PENDAHULUAN
Pendidikan
menjadi institusi yang paling strategis dalam upaya penyiapan sumber daya
manusia (SDM) yang berkualitas. Melalui pendidikan setiap warga negara
diharapkan menjadi manusia-manusia yang memiliki kepribadian yang utuh,
memiliki pengetahuan, keterampilan, serta sikap dan prilaku yang selaras dengan
nilai dan norma dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Disamping itu, melalui institusi pendidikan pula warga masyarakat diharapkan
dapat ikut berpartisipasi aktif dalam menyukseskan pembangunan baik yang
sifatnya fisik mamupun non fisik. Tetapi, mengembangkan sumber daya manusia
yang berkualitas bukanlah persoalan gampang. Kita dapat melihat bahwa
penyelenggaraan pendidikan kita sudah berjalan puluhan tahun, tetapi dari aspek
kualitas kita masih jauh tertinggal dari negara-negara lain semisal Singapore,
Thailand, Korea Selatan, Jepang, Finlandia, dan lain sebagainya. Dalam konteks
ini, maka penting untuk memahami psikologi perkembangan manusia, sehingga
strategi pengembangan sumber daya manusia dapat dirumuskan dengan berbasis pada
teori psikologi perkembangan.
Salah
satu tokoh psikologi perkembangan manusia yang sangat berpengaruh adalah
Piaget. Berdasarkan hasil penelitiannya, Piaget mengemukakan empat tahap
perkembangan kognitif manusia yang berkembang secara kronologis. Keempat tahap
tersebut adalah; (1) tahap sensori motor, (2) tahap pra operasi, (3) tahap
operasi konkrit, dan (4) tahap operasi formal. Mekanisme perkembangan
masing-masing tahap dilakukan dengan organisasi kognitif, adaptasi kognitif,
dan keseimbangan kognitif. Memahami tahap perkembangan kognitif Piaget serta
mekanisme perkembangannya merupakan sesuatu yang sangat urgen, hal ini dapat
menjadi pemandu bagaimana meningkatkan potensi sumber daya manusia, khususnya
peserta didik di sekolah agar dapat berkembang sesuai dengan tingkatan usia dan
kedewasaannya.
Dalam
Undang-Undang nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dijelaskan
bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab (Bab II Pasal 3). Berdasarkan pada
undang-undang tersebut nampak bahwa apa yang menjadi penekanan dalam pendidikan
adalah berkembangnya potensi peserta didik. Oleh karena itu, institusi yang
dianggap paling bertanggungjawab adalah sekolah. Melalui sekolah, diharapkan
bahwa potensi peserta didik dapat dikembangkan seoptimal mungkin agar menjadi
generasi yang berkualitas, generasi yang berkompetensi, serta generasi yang
bermoral dan beretika. Tentu, harapan tersebut tidaklah mudah, karena itu untuk
mencapainya dibutuhkan kerja keras dan bahu-membahu serta komitmen yang tinggi dari
semua stakeholder pendidikan. Madrasah sebagai sekolah umum yang
berciri khas tidak terlepas untuk mendukung fungsi dan tujuan pendidikan
nasional. Sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional madrasah diharapkan
mempunyai peran yang sangat strategis dalam mengembangkan potensi peserta didik.
Oleh karena itu, pemahaman tentang teori perkembangan Piaget sangat penting
sehingga dapat dilihat implikasinya terhadap madrasah. Sebagaimana diketahui
bahwa pendidikan madrasah juga memiliki jenjang sebagaimana sekolah. Jika
jenjang pendidikan di sekolah terdiri dari Taman Kanak-Kanak (TK), Sekolah
Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menegah Atas (SMA),
maka jenjang pendidikan madrasah terdiri dari Raudhatul Athfal (RA), Madrasah
Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), dan Madrasah Aliyah (MA).
Masing-masing jenjang tersebut menggambarkan perbedaan usia, dengan demikian
memiliki implikasi yang kuat dengan teori perkembangan Piaget khususnya dalam
penentuan pendekatan dan metode pembelajaran sehingga sesuai dengan
perkembangan peserta didik.
PEMBAHASAN
A.
Riwayat
Hidup Piaget
Sebagian besar materi dalam sketsa geografi bersumber dari
Autobiografi Piage (1952a). Jean Piaget lahir pada tahun 1896 di Neuchatel,
Swiss (Switszerland). Piaget diceritakan oleh bapaknya yang seorang sejarahwan,
sebagai seorang yang sangat teliti dan pemikir yang kritis, orang yang tidak
suka terburu-buru mengambil kesimpulan, dia tidak takut memulai pertengkaran (fight) ketika menemukan kebenaran
sejarah dipelintir untuk disesuaikan dengan tradisi (Piaget, 1952a, p.237).
Piaget diingat oleh ibunya sebagai adalah orang yang cerdas, penuh semangat,
baik hati, dan memiliki jalan bagi apa yang diinginkan Piaget terhadap “dunia
pribadi dan tanpa hayalan” (private and
nonfictitious world), dunia kerja yang serius. Piaget mengetahui bahwa
situasi yang tidak normal dalam keluarga telah menggungah minatnya dalam Teori
psikoanalisis (Miller, 2011: 28).
Piaget adalah seorang anak yang terlalu cepat menjadi
matang, yang mengembangkan minatnya dalam biologi dan dunia pengetahuan alam,
khususnya tentang moluska (kerang-kerangan), dan bahkan menerbitkan sejumlah
makalah sebelum ia lulus dari SMA. Karirnya yang panjang dalam penelitian
ilmiah dimulai ketika ia baru berusia 11 tahun dengan diterrbitkannya sebuah
makalah pendek pada tahun 1907 tentang burung gereja albino. Sepanjang karirnya,
Piaget menulis lebih dari 60 buah buku dan ratusan artikel. Memperoleh gelar
Ph.D dalam bidang ilmu alamiah dari Universitas Neuchatel, dan juga pernah
belajar di Universitas Zurich. Selama masa ini, ia menerbitkan dua makalah
filsafat yang memperlihatkan arah pemikirannya pada saat itu, tetapi kemudian
ditolaknya karena dianggap sebagai karya tulis seorang remaja. Minatnya
terhadap psikoanalisis, sebuah aliran psikologi yang berkembang pada saat itu,
mulai berkembang pada periode ini.
