Salah satu hal yang membuat kita terkagum diantara
sekian banyak yang menarik dari cerita tentang Kesultanan Buton adalah dijadikannya
Martabat Tujuh sebagai Undang-Undang kesultanan pada
masa pemerintahan sultan ke-IV dengan gelar Dayyan
Ikhsan ad-Din. Mengapa? Karena
sejatinya, Martabat Tujuh bukanlah undang-undang, tetapi tingkatan tasawuf
yang dikembangkan oleh Muhammad Ibn Fadlullah al-Burhanpuri. Martabat Tujuh
merupakan salah satu konsep dari cabang ilmu tasawuf yang mengkaji tentang
penciptaan dan yang dicipta (asal mula
ada hingga tiada dari zat kembali ke asal). Salah satu Tokoh besar Martabat Tujuh
adalah Ibnu Arabi (Alifuddin, 2007 ; 121). Ajaran Martabat Tujuh masuk ke Indonesia
pertama kali dikembangkan di Aceh (Kerajaan Samudra Pasai) oleh Hamzah Fansuri
dan Syams-ad-Din Al-Sumatrani. Ajaran ini dibawa masuk ke Buton oleh Syarif
Muhammad pada abad ke-17 (Yunus, 1995: 67). Ketujuh martabat tersebut terdiri dari;
pertama, martabat ahadiyah; kedua, martabat al-Wahdah; ketiga, martabat
al-Wahidiyyah; keempat, martabat alam al-arwah; kelima, martabat
alam al-misal; keenam, martabat alam al-ajsam; dan ketujuh adalah martabat
al-insan. Dalam implementasinya secara
kontekstual, sangat sarat dengan nilai-nilai pendidikan karakter. Nilai-nilai
inilah yang kemudian mengikat seluruh elemen kesultanan, sehingga tercipta masyarakat
yang rukun dan damai dengan senantiasa menjungjung tinggi segala aturan yang
berlaku.
Sekilas tentang Pembentukan Martabat Tujuh
Pasca
berakhirnya masa kekuasaan Murhum (sultan ke-1) hingga beberapa sultan
berikutnya tidak ada perkembangan berarti dalam sistem dan struktur
ketatanegaraan di Buton. Baru pada masa ketika La Elangi diangkat menjadi
sultan ke-4 (1579-1631) terjadi suatu perubahan yang sangat drastis dalam
tradisi dan sistem sosial budaya masyarakat Buton yang ditandai dengan di
susunnya suatu undang-undang dasar yang dikenal dengan undang-undang ”Martabat Tujuh versi Buton”. Dikatakan
versi Buton karena ajaran Martabat Tujuh adalah konsep atau ajaran yang dikenal
dalam dunia tasawuf dikalangan umat Islam. Pembentukan undang-undang Martabat
Tujuh oleh La Elangi dinyatakan sebagai upaya kearah pembentukan tatanan
tradisi kehidupan sosial bernegara yang teratur dan dilandasi oleh nilai-nilai
supremasi hukum. Selain itu pembentukan tersebut juga tidak lepas dari suatu
tuntutan situasi sosial politik dan budaya masyarakat yang berkembang pada saat
itu, hal ini paling tidak dapat dilihat dari suasana yang menjadi latar
belakang pembentukan undang-undang Martabat Tujuh.
