai. Sekolah, seolah tidak berdaya merubah kebiasaan
tahunan yang senantiasa hadir bersamaan dengan momentum pengumuman. Mengapa
sekolah tidak berdaya merubah tradisi tersebut? Dalam konteks ini, penting
untuk melihat sekolah dalam dua sudut pandang, yaitu perspektif teori struktural
fungsional dan teori konflik.
Perspektif Teori Struktural Fungsional
Secara
generik, dikenal dua teori persekolahan yaitu teori struktural fungsional yang
dipelopori oleh Emile Durkheim dan teori
konflik yang dipelopori oleh Max Weber. Pada awalnya, kedua teori ini
dikembangkan dalam ilmu sosiologi. Namun pada perkembangannya menjadi dasar
teori persekolahan, karena melihat sekolah sebagai institusi yang tidak dapat
dipisahkan dari masyarakat yang menjadi pure
wilayah kajian sosiologi. Emile Durkheim lahir di Prancis dan dikenal sebagai
salah satu pencetus sosiologi modern. Dalam salah satu teorinya tentang gerakan
sosial menyebutkan kesadaran kolektif yang mengikat individu-individu melalui
berbagai symbol dan norma sosial. Kesadaran kolektif ini merupakan unsur
mendasar dari terjaganya eksistensi kelompok. Anggota kelompok ini bisa
menciptakan bunuh diri altruistik
untuk membela eksistensi kelompoknya (Novri Susan, 2009; 45). Teori struktural
fungsional bertujuan untuk mencapai keteraturan sosial. Teori ini awalnya
berangkat dari pemikiran Emile Durkheim yang mendapatkan pengaruh dari Auguste
Comte dan Herbert Spencer. Durkheim berpendapat bahwa masyarakat adalah sebuah
kesatuan dimana di dalamnya terdapat bagian-bagian yang dibedakan.
Bagian-bagian dari sistem tersebut mempunyai fungsi masing-masing yang membuat
sistem menjadi seimbang. Bagian tersebut memiliki ketergantungan antara satu
sama lain dan fungsional, sehingga jika ada yang tidak berfungsi akan merusak
keseimbangan sistem.
Dalam dunia
persekolahan, teori struktural fungsional memandang sekolah sebagai arena
mewujudkan keteraturan sosial. Menurut teori ini, sekolah merupakan sebuah
kesatuan sistem dimana di dalamnya terdapat bagian-bagian yang dibedakan dengan
memiliki fungsi dan peran masing-masing. Sebagai suatu sistem, fungsi dari
masing-masing bagian mewujudkan tatanan menjadi seimbang. Bagian tersebut
saling ketergantungan antara satu dengan yang lain dan fungsional, sehingga
jika ada yang tidak berfungsi akan merusak keseimbangan sistem. Di sekolah ada
guru, ada siswa, dan ada interaksi yang melibatkan guru dan siswa. Apabila ada
salah satu yang tidak berfungsi secara maskimal, maka kualitas pembelajaran
tidak akan maksimal. Demikian halnya ada lingkungan sekolah, lingkungan kelas,
ada fasilitas sekolah dan ada sumber belajar. Masing-masing komponen tersebut
mempunyai peran dan ikut mempengaruhi prestasi sekolah. Melalui teori
struktural fungsional, sekolah mempunyai peran yang signifikan dalam
pembentukan masyarakat menjadi cerdas, berbudaya, memelihara keteraturan, serta
mewujudkan pembangunan. Tanpa sekolah, masyarakat akan mengalami kesulitan
dalam berkembang, tidak akan tumbuh menjadi dewasa dan cerdas, dan tidak akan
bermanfaat serta tidak akan ikut berpartisipasi dalam pembangunan. Dengan
demikian, menurut teori ini sekolah menjadi hal yang niscaya dalam masyarakat,
melalui sekolah masyarakat dapat berkembang, dapat berubah, dan dapat menjadi
lebih baik. Sehingga, ketika sekolah memberlakukan asas kesetaraan dan kesamaan
kesempatan untuk belajar, pembagian kelas yang merata dan adil, tidak ada
seleksi masuk, mekanisme perengkingan dihilangkan, menganggap semua siswa
memiliki bakat dan potensi yang sama untuk dikembangkan, menunjukan dominannya
teori struktural fungsional dalam pengelolaan sekolah.