Piaget pindah dari Swiss ke Grange-aux-Belles, Prancis,
kemudian mengajar di sekolah untuk anak-anak lelaki yang dikelola oleh Alfred
Binet, pengembang tes inteligensia Binet. Ketika ia membantu menandai beberapa
contoh dari tes-tes inteligensia inilah Piaget memperhatikan bahwa anak-anak
kecil terus menerus memberikan jawaban yang salah untuk pertanyaan-pertanyaan
tertentu. Piaget tidak terlalu memperhatikan pada jawaban-jawaban yang keliru
tersebut, melainkan pada kenyataan bahwa anak-anak yang kecil it uterus menerus
membuat kesalahan dalam pola yang sama, yang tidak dilakukan oleh anak-anak
yang lebih besar dan orang dewasa. Hal ini menyebabkan Piaget mengajukan teori
bahwa pemikiran atau proses kognitif anak-anak yang lebih kecil pada dasarnya
berbeda dengan orang dewasa. Pada tahun 1921, Piaget kembali ke Swiss sebagai
direktur Institut Rousseau di Geneva.
Pada tahun 1923, Piaget menikah dengan salah seorang
mahasiswanya yang bernama Valentine Chatenay. Mereka kemudian dikaruniai tiga
orang anak yang menjadi subjek penelitiannya sejak masa bayinya. Sampai pada
tahun 1950, Piaget banyak meneliti dan menulis tentang perkembangan inteligensi
manusia. Ia juga mengaplikasikan hasil temua psikologis tersebut dalam
persoalan epistemologi. Pada tahun ini juga, ia mempublikasikan seri
epistemology genetik. Buku tersebut merupakan sintesis pemikirannya mengenai
beberapa aspek pengetahuan, termasuk matematika, fisika, psikologi, sosiologi,
biologi dan logika. Piaget menganalisis aspek-aspek pengetahuan dalam term
hubungan antara individu dengan lingkungannya, antara subjek yang mengetahui
dengan objek yang diketahui. Ia mencoba menentukan apakah relasi itu disebabkan
oleh jenis pengetahuan yang ada. Misalnya, apakah pengetahuan matematis
menuntut suatu tipe interaksi yang berbeda dengan lingkungannya dari pada
pengetahuan fisis. Ia juga menarik paralelisme antara sejarah perkembangan
pengetahuan dengan perkembangan kognitif seseorang. Ia menemukan bahwa
perkembangan kognitif seseorang kerapkali mengikuti perkembangan yang sama
seperti sejarah pengetahuan ilmiah.
Sejak tahun 1952 sampai dengan tahun 1962, ia ditunjuk
sebagai guru besar psikologi genetik di Universitas of Sorbonne. Pada tahun
1956 ia memulai proyek yang telah lama ia cita-citakan, yaitu suatu pendekatan
interdisipliner tentang persoalan-persoalan kognitif dasar. Suatu pusat
internasional untuk epistemologi genetik dibangun di fakultas ilmu pengetahuan
di Uniersitas Geneva. Tujuannya adalah untuk mempersatukan banyak ahli dalam
berbagai macam keahlian: biologi, psikologi, matematika, fisika, dan lain-lain,
yang ingin mempelajari suatu persoalan secara bersama-sama. Setiap ahli akan
membahas persoalan dari perpektifnya masing-masing, tetapi hasilnya kemudian
akan dikoordinasikan melalui suatu diskusi. Suatu simposium akan diadakan guna
mendiskusikan kesimpulan melalui forum diskusi. Hasilnya dipublikasikan dalam
suatu monogram studies dalam epistemology genetic. Ada sekitar 40 volume yang
menyangkut berbagai subjek, seperti pengertian kausalitas, proses belajar, dan
pemikiran matematis telah dipublikasikan. Piaget pensiun dari Institute
Rousseau pada tahun 1971. Meskipun demikian, ia tetap aktif dan menulis banyak
buku. Piaget meninggal dunia pada tanggal 16 september 1980 di Geneva, Swiss.
Piaget
tidak dapat dilepaskan dari tipikal sebagai seorang filosof sosial dan krisis
remaja. Pertentangan antara agama yang dia yakini dengan pembelajaran sains
mendorong dia untuk menulis dengan produktif (hungrily) seperti halnya Bergson, Kant, Spencer, Comte, Durkheim,
dan William James serta yang lainnya. Gejolak filosofis ini diekspresikan dalam
Novel filosofisnya yang dipublikasikan pada tahun 1917. Novel ini tidak akan
menjadi best seller, ini dapat diduga dari pesan-pesan yang ada didalammnya
seperti; “sekarang tidak ada kesadaran tentang kualitas, maka kualitas tidak
akan eksis, jika tidak ada hubungan diantara mereka, jika mereka tidak,
akibatnya, dicampur kedalam kualitas total yang berisi mereka kemudian menjaga
mereka dalam suatu wilayah,” “dan teori positif mengenai kualitas memperhitungkan
hubungan keseimbangan antara keseluruhan kualitas” (1965a, p.243). Piaget
mengamati bahwa “tidak ada yang berbicara tentang hal tersebut kecuali satu
atau dua filosof yang marah” (1952a, p.243) (Ibid, 29).
B.
Orientasi
Umum Teori Piaget
Sebagai
panduan singkat selayaknya melakukan perjalanan ke kota yang masih asing, upaya
berikut ini adalah untuk memberikan gambaran mengenai Teori Piaget sebelum
menjelajahi sudut dan celah—dan mungkin menjadi yang terakhir. Kami mengkaji
lima karakteristik yang menonjol dari teori; epistemology genetik, pendekatan
biologi, strukturalisme, pendekatan tahapan, dan metodologi Piaget.
Karakteristik ini berhubungan dengan minat dan tujuan Piaget, di deskripsikan
terlebih dahulu.
a.