Dikatakan
oleh Muchiru bahwa diundangkannya Martabat Tujuh sebagai konstitusi resmi
kesultanan dilandasi oleh kondisi aktual terjadi pada masa itu yaitu terjadinya
krisis politik dan moral khususnya di kalangan keluarga bangsawan. Para turunan
bangsawan khususnya anak para pejabat kerajaan banyak yang berbuat melampaui
batas atau sewenang-wenang kepada rakyat kebanyakan, terutama ketika terjadi
krisis pangan akibat terjadi kekeringan, yaitu pada masa Sultan La Sangaji atau
sultan ke-3. Kondisi tersebut mengguncang suasana kehidupan sosial dan
kemasyarakatan, sehingga tokoh-tokoh masyarakat melaporkan kepada sultan untuk
mengambil tindakan pencegahan atas berbaga gejala sosial yang terjadi. Keadaan
tersebut oleh Sultan Dayanu Ikhsanuddin direspon dengan jalan menyusun
undang-undang kesultanan yang kemudian dijadikan payung hukum dalam kehidupan
sosial politik. Undang-undang tersebut kemudian dinamakan dengan undang-undang
Martabat Tujuh (Alifuddin : 2007, 121). Dengan demikian, penyusunan Martabat
Tujuh dari sisi latar belakang historis adalah sebagai upaya pemerintah
kesultanan menciptakan tatanan kehidupan bermasyarakat dan politik yang
harmonis, yang konon dilakukan setelah melalui jalan mistik. Dikatakan oleh
Alifuddin (2007) bahwa penggunaan istilah Martabat Tujuh sebagai nama
undang-undang kesultanan selain menggambarkan kuatnya pengaruh Islam pada
institusi kesultanan, juga tidak terlepas dari pengaruh situasi politik
“global” yang terjadi pada saat itu. Dari sudut pandang sejarah, pencakokan
istilah Martabat Tujuh tidak dapat dilepaskan dengan trend perkembangan islam pada masa itu. Sebagaimana diketahui bahwa
pembentukan Islam pada masa awal sangat dipangaruhi oleh ajaran tasawuf, bahkan
dapat dinyatakan bahwa kaum sufilah yang memiliki andil besar dalam pembentukan
tradisi Islam masa awal.
Setelah undang-undang Martabat Tujuh
tersusun, diketahui ada instruksi yang kuat dari pihak kesultanan untuk
mentaati muatan dan misi konstitusi tersebut. Hal ini dapat dilihat pada ucapan
Sapati (jabatan dibawah Sultan) La
Singga pada saat pembacaan perdana undang-undang Martabat Tujuh dihadapan
masyarakat yang bertempat di depan Daobawo
(depan masjid keraton) sebagai berikut:
“Bahwa sesungguhnya pada hari ini kamil-lah (sempurnalah) hukum kita, maka barangsiapa yang
melebihkan pada bilangannya atau menukar ganti aturannya dan memindahkan akan
tempatnya, maka disumpahi dari permulaan sampai anak cucu kita dengan….hancur
binasa mereka (yang merubah dan melanggar Martabat Tujuh, tidak berketurunan,
tidak sempat berbaring diatas bantal tikarnya” (Ganiu H. Abdul).
Kontekstualisasi
Martabat Tujuh dalam sistem sosial budaya masyarakat Buton dapat dilihat pada
tabel berikut;
Model
Martabat Tujuh oleh Sultan Dayanu Ikhsanuddin
Muhammad ibn
Fadhlullah
Al Burhanpuri
|
Sultan Dayanu
Ikhsanuddin/
La Elangi
|
Kontekstualisasi/Perwujudan
dalam sisten sosial budaya Buton oleh Dayanu Ikhsanuddin
|
Martabat Ahadiyah (la
ta'yun)
|
Martabat Ahadiyah (la
ta'yun)
|
Kaum Tanailandu
|
Martabat Wahdah
(al-ta'yun al awwal
|
Martabat Wahdah
(al-ta'yun al awwal
|
Kaum Tapi-tapi
|
Martabat Wahidiyah
(Ta'yun thany)
|
Martabat Wahidiyah
(Ta'yun thany)
|
Kaum Kumbewaha
|
Martabat alam arwah
(Abu al-arwah)
|
Martabat alam arwah
(Abu al-arwah)
|
Sultan
|
Martabat 'alam mitsal
(Bayangan segala tubuh)
|
Martabat 'alam mitsal
(Bayangan segala tubuh)
|
Sapati
|
Martabat 'alam ajsam
|
Martabat 'alam ajsam
|
Kinepulu
|
Martabat al-insan
|
Martabat al-insan
|
Kapitalao dan
masyarakat umum
|
(Sumber : Alifuddin, 2007, 124-125)