Perspektif Teori Konflik
Selain
teori struktural fungsional, dalam sosiologi juga dikenal adanya teori konflik
yang berupaya memahami konflik dari sudut pandang ilmu sosial. Teori konflik di
kembangkan oleh Max Weber, beliau dikenal sebagai ahli ekonomi politik dan
sosiolog dari Jerman, juga dianggap sebagai salah satu pendiri ilmu sosiologi
dan administrasi negara modern. Teori Konflik adalah sebuah teori yang
memandang bahwa perubahan sosial tidak terjadi melalui proses penyesuaian nilai-nilai
yang membawa perubahan, tetapi terjadi akibat adanya konflik yang menghasilkan
kompromi-kompromi yang berbeda dengan kondisi semula. Max Weber berpendapat
bahwa konflik timbul dari stratifikasi sosial dalam masyarakat. Setiap
stratifikasi adalah posisi yang pantas diperjuangkan oleh manusia dan
kelompoknya. Weber berpendapat bahwa relasi-relasi yang timbul adalah
usaha-usaha untuk memperoleh posisi tinggi dalam masyarakat. Weber menekankan
arti penting kekuasaan atau Power
dalam setiap tipe hubungan sosial. Power (kekuasaan) merupakan generator
dinamika sosial yang mana individu dan kelompok dimobilisasi atau memobilisasi.
Pada saat bersamaan power (kekuasaan)
menjadi sumber dari konflik, dan dalam kebanyakan kasus terjadi kombinasi
kepentingan dari setiap struktur sosial sehingga menciptakan dinamika konflik
(Novri Susan, 2009; 42). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa teori konflik ini
lahir sebagai sebuah antithesis dari teori strukural fungsional yang memandang
pentingnya keteraturan dalam masyarakat.
Teori
konflik melihat sekolah sebagai wahana melestarikan struktur dominasi. Apa yang
terjadi dalam masyarakat tidak akan berubah melalui sekolah, tetapi justru
mempertahankan apa yang telah ada dalam masyarakat. Menurut teori konflik,
relasi-relasi yang terjadi di sekolah adalah usaha-usaha untuk memperoleh
posisi yang dominan dalam masyarakat. Sehingga menurut teori ini, keberadaan
sekolah tidak akan memberikan banyak peran dalam merubah sistem dalam
masyarakat. Adanya stratifikasi dalam masyarakat yang menerangkan adanya
kelompok dominan atas kelompok yang lain tidak akan mampu dirubah melalui
sekolah. Yang terjadi justru sekolah ikut berperan dalam mempertahankan
dominasi kelompok atas kelompok yang lainnya. Apa yang terjadi di sekolah
adalah upaya mempertahankan struktur dominasi dengan pendekatan yang sangat
birokratis. Wujud konkrit dari dominannya teori konflik dalam praktek
penyelenggaraan sekolah antara lain; Kelas anak yang pintar dipisahkan dengan
kelas anak yang kurang pintar; siswa yang pandai berhitung dipisahkan dengan
siswa yang tidak pandai berhitung, siswa yang senang dengan pelajaran eksakta
dipisahkan dengan siswa yang senang dengan pelajaran bahasa dan ilmu-ilmu
sosial; siswa dengan latar belakang nilai yang tinggi hanya dikelompokkan
dengan siswa yang memiliki nilai yang tinggi pula; anak-anak dari keluarga
miskin dipisahkan dari anak-anak dari keluarga kaya, ada kelas akselerasi dan
ada pula kelas regular, dan lain sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa di
sekolah tidak ditemukan situasi yang nyaman untuk belajar. Yang terjadi adalah melanggengkan
konflik, ada diskriminasi, perlakukan yang tidak adil, bahkan ekspoitatif
(ketika anak dipaksa mencintai perhitungan padahal lebih senang dengan tarian
atau olah raga). Pendekatan yang digunakan sangat positifistik yang menjadikan
siswa sangat kaku dengan situasi dan lingkungan sekolah yang dia masuki.