Epistemologi Genetik
Teori Piaget sering diistilahkan sebagai genetic epistemology karena teori ini berusaha melacak perkembangan
kemampuan intelektual. Istilah genetic mengacu pada pertumbuhan developmental
bukan warisan biologis. Cabang filsafat yang konsen dengan perkembangan ilmu
pengetahuan disebut dengan epistemologi. Dalam pandangan Piaget, epistemologi
adalah masalah hubungan antara bertindak atau berpikir subyek dari obyek dan
pengalamannya. Piaget mengemukakan pertanyaan yang sama denga filosof abad ini: bagaimana kita tahu
sesuatu? Pengetahuan adalah objektif, tanpa prasangka oleh sifat mengetahui,
walaupun mungkin? Apakah ada ide lain, atau semua ilmu dapat diperoleh? Semua
tulisan-tulisan Piaget dapat dilihat sebagai upaya untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan dalam berbagai bidang misalnya, matematika, moral, dan
bahasa. Seperti yang kita lihat dalam sketsa biografis, ia memimpin
penyelidikan filosofis melalui berbagai sekolah filsafat, biologi, sejarah,
matematika, dan psikologi. Akhirnya ia perhenti di psikologi perkembangan.
Genetik, merujuk pada apa yang asli. Dengan mempelajari
perubaha perkembangan dalam proses
mengetahui dan dalam organisasi pengetahuan, Piaget merasa bahwa ia dapat
menemukan jawaban atas pertanyaan epistemology tradisional. Piaget peduli
dengan masalah klasik dalam epistemology
yang menjelaskan apa yang dianggap filosof sebagai kategori dasar pemikiran,
yaitu: waktu, ruang, hubungan sebab dan akibat, dan kuantitas. Tidak seperti
kebanyakan epistemologis, yang hanya menggunakan alasan logis untuk mendukung
pandangannya, Piaget menolak pendekatan armchair
dan rumusan empiris hipotesis yang dapat diuji. Sebagai contoh, ia mengajukan
pertanyaan tentang bagamana manusia memperoleh konsep-konsep waktu, ruang, dan
hubungan sebab akibat dalam pengembangan konsep-konsep ini. Dengan demikian,
epistemology Piaget menghubungkan filsafat dan metode ilmiah, yang logis dan
nyata.
Solusi
Piaget untuk masalah epistemology terlihat sederhana namun revolusioner, yang
menyatakan bahwa yang penting dalam pengetahuan adalah proses dari pada hasil. Seorang
yang “membangun” pengetahuan, memiliki baian aktif dalam proses mengetahui dan
bahkan memberikan kontribusi dalam membentuk pengetahuan. Kognitif manusia
aktif memilih dan menafsirkan informasi pada lingkungan. Mereka tidak pasif mengumpulkan
informasi untuk membangun pengetahuan. Salah satu implikasi teori Piaget dalam
pengetahuan adalah bahwa pengetahuan adalah bias. Pengalaman selalu disaring
untuk dipahami. Pikiran anak bukanlah sebuah kamera yang mengambil gambar sebagai sebuah
kenyataan. Namun, pikirannya berkembang, menjadi lebih selaras dengan
kenyataan.
b.
Pendekatan Biologi
Dimulai dari masa anak-anak yang
tertarik pada kerang dan burung, pemikiran Piaget telah tertarik pada biologi.
Paiget melihat moluska lebih dari ahli biologi. Dengan melihat moluska ia
melihat prinsip-prinsip umum tentang cara hidup organisme dalam beradaptasi
dengan dunia. Moluska menyesuaikan diri dengan lingkungan dan aktif dalam
berasimilasi dalam struktur biologis mereka. Piaget merasa bahwa prinsip-prinsip
ini juga berlaku untuk pikiran manusia. Definisi umum tentang kecerdasan adalah
bahwa manusia dapat beradaptasi dengan lingkungan, sehingga tidak sesuai dengan
pikiran lingkungan di tingkat psikologis. Hipotesis Piaget mengatakan bahwa
cakupan modus dari fungsi psikologis dalam beradaptasi adalah universal.
c.
Strukturalisme
Strukturalis
melihat bahwa suatu bagian berasal dari keseluruhan, mereka konsen dengan
hubungan antar-bagian dengan keseluruhan dan antara permulaan dengan kemudian.
Menurut Piaget, hakikat dari perubahan struktur mental adalah sebagai struktur
perkembangan. Seorang bayi memiliki struktur kognitif yang disebut “skema”.
Skema disusun dari pola prilaku, yang mencerminkan suatu cara interaksi dengan
lingkungan. Menurut Piaget, skema adalah sesuatu yang dapat diulang, dan dapat
di generalisasi dari sebuah tindakan. Skema pada anak-anak dapat dilihat
bagaimana cara menjamah berbagai benda ke dalam mulutnya lalu menelannya. Skema
pada anak-anak dibedakan menjadi; benda yang “suckables” dan “nonsckables,”
dengan berbagai subkategori seperti; suckables yang keras, suckables yang
lunak, dan suckables yang lembut. Sebaliknya, struktur kognitif anak yang lebih
tua, kira-kira pada usia 7 tahun dijelaskan dalam bentuk operasi mental yang
abstrak, mirip dengan sistem logikamatematika, yang disusun dan dapat
diaplikasikan ke dalam berbagai konten. Misalnya; penambahan, pengurangan,
perkalian, dan pembagian adalah operasi yang terkoordinir dalam konsep bilangan
dalam operasi matematika.
d.
Pendekatan Tahapan
Menurut Piaget, tahapan adalah periode
waktu dimana anak berpikir dan berprilaku dalam berbagai situasi tertentu yang mencerminkan jenis struktur
mental. Ada berbagai jenis spesies yang memiliki berbagai cara dalam beradaptasi
dengan lingkungan, jadi ada berbagai tingkatan kognisi yang memiliki berbagai
cara dalam beradaptasi dengan lingkungan. Lima karakteristik menonjol dalam
tahapan ini adalah sebagai berikut;
1.
Tahap
dimana keseluruhan struktur dalam keadaan seimbang.
Piaget melihat tahap sebagai keseluruhan yang terintegrasi yang
mengorganisasikan bagian. Skema atau operasi dari masing-masing tahap saling
berhubungan untuk membentuk keseluruhan yang terorganisasi. Masing-masing tahap
strukturnya berbeda, yang memungkinkan berbagai jenis interaksi antara anak
dengan lingkungan, dan konsekuensi yang muncul dari perbedaan fundamental
melihat dunia. Esensi dari pendekatan tahap Piaget adalah gerakan melalui
tahapan yang melibatkan perubahan struktural yang kualitatif (perubahan dalam
tipe atau jenis) daripada kuantitatif (perubahan derajat, jumlah, kecepatan,
atau efisiensi).