Untuk pembumian lebih lanjut maka masyarakat didorong oleh pihak kesultanan agar bersikap rendah hati dan menerima segala ketentuan yang ada dengan merujuk pada asas binci-binciki kuli, yaitu mereka yang berkuasa harus dihormati dan disegani, orang yang setara atau sederajat diberikan perhatian, kepada mereka yang menjadikan kedudukan kita tinggi harus diberi simpati. Penghormatan yang demikian menjadi patut mengingat rendah hati merupakan hal yang sangat diperlukan bagi kebatinan, seperti yang tertuang dalam sara Wolio sebagai berikut; patuh kepada Dewan Wolio di kesultanan dapat meningkatkan derajat orang di mata Tuhan, ini berlaku bagi siolimbona, para pejabat lain, serta masyarakat yang tidak memangku jabatan, semua itu berakar pada kerendahan hati. Bila kita kehilangan kerendahan hati dan tidak lagi berperilaku sederhana, maka akibat yang akan menimpa kita adalah berprilaku dan berbicara tidak pantas, berpakaian angkuh dan menghina sesama manusia. Nabi mengatakan “man wada-‘a nafsah rafa-‘a Allah” (barangsiapa merendahkan dirinya kelak akan diangkat oleh Tuhannya), tetapi “man rafa-‘a nafsah wada’a Allah” (barang siapa yang mengangkat diri, kelak akan dicampakkan oleh Tuhannya).
Sejak Martabat Tujuh diundangkan
sebagai konstitusi resmi kesultanan Buton, terjadi berbagai perubahan dalam
tatanan sosial masyarakat Buton. Perubahan yang dilakukan oleh La Elangi
(Sultan Dayanu Ikhsanuddin) tidak hanya terjadi dalam susunan birokrasi
kesultanan, tetapi lebih dari itu perubahan tersebut telah menjadikan Buton
sebagai negeri kesultanan yang memiliki tatanan dan sistem politik yang
bercorak “demokratis”. Hal ini dapat dilihat dari adanya pemisahan sistem
ketatanegaraan dengan melakukan pemisahan kekuasaan yang terdiri dari eksekutif
(sultan), legislatif (siolimbona) dan yudikatif (kinepulu). Hak-hak politik sultan
diawasi langsung oleh siolimbona, sehingga dalam bertindak dan mengambil
kebijakan harus melalui suatu mekanisme, yaitu persetujuan pangka (badan tertinggi pemerintahan) atau aparat kesultanan dan
persetujuan dari siolimbona, sebagaimana tercantum pada pasal 1, 3, dan 4
undang-undang Martabat Tujuh. Bersamaan dengan itu, pola rekruitmen
kepemimpinan dilakukan melalui sistem perwakilan, dimana masyarakat menyalurkan
aspirasinya pada dewan siolimbona sebagai wakil rakyat. Selain itu pengangkatan
seorang pejabat harus memenuhi syarat sebagaimana diatur pada pasal 3, 5, dan 6
undang-undang Martabat Tujuh.
Dalam sejarah Buton setelah
diundangkannya Martabat Tujuh terdapat sejumlah pejabat penting kesultanan yang
dijatuhi hukuman karena melanggar aturan dan ketentuan undang-undang yang
berlaku, salah satu diantaranya adalah Sultan Mardan Ali (1647-1654) yang
dihukum gantung. Selain itu sejumlah sultan disengserkan dari jabatannya karena
dipandang tidak mampu melaksanakan amanat rakyat sebagaimana tercantum dalam
konstitusi. Sultan Abdul Wahhab (sultan ke-5) misalnya, dipecat dari jabatannya
karena memerintah negara tidak aman, dan sultan La Buke (sultan ke-6) yang
dipecat dengan alasan rakyat mengalami penderitaan akibat kerja keras untuk
membangun benteng keraton. Hal ini merupakan kenyatan sejarah yang menunjukkan
bahwa secara adat kekuasaan golongan penguasa tidak bersifat absolut. Golongan
yang lebih tinggi status sosialnya tidak boleh memandang enteng golongan
rendah; semua lapisan harus saling menghormati dan menyayangi (Yunus : 1995,
30). Dalam sistem sosial kemasyarakatan, meskipun dalam masyarakat Buton
dikenal adanya pengelompokan berdasarkan strata atau status sosial (kaumu, walaka, dan papara), tetapi hubungan kemasyarakatan berjalan dengan aman. Hal
ini terjadi karena diatur dalam undang-undang kesultanan. Pada mukaddimah
undang-undang Martabat Tujuh dijelaskan bahwa untuk mewujudkan pola hidup bersama
yang aman maka dibangun sebuah filosofi hidup yang disebut dengan prinsip “binci-binciki kuli, yang berarti prinsip
hidup “senasib sepenanggungan”.