Merubah Wajah Sekolah
Dalam
perspektif teori konflik, tradisi coret-coret seragam sebagai rangkaian kenduri
pelulusan menjadi hal yang biasa karena menjadi wahana ekspresi kegembiraan
setelah menamatkan pendidikan selama kurun waktu tiga tahun. Tetapi, dalam
sudut pandang teori struktural fungsional, tradisi tersebut dapat menjadi bukti
lemahnya peran sekolah dalam mewujudkan keteraturan sebagaimana yang diharapkan
oleh masyarakat. Situasi pengumuman pelulusan menunjukkan bahwa sekolah tidak
mampu mewujudkan apa yang menjadi harapan orang tua murid. Oleh karena itu,
penting untuk mengembalikan fungsi sekolah agar dapat berjalan sebagaimana mestinya.
Sekolah sejatinya memiliki tiga fungsi pokok. Pertama, sharing (berbagi). Melalui sekolah, baik antara siswa dengan siswa
atau antara siswa dangan guru dapat saling berbagi. Guru dapat berbagi
pengalaman kepada siswa, siswa juga dapat berbagi pengalamannya kepada guru
atau kepada sesama siswa. Terkadang, siswa memiliki keterbatasan dalam
mengelola pengalaman untuk mendapatkan nilai positif, disini sangat penting
untuk saling berbagi. Dengan langkah ini, siswa akan memperoleh pengalaman
belajar yang lebih komplit.
Kedua
caring (peduli). Langkah ini dapat
menjadi cara yang tepat untuk memahami berbagai persoalan yang dihadapi oleh
siswa. Hampir semua siswa mempunyai problem, apakah terkait dengan pribadi
maupun keluarga atau dengan lingkungan sosialnya. Tetapi, terkadang mereka
tidak menemukan tempat yang tepat untuk mencurahkan segala problem yang
dihadapi. Melalui kegiatan peduli, hubungan siswa dengan guru atau siswa dengan
sesama akan semakin lekat, dan melalui kegiatan peduli pula, siswa akan melihat
sekolah sebagai tempat yang nyaman untuk mendapatkan solusi atas segala
kepahitan yang dialami. Memberikan perhatian kepada sesama, atau perhatian dari
guru ke siswa, akan menumbuhkan rasa solidaritas dan persaudaraan yang kuat
diantara sesama komunitas sekolah.
Ketiga
learning (belajar). Kegiatan ini akan
terjadi, apabila ada interaksi-dialogis antara siswa dengan guru dan siswa
dengan sesama siswa. Jika dalam kegiatan pembelajaran hanya guru yang aktif,
maka yang terjadi adalah indoktrinasi. Oleh karena itu, peran guru yang dominan
harus dikurangi. Posisi guru dan siswa sebaiknya adalah mitra, sehingga
menciptakan situasi belajar yang menyenangkan. Dengan demikian, melalui
belajar, siswa akan menganggap sekolah sebagai tempat yang paling baik dan nyaman
untuk mengembangkan sikap dan prilaku, mengembangkan pengetahuan, dan
mengembangkan keterampilan demi mencapai kesuksesan. Selama ini, fungsi sekolah
belum berjalan sebagaimana mestinya. Fungsi sharing,
caring, dan learning masih sering terabaikan, perhatian sekolah lebih tertuju
pada pencapaian target kurikulum. Akibatnya adalah, hanya sebagian saja siswa
yang dapat terdorong untuk belajar dan sukses.
Nampaknya,
inilah yang menjadi penyebab mengapa tradisi coret-coret dalam setiap momen
pelulusan belum bisa dihilangkan (oleh sebagian sekolah). Fungsi sekolah untuk
memberikan sharing, caring, dan learning bagi peserta didik belum berjalan sebagaimana yang
diharapkan. Apakah ini adalah akibat dominannya teori konflik atau melemahnya
teori struktural fungsional dalam praktek persekolahan? Entahlah. Yang pasti
bahwa pergumulan kedua teori tersebut dalam praktek persekolahan adalah hal
yang niscaya. Tentang teori apa yang dominan, sangat ditentukan oleh mindset pengelola sekolah terutama
kepala sekolah dan tenaga pendidik dan kependidikan. Wallahu a’lam bish-Shawab.
Postingan terkait:
Mantap
BalasHapus