2.
Setiap
Tahap berasal dari tahap sebelumnya, menggabungkan dan mengubah tahap, dan
persiapan untuk tahap selanjutnya. Tahap sebelumnya
membukan jalan untuk tahap yang baru. Dalam proses pencapaian tahap yang baru,
tahap sebelumnya adalah pengulangan. Dengan demikian, anak-anak setelah
mencapai tahap baru, mereka tidak lagi memiliki tahap sebelumnya tersedia.
3. Setiap Tahap mengikuti urutan
invariant. Karena masing-masing tahap adalah kejadian dari
tahap sebelumnya, maka tahap harus meneruskan urutan tertentu. Tidak ada tahap
yang terlewatkan. Dengan kata lain, sejak tahap pertama tidak dapat
mengembangkan semua materi yang dibutuhkan untuk tahap ketiga, tahap kedua yang
diperlukan.
4.
Tahap
bersifat universal. Oleh karena Piaget tertarik pada
bagaimana spesies manusia beradaptasi secara psikologis dengan lingkungannya,
maka dia fokus pada struktur dan konsep yang diperlukan oleh manusia dimana
saja. Tentu saja, orang-orang dengan IQ rendah mungkin tidak akan berkembang
melalui semua tahap atau mungkin berkembang tetapi lebih lambat. Dan
orang-orang pada umumnya bervariasi pada seberapa cepat mereka melanjutkan
melalui tahapan.
5.
Setiap
Tahap meliputi masukan, proses, dan hasil (coming-into-being and a being).
Ada periode inisiasi persiapan dan ada periode akhir pencapaian dari
masing-masing tahap. Tidak stabil atau struktur organisasi yang longgar adalah
tanda transisi periode awal dari tahap
sebelumnya. Mengubahnya baik di dalam tahapan dan antara tahapan membutuhkan
harus secara bertahap.
e.
Metodologi
Piaget menggunakan pengamatan dan
pengelompokkan ketika mengamati bayi memegang benda dan ketika mengamati anak
kecil yang sedang belajar berjalan untuk mengekspresikan pikirannya secara spontan.
Piaget mengamati anak-anak TK biasanya melibatkan metode klinis, yang merujuk
pada rangkaian interaksi verbal antara peneliti dengan anak. Percobaan yang
diawali dengan mengajukan sebuah pertanyaan, kemudian anak-anak dipandu untuk
memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut. Wawancara ini sering digabungkan
dengan manipulasi objek dalam percobaan yang dilakukan oleh anak. Hal ini
dilakukan ketika Piaget belajar belajar numerik dan konsep fisik atau perkembangan
konseptual.
C.
Perkembangan
Kognitif Piaget
Setelah melakukan penelitian, Piaget lalu mengklasifikasi tahap
perkembangan kognitif setiap individu menjadi empat tahap. Keempat tahap
tersebut saling berkaitan dan berkembang secara kromologis. Keempat tahap
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Periode Sensori Motor
(sejak masa kelahiran sampai usia 2 Tahun)
Menurut
Piaget, bayi lahir dengan sejumlah refleks bawaan selain juga dorongan untuk
mengeksplorasi dunianya. Skema awalnya dibentuk melalui diferensiasi refleks
bawaan tersebut. Periode sensori motor adalah periode pertama dari empat
periode. Piaget berpendapat bahwa periode ini menandai perkembangan kemampuan
dan pemahaman spatial penting dalam enam sub tahapan;
1) Sub
tahapan skema refleks, muncul saat lahir sampai usia enam minggu dan
berhubungan terutama dengan refleks.
2) Sub
tahapan fase reaksi sirkular primer, dari usia enam minggu sampai empat bulan
dan berhubungan terutama dengan munculnya kebiasaan-kebiasaan.
3) Sub
tahapan fase reaksi sirkular sekunder, muncul antara usia empat sampai Sembilan
bulan dan berhubungan terutama dengan koordinasi antara penglihatan dan
pemaknaan.
4) Sub
tahapan koordinasi reaksi sirkular sekunder, muncul dari usia Sembilan sampai
dua belas bulan, saat berkembangnya kemampuan untuk melihat obje sebagai
sesuatu yang permanen walau kelihatannya berbeda kalau dilihat dari sudut
berbeda (permanensi objek).
5) Sub
tahapan fase reaksi sirkular tersier, muncul dalam usia dua belas sampai
delapan belas bulan dan berhubungan terutama dengan penemuan cara-cara baru
untuk mencapai tujuan.
6) Sub
tahapan awal representasi simbolik, berhubungan terutama dengan tahapan awal
kreativitas.
Bagi
anak yang berada pada tahap ini, pengalaman diperoleh melalui fisik (gerakan
anggota tubuh) dan sensori (koordinasi alat indra). Pada mulanya pengalaman itu
bersatu dengan dirinya, ini berarti bahwa suatu objek itu ada bila ada pada
penglihatannya. Perkembangan selanjutnya ia mulai berusaha untuk mencari objek
yang asalnya terlihat kemudian mnghilang dari pandangannya, asal perpindahannya
terlihat. Akhir dari tahap ini, ia mulai mencari objek yang hilang bila benda
tersebut tidak terlihat perpindahannya. Objek mulai terpisah dari dirinya dan
bersamaan dengan itu konsep onjek dalam struktur kognitifnya mulai dikatakan
matang. Ia mulai mampu untuk melambungkan objek fisik ke dalam symbol-symbol,
misalnya mulai bisa berbicara meniru suara kendaraan, suara binatang, dan
lain-lain. Di tahap pra-konseptual, anak-anak belum lagi dapat membedakan dan
memahami dua atau lebih dimensi pada masa yang sama. Hal ini terjadi karena
mereka belum dapat menyusun skema yang ada dalam pikiran. Kecerdasan pada tahap
ini selalu diuraikan dengan kaku, tegang, ketidak sanggupan membuat
kesimpulan dan tidak menumpukan
perhatian terhadap hubungan diantara
peristiwa yang berbeda. Ada empat kandungan utama proses kognitif pada tahap
ini, yaitu; egocentrism, konsep sebab-akibat, peningkatan perolehan bahasa, dan
pembentukan identitas diri.