Prinsip ini dibangun atas empat pilar, yaitu;
Baabaana, opomae-maeka (pertama, takut-menakuti);
Ruaanguaka, opopia-piara (kedua, pelihara-memelihara);
Taluanguka, opomaa-maasiaka (ketiga, sayang-menyayangi);
Pataanguka, poangka-angkataka (keempat, hormat-menghormati).
Falsafah tersebut diatas, menggambarkan
pola hubungan yang memandang bahwa semua golongan satu terhadap yang lain,
harus saling menakuti (segani), memelihara (mengayomi), menyayangi dan
menghormati. Masing-masing mempunyai hak dan tanggungjawab sesuai dengan
kedudukannya dalam negara. Yang bersalah dan tidak memenuhi tanggungjawabnya
sesuai kedudukannya akan dikenakan hukuman tanpa memandang kedudukan dan status
sosialnya. Makna dari keempat falsafah tersebut adalah;
1.
Pomae-maeka. Makna dasar
dari ungkapan ini adalah “saling takut-menakuti”. Filosofi dasarnya terkait
erat dengan cara dan pendekatan yang harus ditempuh oleh setiap individu
masyarakat Buton dalam menata kehidupan kemasyarakatan dan bernegara, tanpa
adanya pengecualian, baik mereka yang merupakan dewan negeri atau para
pengguasa, yaitu untuk hidup dan taat diatas aturan-aturan yang ditetapkan oleh
sara.
2.
Popiara-piara. Makna dari
istilah ini adalah saling memelihara dan saling menjaga harga diri dan
kehormatan antara satu dengan yang lainnya. Pemerintah mengayomi masyarakatnya
dan masyarakat menghormati dan menuruti pemerintah, sehingga terjadi sinergi
antara penguasa dengan masyarakat.
3.
Pomaasi-maasiaka, artinya saling
menyayangi dan mengasihi antar sesama. Langkah ini adalah upaya menciptakan
integrasi sosial yang utuh ditengah masyarakat, maka ikatan batin yang mengikat
masyarakat harus tetap dipertahankan melalui hubungan sosial diantara sesama
warga yang penuh keharmonisan diatas landasan saling mengasihi dan menyayangi.
4.
Poangka-angkata, artinya saling
membesarkan atau saling mengangkat martabat antar sesama. Falsafah ini berasal
dari hakikat dasar setiap manusia yang memiliki martabat yang sama, sehingga
dalam kehidupannya tidak seorangpun diantara manusia yang ingin direndahkan
martabat dan harga dirinya. Oleh karena itu, kewajiban menjunjung tinggi harkat
dan martabat sesama manusia merupakan salah satu hak yang paling mendasar untuk
diperhatikan setiap orang.
Berbarengan dengan ke empat pilar
filosofi binci-binciki kuli
sebagaimana diuraikan diatas, juga dijelaskan empat hal yang harus dihindari
oleh masyarakat dalam mengembangkan pola hidup bermasyarakat, yaitu:
1)
Sabaragau, merampas hak
bersama (masyarakat) untuk dikuasai atau dijadikan milik pribadi.
2)
Lempagi, mengambil hak
milik orang lain tanpa sepengetahuan pemiliknya.
3)
Pulu mosala
temingku mosala.
Pulu mosala artinya mengeluarkan perkataan yang bersifat menghina, sedangkan
tee mingku mosala, yaitu sikap tubuh yang menunjukkan ketinggian hati (angkuh),
sehingga berpakaian yang tidak selaras dengan kedudukannya. Gila, pangkat, gila
harta dan mabuk jabatan, melakukan kejahatan maupun penggaran.
4)
Pebula. Mempunyai dua
maksud, yaitu; (a) melakukan perzinahan di dalam kampung, dan (b) mencari
keuntungan pada rakyat atau penduduk dengan jalan dan mengambil yang bukan
haknya atau menggelapkan uang negara (baku
magari/korupsi) (Alifuddin: 2007, 146-148).
Pasal 5 undang-undang Martabat tujuh
menekankan pentingnya berprilaku sosial seperti yang termaktub dalam etik
ketuhanan, yang biasa juga disebut dengan “Amanat yang Tujuh”. Kemudian pada
pasal 6 dijelaskan bahwa 7 (tujuh) prinsip dasar yang merupakan amanah atau
kepercayaan hamba terhadap khalik-Nya.
Amanat tersebut meliputi tujuh perkara yang menyatakan sifat Tuhan sebagai
berikut;
1.
Hayat, itulah
suatu anugerah Tuhan yang amat penting dan utama wajib dijaga dan dipelihara
sebaik-baiknya. Janganlah berbuat sesuatu hal yang menyebabkan binasanya atau
matinya, melainkan hal yang diridhai oleh Allah.
2.
Ilmu, suatu
alat yang dipakai untuk mengetahui keadaan diri dan keadaan Tuhan, seperti
sabda nabi: “Man ‘arafa nafsahu faqad
‘arafa rabba”. Artinya: barang siapa yang mengenal akan keadaan dirinya
akan mengenallah ia akan Tuhannya.
3.
Qudrah/kekuasaan,
suatu kekuatan yang dipakai untuk mengerjakan ibadah lahir dan batin, ibadah
lahir berarti mengabdi kepada bangsa dan tanah air, ibadah batin yaitu berbakti
kepada Tuhan.
4.
Iradat/keinginan,
senantiasa timbul kemauan dan keinginan menghendaki pekerjaan yang mendatangkan
manfaat atau kebaikan bersama, baik kebaikan dunia maupun kebaikan akhirat.
5.
Sama’/pendengaran,
dipakai untuk mendengarkan perintah Allah dan Rasul atau firman dan menjauhi
apa-apa yang dilarang Allah. Hendaklah menjauhi pendengarannya dari apa-apa
yang mendatangkan kebinasaan, seperti perkataan caci maki, umpat, menghina, dan
lain-lain.
6.
Basarah/penglihatan,
dipakai untuk mendatangkan sesuatu yang bermanfaat dirinya atau sesamanya,
semisal melihat kebersihan dalam menjalankan ibadah atau
kebersihan-sehari-hari. Jauhkan pemandangan yang mendatangkan kebinasaan.
7.
Kallam/perkataan,
mengeluarkan perkataan yang diwajibkan oleh Allah, yaitu segala berkataan yang
berguna bagi manusia dan menjauhkan diri dari perkataan atau menyebut hal yang
menunjukkan aib orang atau menimbulkan kemarahan orang serta jauh dari pada
dusta.
Berdasarkan uraian tersebut, nampak
bahwa terdapat sejumlah falsafah hidup yang menjadi muatan undang-undang
Martabat Tujuh yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan masa kini.
Perkembangan zaman dimana prilaku hidup masyarakat semakin bebas dan semakin
jauh dari etika dan moral bangsa sudah semestinya kita merefleksi kembali nilai-nilai
sejarah masa lalu untuk dijadikan acuan dalam konteks kekinian.
Konsep Pendidikan Karakter
Secara etimologis, kata
karakter (Inggris: character) berasal
dari bahasa Yunani (Greek), yaitu charassein yang berarti “to engrave” (Ryan dan Bohlin, 1999 : 5).