Kesimpulan pada tahap ini adalah;
bayi lahir dengan refleks bawaan, skema di modifikasi dan digabungkan untuk
membentuk tingkah laku yang lebih kompleks. Pada masa kanak-kanak ini, anak
belum mempunyai konsepsi tentang obje yang tetap. Ia hanya dapat mengetahui
hal-hal yang ditangkap oleh inderanya.
2. Periode
Pra-operasional (kurang lebih 2 sampai 7 Tahun)
Tahap
ini adalah persiapan untuk mengorganisasian operasi konkrit. Istilah operasi
yang digunakan oleh Piaget disini adalah berupa tindakan-tindakan kognitif,
seperti mengklasifikasikan sekelompok objek (classifying), menata letak
benda-benda menurut urutan tertentu (seriation), dan membilang (counting). Pada
tahap ini pemikiran anak lebih banyak berdasarkan pada pengalaman konkrot dari
pada pemikiran logis, sehingga jika ia melihat objek-objek yang kelihatannya
berbeda maka ia mengatakannya berbeda pula. Pada tahap ini, anak masih berada
pada tahap pra operasional yang belum emahami konsep kekekalan (conservation),
yaitu kekekalan panjang, kekekalan materi, luas dan lain-lain. Selain itu,
ciri-ciri anak pada tahap ini belum memahami dan belum dapat memikirkan dua
aspek atau lebih secara bersamaan.
Dengan
mengamati urutan permainan, Piaget menunjukkan bahwa setelah akhir usia dua
tahun jenis yang secara kualitatif baru dari fungsi psikologis muncul.
Pemikiran pra Operasi dalam teori Piaget adalah prosedur melakukan tindakan
secara mental terhadap berbagai objek. Ciri dari tahapan ini adalah operasi
mental yang jarang dan secara logika tidak memadai. Dalam tahapan ini, anak
belajar menggunakan dan merepresentasikan objek dengan gambar dan kata-kata.
Pemikirannya bersifat egosentris: anak kesulitan untuk melihat dari sudut
pandang orang lain. Anak dapat mengklasifikasikan objek menggunakan satu ciri,
seperti mengumpulkan semua benda merah
walau bentuknya berbeda-beda atau mengumpulkan semua benda bulat walau warnanya
berbeda-beda.
Menurut Piaget, tahapan pra operasional
mengikuti tahapan sensori motor dan muncul antara usia dua sampai enam tahun.
Dalam tahapan ini, anak mengembangkan keterampilan bahasanya. Mereka mulai
merepresentasikan benda-benda dengan kata-kata dan gambar. bagaimanapun mereka
masih menggunakan penalaran intuitif bukan logis. Di permulaan tahapan ini,
mereka cenderung egosentris, yaitu mereka tidak dapat memahami tempatnya di
dunia dan bagaimana hal tersebut berhubungan satu sama lain. Mereka kesulitan
memahami perasaan orang lain di sekitarnya. Tetapi seiring pendewasaan,
kemampuan untuk memahami perspektif orang lain semakin baik. Anak memiliki
perasaan yang sangat imajinatif disaat ini dan menganggap semua benda yang
tidak hidup memiliki perasaan. Kesimpulan tahap ini adalah; anak mulai timbul
pertumbuhan kognitifnya, tetapi masih terbatas pada hal-hal yang dapat dilihat
dan dalam lingkungannya saja.
3. Periode
Operasional Konkrit (kurang lebih 7 sampai 11 Tahun)
Anak-anak
yang berada pada tahap ini umumnya sudah berada pada usia sekolah dasar (SD).
Pada umumnya, anak-anak pada tahap usia ini telah memahami operasi logis dengan
bantuan benda-benda konkrit. Kemampuan ini terwujud dalam memahami konsep
kekekalan, kemampuan untuk mengklasifikasikan dan serasi, mampu memandang suatu
objek dari sudut pandang yang berbeda. Anak pada tahap ini sudah cukup matang
untuk menggunakan pikiran logika, tetapi hanya objek fisik yang ada saat ini,
karena itu disebut tahap operasional konkrit. Namun tanpa objek fisik di
hadapan mereka, anak-anak akan mengalami kesulitan belajar dalam menyelesaikan
tugas-tugas logika.
Tahap
ini adalah tahapan ketiga dari empat tahapan. Muncul antara usia enam dampai
dua belas tahun dan mempunyai ciri berupa penggunaan logika yang memadai. Proses-proses penting selama tahap ini
adalah;
1) Pengurutan,
yaitu kemampuan untuk mengurut objek menurut ukuran, bentuk, atau ciri lainnya.
Contohnya, bila diberi benda berbeda ukuran, mereka dapat mengurutkannya dari
benda yang paing besar sampai yang paling kecil atau sebaliknya.
2) Klasifikasi,
adalah kemampuan untuk memberi nama dan mengidentifikasi serangkaian benda
menurut tampilannya, ukurannya, atau karakteristik lain, termasuk gagasan bahwa
serangkaian benda-benda dapat menyertakan benda lainnya ke dalam rangkaian
tersebut. Anak tidak lagi memiliki keterbatasan logika berupa animism (anggapan
bahwa semua benda hidup dan berperasaan).
3) Decentering,
yaitu anak mulai mempertimbangkan beberapa aspek dari suatu permasalahan untuk bisa memecahkannya. Contoh; anak tidak
akan lagi menganggap cangkir lebar tapi pendek lebih sedikit isinya disbanding
cangkir kecil yang tinggi.
4) Reversibility,
yaitu perkembangan dimana anak mulai memahami bahwa jumlah atau benda-benda
dapat diubah, kemudian kembali ke keadaan awal. Untuk itu, anak dapat dengan
cepat menentukan bahwa 4 + 4 = 8, 8 – 4 = 4, jumlah sebelumnya.
5) Konservasi,
yaitu memahami bahwa kuantitas, panjang, dan jumlah benda-benda adalah tidak
berhubungan dengan pengaturan atau tampilan dari objek atau benda-benda
tersebut. Contoh; bila anak diberikan cangkir yang seukuran dan isinya sama
banyak, mereka akan tahu bila air dituangkan ke gelas lain, air gelas itu akan
tetap sama banyak dengan isi cangkir lain.
6) Penghilangan
sifat egosentrisme, yaitu kemampuan untuk melihat sesuatu dari sudut pandang
orang lain (bahkan pada saat orang tersebut berpikir dengan cara yang salah).
Kesimpulan
pada tahap ini adalah anak telah mengetahui symbol-symbol matematis, tetapi
belum dapat menghadapi hal-hal yang abstrak atau yang tidak berwujud.
4. Periode
Operasional Formal (kurang lebih 11 sampai 15 Tahun)
Tahap
ini adalah tahap akhir dari tahap perkembangan Piaget, yang disebut dengan
Tahap Operasi Formal. Anak pada tahap ini sudah dapat melakukan penalaran
dengan menggunakan hal-hal yang abstrak dan menggunakan logika. Penggunaan
hal-hal yang konkrit sudah tidak diperlukan lagi. Anak mampu bernalar tanpa
harus berhadapan dengan objek atau peristiwanya berlangsung. Penalaran terjadi
dalam struktur kognitifnya yang telah mampu menggunakan sombol-simbol, ide-ide,
abstraksi, dan generalisasi. Anak telah memiliki kemampuan-kemampuan untuk
melakukan operasi-operasi yang menyatakan hubungan antar sesuatu.
tahap
operasional formal dialami oleh anak pada usia sebelas tahun (pubertas) dan
terus berlanjut sampai dewasa. Karakteristik pada tahap ini adalah diperolehnya
kemampuan untuk berpikir secara abstrak, menalar secara logis, dan menarik
kesipulan dari informasi yang diperoleh. Pada tahapan ini, seorang anak dapat
menglami hal-hal seperti cinta, bukti logis, dan nilai. Dilihat dari faktor
biologis, tahapan ini muncul saat pubertas, menandai masuknya ke duna dewasa
secara fisiologis, kognitif, penalaran moral, perkembangan psikoseksual, dan
perkembangan sosial. Karakteristik anak pada tahap ini adalah memiliki
kemampuan untuk melakukan penalaran hipotetik-deduktif, yaitu kemampuan untuk
menyusun serangkaian hipotesis dan mengujinya.
Kesimpulan
pada tahap ini adalah pada tahap operasional formal, anak-anak sudah mampu
memahami bentuk argument dan tidak dibingungkan oleh isi argument (karena itu
disebut operasional formal). Tahap ini mengartikan bahwa anak-anak telah
memasuki tahap baru dalam logika orang dewasa, yaitu mampu melakukan penalaran
abstrak. Sama halnya dengan logika penalaran abstrak sistematis,
operasi-operasi formal memungkinkan berkembangnya sistem nilai dan ideal, serta
pemahaman untuk masalah-masalah filosofis.
Dalam teori tahap perkembangan kognitif tersebut, Piaget
mengembangkan tiga tahap perkembangan. Ketiga tahap perkembangan tersebut
adalah sebagai berikut. Pertama, organisasi kognitif, yaitu
merujuk kepada kecenderungan pikiran yang berisi sistem yang terdiri dari
bagian-bagian yang terintegrasi untuk membentuk keseluruhan. Sistem ini pada
gilirannya akan dikoordinasikan, ada interrelasi diantara kegiatan kognitif.
Pandangan ini menjadi lebih banyak dan menjadi lebih koheren yang terkait dengan perkembangan anak. Pengembangan
melalui tahapan melibatkan perubahan dalam organisasi kognitif sebagai struktur
pemikiran dari tahap ke tahap. Sebagai hasil perkembangan, pikiran dapat diatur
dalam skema, peraturan (bagian reversibility), fungsi, operasi konkrit, atau
operasi formal. Kedua, adaptasi
kognitif, adalah merujuk pada interaksi antara organisme dan lingkungan. Piaget
mengatakan bahwa semua organisme mempunyai kecenderungan untuk beradaptasi
dengan lingkungan. Perilaku intelligent adalah prilaku yang menyesuaikan dengan
lingkungan. Adaptasi melibatkan dua proses komplementer, yaitu asimilasi dan
akomodasi. Asimilasi adalah proses yang sesuai realitas saat ini dan menjadi
salah satu organisasi kognitif. Empat jenis asimilasi terjadi di semua masa dan
tahapan, tetapi paling mudah diamati pada periode sensori motor; reproduksi
asimilasi (bayi melatih skemanya dengan berulang-ulang sehingga skema menjadi
kuat); generalisasi asimilasi (rentan dari stimuli yang dapat di asimilasikan
untuk meningkatkan skema); rekognisi asimilasi (berbagai objek yang dibedakan
bahkan sebagai skema umum); mutual asimilasi (skema dapat saling mengasimilasi
ke bentuk yang lebih besar, skema yang lebih terorganisasi). Ketiga keseimbangan kognitif. Kedua
dasar fungsional infariant, orgaisasi dan adaptasi, menyiratkan fungsional
invariant yang ketiga yaitu ekuilibrasi. Setiap organisasi berusaha menuju
keseimbangan dengan lingkungan dan keseimbangan dengan dirinya sendiri
(diantara unsur-unsur kognitif). Ketika asimilasi dan akomodasi berkoordinasi
secara seimbang dan tidak ada yang dominan, maka keseimbangan akan tercapai.
Kesimbangan ini akan dicapai melalui pengembangan struktur yang terorganisir
untuk menyediakan cara dalam berinteraksi dengan dunia. Perubahan yang baik
dalam organisme atau lingkungan mengarah ke keadaan disekuilibrium.
Dalam perkembangan kognitif, diperlukan keseimbangan antara
asimilasi dan akomodasi. Proses itu disebut ekuilibrium, yaitu itu mengaturan
diri secara mekanis (mechanical self regulation) yang perlu untuk mengatur
keseimbangan dalam proses asimilasi dan akomodasi. Disekuilibrium adalah
keadaan tidak seimbang antara asimilasi dan akomodasi. Ekuilibrasi adalah
proses bergerak dari keadaan disekuilibrium ke ekuilibrium. Proses tersebut
berjalan secara terus menerus dalam diri seseorang melalui asimilasi dan
akomodasi.