Kata “to engrave” bisa diterjemahkan
mengukir, melukis, memahatkan, atau menggoreskan (Echols dan Shadily,
1987:214). Dalam kamus bahasa Indonesia, kata karakter diartikan dengan tabiat,
sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan
yang lain, dan watak. Orang berkarakter berarti orang yang berkepribadian,
berprilaku, bersifat, bertabiat atau berwatak. Dengan makna seperti ini berarti
karakter identik dengan kepribadian atau akhlak. Sedangkan secara terminologis,
makna karakter dikemukakan oleh Thomas Lickona. Menurutunya karakter adalah “A reliable inner disposition to respond to
situations in amorally good way”. Selanjutnya Lickona menambahkan, “Character so conceived has three
interrelated parts: moral knowing, moral feeling, and moral behavior”.
(Zuchdi Darmiati, dkk: 2012, 21). Menurut Lickona, karakter mulia (good character) meliputi pengetahuan
tentang kebaikan, lalu menimbulkan komitmen (niat) terhadap kebaikan, dan
akhirnya benar-benar melakukan kebaikan. Dengan kata lain, karakter mengacu
pada serangkaian pemikiran (cognitives),
perasaan (affectives), dan prilaku (behaviors) yang sudah menjadi kebiasaan
(habits). Dari pengertian diatas
dapat dipahami bahwa karakter identik dengan akhlak, sehingga karakter merupakan
nilai-nilai prilaku manusia yang universal yang meliputi seluruh aktivitas
manusia, baik dalam rangka berhubungan dengan Tuhannya, dengan dirinya, dengan
sesama manusia, maupun dengan lingkungananya, yang terwujud dalam pikiran,
perasaan, dan perkataan serta prilaku sehari-hari berdasarkan norma-norma
agama, hukum, tata karma, budaya dan adat istiadat. Dari konsep karakter ini,
muncul konsep pendidikan karakter (character
education).
Ki Hadjar Dewantara, tidak menyebutkan
secara eksplisit dengan pendidikan karakter, tetapi menyebutnya dengan
pendidikan budi pekerti. Penekanan terkait dengan pendidikan budi pekerti dapat
dilihat dari rumusan tujuan pendidikan taman siswa yaitu membangun manusia yang
memiliki keluhuran akal-budi dan jasmaninya menjadi anggota masyarakat.
Memiliki keluhuran akal-budi, berarti memiliki pengetahuan dan sikap/prilaku
yang baik, yang dalam konsep Islam disebut dengan ber-akhlakul karimah. Dalam bukunya yang diberi judul “Ki Hadjar
Dewantara; Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka; I (Pendidikan), Ki
Hadjar Dewantara mengatakan bahwa syarat pendidikan budi-pekerti adalah “ngerti-ngrasa-nglakoni” (menyadari,
menginsyafi dan melakukan) dapat terpenuhi. Itulah maksud dan tujuan pemberian
pengajaran budi-pekerti, dihubungkan dengan tingkatan-tingkatan perkembangan
jiwa yang ada di dalam hidupnya anak-anak, mulai kecilnya sampai masa dewasanya
(2013; 484-485).
Pendidikan karakter yang benar harus
melibatkan aspek “knowing the good”
(moral knowing), desiring the good atau “loving
the good” (moral feeling) dan acting
the good (moral action). Sebab tanpa melibatkan ketiga aspek tersebut
manusia akan sama seperti robot yang terindokronasi oleh suatu paham. Dengan
demikian, implementasi pendidikan karakter di sekolah harus melibatkan tiga
aspek, yaitu; pengetahuan tentang kebaikan (moral
knowing/ngerti), perasaan tentang kebaikan (moral feeling/ngerasa), serta tindakan kebaikan (moral behavior/ngelakon). Melihat wujud
praktis atau penerapan dari ketiga aspek tersebut dapat dilihat pada tiga
wilayah, yaitu; lingkungan kelas, lingkungan sekolah, dan lingkungan
masyarakat. Artinya, pengetahuan, nilai dan sikap yang diajarkan kepada peserta
didik tidak sebatas dipahami dalam pembelajaran di kelas, tetapi harus dapat
diterapkan langsung dilingkungan kelas, lingkungan sekolah, dan lingkungan
masyarakat.
Muatan Pendidikan Karakter
Kandungan pendidikan karakter pada Martabat Tujuh dapat dilihat dengan mengacu
pada konsep pendidikan karakter Likhona (moral
knowing, moral feeling, moral behavior) dan konsep pendidikan budi pekerti Ki
Hadjar Dewantara (ngerti, ngerasa,
ngelakon). Karena meskipun secara istilah berbeda namun secara substansi memiliki
kandungan makna yang sama. Letak persamaannya adalah baik konsep Likhona maupun
Ki Hadjar Dewantara meletakkan pendidikan karakter/pendidikan budi pekerti pada
tiga pilar, yaitu pengetahuan mengenai kebaikan, perasaan tentang kebaikan, dan
perbuatan yang bernilai kebaikan. Dengan demikian, dapat diuraikan kandungan atau muatan pendidikan karakter
Martabat Tujuh adalah sebagaimana tabel berikut;
No.
|
Moral Knowing/Ngerti
|
Moral Feeling/Ngerasa
|
Moral Behavior/Ngelakon
|
1
|
Binci-binciki kuli
|
Memiliki karakter
senasib sepenanggungan
|
Suka menolong, suka
membantu, senang berempati.
|
2
|
Pomae-maeka
|
Memiliki perasaan
takut bersalah
|
Taat aturan, disiplin,
tidak suka melanggar tata tertib, tidak korupsi.
|
3
|
Popiara-piara
|
Memiliki jiwa
senang/suka memelihara
|
Menjaga kebersihan,
gotong royong, rajin bekerja, suka menolong.
|
4
|
Pomaasi-maasiaka
|
Memiliki jiwa saling
mengasihi sesama
|
Berbakti kepada orang
tua, sayang kepada sesama, menjaga lingkungan.
|
5
|
Poangka-angkata
|
Memiliki karakter
saling menghargai sesama
|
Mengormati guru,
teman, orang yang lebih tua, pandai berteman.
|
6
|
Hayat
|
Menyadari akan kahikat
hidup bersama
|
Taat kepada Allah,
rajin beribadah, hidup bersih, hidup hemat.
|
7
|
Ilmu
|
Menyadari pentingnya
ilmu pengetahuan
|
Rajin membaca/belajar,
dan menuntut ilmu
|
8
|
Qudrah/kekuasaan
|
Menyadari adanya
potensi diri
|
Rajin bekerja dan
berolah raga, pandai berkomunikasi, dan pandai berterima kasih
|
9
|
Iradat/keinginan
|
Memiliki motivasi yang
kuat
|
Memiliki semangat
perubahan, memperbaiki diri, dan semangat memberi manfaat kepada sesama.
|
10
|
Sama’/pendengaran
|
Mendengarkan sesuatu
yang baik dan bermanfaat
|
Suka mendengarkan nasehat
guru dan orang tua, saudara, maupun sesama.
|
11
|
Basarah/penglihatan
|
Memiliki cara pandang
serta visi yang kuat
|
Memiliki cita-cita dan
harapan masa depan untuk diri sendiri, orang tua, keluarga, maupun untuk
negara dan agama.
|
12
|
Kallam/perkataan
|
Memiliki karakter
bertutur kata yang lembut lembut dan sopan
|
Tidak suka menghina,
atau menfitnah, tidak suka membentak, tidak kasar, dll
|
Keseluruhan
muatan pendidikan karakter yang terkandung dalam undang-undang kesultanan Buton
(Martabat Tujuh) tersebut memiliki nilai urgensi bagi peserta didik bukan hanya
dalam konteks ruang kelas, tetapi juga dalam lingkungan sekolah, serta dalam
lingkungan masyarakat secara umum. Oleh karena itu, internalisasi nilai-nilai
pendidikan karakter dalam undang-undang Martabat Tujuh pada peserta didik tidak
cukup hanya sampai ngerti (mengetahui)
dan ngerasa (merasakan) tetapi harus
sampai pada ngelakon (melakukan) sebagaimana
konsep Ki Hadjar Dewantara. Wallahu a’lam
bish-Shawab
Belum ada tanggapan untuk "Muatan Pendidikan Karakter Martabat Tujuh"
Posting Komentar