D.
Implikasinya
Terhadap Pendidikan Madrasah
Memperhatikan sejarah lahirnya dan perkembangan madrasah dapat
dikemukakan bahwa madrasah merupakan lembaga pendidikan yang lahir dari dan
untuk masyarakat. Inilah identitas madrasah (Yahya Daud M, 2014 : 79).
Pernyataan tersebut memberikan penegasan bahwa madrasah mempunyai identitas
sendiri yang tidak bisa digantikan oleh satuan pendidikan lain. Dalam Peraturan
Menteri Agama nomor 90 Tahun 2013 tentang
Penyelenggaraan Pendidikan Madrasah dijelaskan bahwa madrasah adalah
satuan pendidikan formal dalam binaan Menteri Agama yang menyelenggarakan
pendidikan umum dan kejuruan dengan kekhasan agama islam yang mencakup
Raudhatul Athfal, Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah dan
Madrasah Aliyah Kejuruan ( Bab I, Pasal 1, ayat 2). Adapun kurikulum yang
diselenggarakan pada madrasah adalah mengikuti model kurikulum yang ditetapkan
oleh pemerintah sebagaimana yang diselenggarakan pada Satuan Pendidikan Umum
(TK, SD, SMP, dan SMA/SMK). Hal ini dipertegas pada Bab I Pasal 22 yang
menyatakan bahwa setiap madrasah wajib melaksanakan kurikulum yang ditetapkan
oleh Pemerintah. Apa yang membedakan antara Madrasah dengan Sekolah umum adalah
ciri khasnya, yaitu sebagai sekolah yang berciri khas agama islam. Konsekuensi
dari kekhasan tersebut adalah penerapan mata pelajaran agama yang lebih banyak,
yaitu terdiri dari; a) mata pelajaran Al-Qur’an
Hadis; b) Akidah-akhlak; c) Fikih; dan d) sejarah kebudayaan Islam (Pasal 29). Tentu hal ini berbeda dengan
sekolah umum, yang hanya menerapkan satu mata pelajaran agama dengan beban
mengajar 2 jam tatap muka tiap pekan.
Sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, penyelenggaraan
madrasah tentu tidak bisa lepas dari tuntutan pencapaian tujuan pendidikan
nasional. Dalam undang-undang sisdiknas nomor 20 tahun 2003 dijelskan bahwa Pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab (Bab II Pasal 3). Untuk mencapai tujuan tersebut, kelembagaan madrasah
lalu dikembangkan dengan mengikuti sistem kelembagaan persekolahan. Jenjang
pendidikan madrasah terdiri dari;
1. Jenjang
pendidikan Usia Dini. Pada jenjang ini peserta didik yang dibina adalah
anak-anak usia pra-sekolah. Rata-rata usia anak yang memasuki jenjang ini
adalah antara empat (4) sampai enam (6) tahun. Madrasah pada jenjang ini
disebut Raudhatul Athfal (RA), setara dengan TK (dalam pengelolaan Diknas).
2. Jenjang
Pendidikan Dasar. Sejak pendidikan dasar 9 tahun diberlakukan, maka ada dua
madrasah yang masuk pada kategori ini, yaitu Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan
madrasah Tsanawiyah (MTs). Anak-anak yang dibina pada MI adalah ana usia tujuh
(7) sampai dua belas (12), sedangkan anak yang di didik pada MTs adalah anak
usia dua belas (12) sampai usia lima belas (15) Tahun. MI setingkat dengan SD,
dan MTs setingkat dengan SMP.
3. Jenjang
Pendidikan Menengah. Pada jenjang ini, anak-anak yang menjadi sasaran binaan
adalah anak usia lima belas (15) sampai delapan belas (18) tahun, setingkat
dengan SMA di Kemendikbud.
Dalam
hubungannya dengan pencapaian tujuan pendidikan melalui madrasah, implikasi
teori tahapan perkembangan kognitif Piaget dapat dikatakan sangat kuat.
Pencapaian tujuan pendidikan sangat erat hubungannya dengan pencapaian tujuan
pembelajaran pada masing-masing jenjang madrasah, sedangkan pencapaian tujuan
pembelajaran sangat ditentukan oleh kesesuaian metode pembelajaran dengan
tingkat pertumbuhan peserta didik. Dalam konteks ini, tahapan perkembangan
kognitif Piaget sejatinya menjadi rujukan untuk menentukan metode pembelajaran
yang sesuai dengan tingkat perkembangan siswa madrasah. Dengan demikian,
implikasi tahapan perkembangan kognitif Piaget terhadap pendidikan madrasah
dapat diuraikan sebagai berikut;
1. Pembelajaran
pada tingkat Raudhatul Athfal (RA). Peserta didik pada tingkat RA adalah anak
usia 4 (empat) sampai 6 (enam) tahun. Dalam tahap perkembangan kognitif Piaget,
anak pada usia ini berada pada tahap Pra-Operasi. Pada tahap ini, pemikiran
anak lebih banyak berdasarkan pada pengalaman konkrit daripada pemikiran logis.
Dengan demikian, pendekatan pembelajaran yang tepat digunakan adalah
menggunakan alat peraga atau media belajar. Melalui pendekatan ini, anak
dibiasakan untuk mengenal sesuatu secara konkrit, bukan abstrak. Dengan
demikian, pendekatan pembelajaran sesuai dengan tahap perkembangan kognitif
anak.
2. Pembelajaran
pada tingkat Madrasah Ibtidaiyah (MI). Anak didik yang belajar pada tingkat MI
adalah rata-rata berusia 6 (enam) sampai 12 (dua belas) tahun. Jika merujuk
pada teori tahap perkembangan kognitif Piaget, anak pada usia ini berada pada
tahap Operasi konkrit. Anak-anak usia ini pada umumnya telah memahami operasi
logis dengan bantuan benda-benda konkrit. Kemampuan terwujud dalam memahami
konsep kekekalan. Kemampuan untuk mengklasifikasikan, dan serasi, mampu
memandang suatu objek dari sudut pandang yang berbeda. Dengan tahapan kognitif
seperti itu, maka pendekatan pembelajaraj yang sesuai adalah selain menggunakan
media belajar, pembelajaran lebih diarahkan pada dialog, diskusi kelompok, dan
tanya-jawab.
3. Pembelajaran
pada tingkat Madrasah Tsanawiyah (MTs). Peserta didik pada tingkat ini
rata-rata berusia 11 (sebelas) sampai 15 (lima belas) tahun. Dalam teori
Piaget, anak pada usia ini telah berada pada tahap operasi formal. Anak pada
tahap ini sudah mampu melakukan penalaran dengan menggunakan hal-hal yang
abstrak dengan menggunakan logika. Benda-benda konkrit tidak diperlukan lagi,
sehingga pendekatan pembelajaran yang tepat adalah bagaimana membiasakan siswa
untuk bekerja sama (cooperative learning)
serta menyelesaikan masalah (problem
solving).
4.
Pembelajaran pada tingkat Madrasah
Aliyah (MA). Anak pada usia SMA sudah memasuki usia dewasa, biasanya mempunyai
umur antara 15 (lima belas) sampai 18 (delapan belas) tahun. Dalam teori
perkembangan kognitif Piaget, anak pada usia ini berada pada tahap operasi
formal. Tetapi, karena tingkatannya sudah lebih dewasa dari pada anak usia MTs,
maka pembelajaran pada tingkat MA akan lebih tepat kalau diarahkan pada
pembelajaran penemuan (discovery learning).
Dengan metode ini, peserta didik diberikan ruang ekspresi untuk mengembangkan
daya nalarnya guna menemukan pengetahuan baru tanpa terikat oleh target
kurikulum.
Dengan
menyesuaikan pendekatan pembelajaran dikelas dengan tingkat perkembangan
kognitif peserta didik sebagaimana teori tahapan perkembangan kognitif Piaget,
berarti peserta didik akan belajar secara ikhlas tanpa paksaan. Hal ini akan
memudahkan siswa dalam mengembangkan kemampuan kognitifnya.
KESIMPULAN
Teori tahapan perkembangan kognitif Piaget tentu
mempunyai implikasi, bukan hanya pada perkembangan psikologi, tetapi juga
berimplikasi pada sistem pendidikan secara umum dan sistem madrasah secara
khusus. Implikasi tersebut terutama terkait dengan pencapaian tujuan
pendidikan. Madrasah sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional ikut
bertanggungjawab dalam pencapaian tujuan pendidikan. Namun demikian, pencapaian
tujuan pendidikan sangat relevan dengan pencapaian tujuan institusional dan
tujuan instruksional atau tujuan pembelajaran.
Tujuan pembelajaran, biasanya diarahkan pada
peningkatan kognitif peserta didik, selain afektif dan psikomotorik. Teori
tahapan perkembangan kognitif Piaget akan ditemukan implikasinya yang kuat
ketika menentukan pendekatan pembelajaran di kelas. Pendekatan pembelajaran
maupun metode pembelajaran akan memudahkan siswa belajar, apabila pendekatan
dan metode tersebut sesuai dengan tahapan perkembangan kognitif peserta didik.
Dengan demikian, sangat penting bagi guru madrasah memahami empat tahapan
perkembangan kognitif Piaget, sehingga tidak keliru dalam menentukan pendekatan
dan metode pembelajaran.
Ada empat tahap perkembangan kognitif menurut
teori Piaget, yaitu tahap sensori motor (usia 0 – 2 tahun), tahap
pra-operasional (usia 2 – 7 tahun), tahap operasional konkrit (usia 7 – 11
tahun), dan tahap operasional formal (usia 11 – 15 tahun). Dari keempat tahap
perkembangan tersebut, jika kita bawa ke ranah pendidikan madrasah, maka tahap
sensori motor anak masih berada dalam pengawasan dan pembinaan orang tua khususnya
Ibu (pendidikan keluarga), pada tahap pra-operasional, anak sedang berada pada
Madrasah Ibtidaiyah, pada tahap operasional formal anak sedang di didik pada Madrasah
Tsanawiyah, sedangkan pada tahap operasional formal, anak sedang mendapatkan
pendidikan di Madrasah Aliyah.
Dalam hal pembelajaran, anak pada usia RA lebih tepat jika
pembelajaran dilakukan dengan menggunakan alat peraga atau media belajar; anak
pada usia MI selain menggunakan media belajar, pembelajaran lebih diarahkan
pada dialog, diskusi kelompok, dan tanya-jawab; anak pada usia MTs kegiatan
pembelajaran sebaiknya diarahkan pada membiasakan siswa untuk bekerja sama (cooperative learning) serta
menyelesaikan masalah (problem solving);
sedangkan pada usia MA pembelajaran akan lebih tepat kalau diarahkan pada
pembelajaran penemuan (discovery learning).
DAFTAR PUSTAKA
Alwisol.
2011. Psikologi Kepribadian. Edisi Revisi. Malang: UMM Press.
Abu
Ahmadi dan Munawar Sholeh. 2005. Psikologi
Perkembangan. Jakarta:
PT. Rineka Cipta.
Diane E. Papalia, Sally Wendkos Olds dan
Ruth Duskin Feldman. 2009. Human
Development. Perkembangan Manusia. Edisi
10, Buku 1 (Penerjemah Brian
Masrwendy). Jakarta: Salemba Humanika.
Joy
A. Palmer (Ed.). 2015. Ide-Ide Brilian 50
Pakar Pendidikan Kontemporer.
Yogyakarta: IRCiSoD.
Patricia
H. Miller. 2011. Theories of Devepomental
Psychology. Fifth edition. USA:
Forth Publishers;
Soedjatmoko.
1995. Dimensi Manusia dalam Pembangunan.
Jakarta: Pustaka LP3ES.
Salkind,
Neil J. 2004. Teori-Teori Perkembangan
Manusia: Sejarah Kemunculan,
Konsepsi Dasar, Analisis Komparatif, dan Apikasi.
Terjemahan M. Khozim.
Bandung: Penerbit Nusa Media.
Yahya
Daud M. (2014). Posisi Madrasah Dalam
Sistem Pendidikan Nasional di Era
Otonomi Daerah. Jurnal Khasanah: Vol.
XII. No. 01 Januari-Juni 2014.
Undang-Undang
nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
Belum ada tanggapan untuk "Teori Perkembangan Kognitif Piaget dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Madrasah"
Posting Komentar