Ilustrasi |
Beberapa hari belakangan terutama
setelah selesainya Wakatobi Wonderful Festival and Expo (WAVE) 2017,
masyarakat Wakatobi dihebohkan oleh munculnya Kerajaan Wakatobi. Berbagai
forum, baik dalam skala yang berbatas maupun secara luas, serta melalui media
sosial terus dilakukan diskusi dengan topik utama “Kerajaan Wakatobi”. Sejak
kapan Wakatobi menjadi kerajaan? Kira-kira seperti inilah pertanyaan yang
terlintas dalam benak masyarakat. Pertanyaan ini muncul karena yang mereka
pahami adalah Wakatobi tidak pernah menjadi kerajaan. Wakatobi hanya pernah
menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Kesultanan Buton. Pada saat itu Wakatobi
belum ada, yang dikenal adalah Liwuto Pasi atau daerah karang. Disebut
demikian, karena sejatinya Wakatobi adalah gugusan pulau-pulau karang yang
terbentang di bagian timur pulau Buton.
Bukti kuat yang menunjukkan bahwa
Wakatobi pernah menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Kesultanan Buton adalah
adanya Barata dan Kadie. Barata dalam konteks Kesultanan Buton
adalah nama sistem pertahanan laut yang berada dibawah koordinasi langsung Kapitalao
(Panglima laut). Ada empat barata, yaitu Barata Kahedupa dan Kulisusu di bagian
timur dan Barata Wuna dan Tiworo di bagian barat. Barata Kahedupa dan Barata Kulisusu
dibawah koordinasi Kapitalao Matanaeo (Panglima laut bagian timur),
serta Barata Wuna dan Barata Tiworo berada dibawah koordinasi Kapitalao
Sukanaeo (Panglima laut bagian barat). Bukti kedua adalah adanya kadie, yaitu
wilayah yang berada dalam sistem kekuasaan kesultanan tetapi diberikan otonomi
khusus untuk mengelola daerahnya sendiri tanpa intervensi kesultanan. Kadie
oleh karena itu, tidak berada dalam koordinasi Barata, tetapi berada dalam
koordinasi langsung kesultanan. Mengapa demikian? Karena fungsi barata
adalah menjalankan sistem pertahanan laut, sedangkan fungsi kadie adalah
melaksanakan sistem pemerintahan. Diantara beberapa kadie yang masih dikenal
hingga sekarang adalah Kadie Liya, Kadie Wanse, Kadie Mandati, dan Kadie
Kapota.
Lalu, bagaimana dengan hadirnya
Kerajaan Wakatobi Ing Al Butunie? Secara historis Wakatobi tidak pernah menjadi
kerajaan dan atau menjadi kesultanan yang terpisah secara otonom dari
Kesultanan Buton. Wakatobi hanya pernah menjadi bagian dari wilayah kekuasaan
kesultanan Buton. Sehingga pembentukan Kerajaan yang mencakup wilayah Wakatobi,
apakah dalam bentuk sistem kekuasaan atau dalam bentuk organisasi kemasyarakatan
adalah tindakan yang tidak memiliki landasan sejarah (ahistoris). Jika
yang dirujuk adalah kondisi sebelum terbentuknya Kesultanan Buton, maka
Wakatobi tetap bukanlah sebuah kerajaan. Wakatobi hanyalah sebuah wilayah yang
berada dalam tarik menarik pengaruh dua kerajaan besar, yaitu Kerajaan Ternate
dan Kerajaan Gowa (Baca; Labu Rope Labu Wana: Sejarah Buton yang terabaikan,
oleh Susanto Zuhdi). Begitupula jika yang menjadi rujukan pembentukan Kerajaan
Wakatobi adalah kondisi sebelum datangnya pengaruh Kerajaan Ternate dan
Kerajaan Gowa, maka tetap sebagai langkah yang tidak berdasar. Sebelum
datangnya pengaruh Kerajaan Ternate dan Gowa, Buton (termasuk Wakatobi) berada
dalam pengaruh kekuasaan kerajaan Majapahit. Hal ini, selain disebutkan
langsung dalam buku Negara Kertagama karangan Mpu Prapanca, juga ditandai dengan adanya pohon maja yang dalam
bahasa lokal di sebut dengan ‘bila.
Secara yuridis, pembentukan kerajaan
baru apapun namanya bertentangan dengan landasan konstitusi negara. Sejak tahun
1950, Indonesia tidak lagi mengenal negara serikat, negara federal, apakah lagi
sistem kerajaan. Indonesia hanya mengenal negara kesatuan yang disebut dengan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dengan demikian, menjadi sangat
jelas bahwa membentuk atau mendirikan kerajaan baru adalah perbuatan yang
melanggar konstitusi. Demikian halnya dengan pembentukan Kerajaan Wakatobi Ing
Al Butunie.
Secara struktural, Kesultanan Buton
tidak berada dalam subordinasi Kerajaan Kutai Kertanegara atau Kerajaan Kutai Mulawarman sebagaimana yang tertulis dalam ilustrasi. Kesultanan Buton dan
kesultanan-kesultanan lain di nusantara mempunyai wilayah dan sistem
kekuasaan masing-masing yang di atur dalam konstitusi. Konstitusi kesultanan Buton
adalah Martabat Tujuh, didalamnya diatur bahwa yang memilih, mengangkat dan
memberhentikan sultan adalah Siolimbona. Pelantikan Sultan dilakukan
oleh Siolimbona, bukan oleh raja dari kerajaan lain. Sedangkan pada
wilayah Kadie, yang mengawasi gerak-gerik calon pemimpin serta yang
mengajukan calon pemimpin adalah Pangalasa. Setelah diajukan oleh Pangalasa,
masyarakat lalu memilih calon pemimpinnya. Siapa yang terpilih maka dialah yang
akan dilantik oleh Meantu’u (Kepala Kadie). Dengan demikian, kesultanan
Buton tidak mengenal adanya Putra Mahkota. Setiap pemimpin dipilih secara
demokratis melalui mekanisme yang demokratis pula. Semua warga negara berhak
untuk memilih dan dipilih serta mempunyai hak dan kedudukan yang sama dalam
pemerintahan.
Nampaknya, siapapun yang menjadi
inisiator pendirian Kerajaan Wakatobi Ing Al Butunie dan yang menjadi Putra
mahkota harus berpikir ulang. Apa sesungguhnya yang mendasari lahirnya Kerajaan
Wakatobi? Masyarakat Wakatobi terus mempertanyakannya, dan tidak adanya jawaban
pasti mengenai hal ini akan memunculkan resistensi yang tinggi. Masyarakat
Wakatobi menolak hadirnya Kerajaan Wakatobi. Selain karena alasan historis
bahwa Wakatobi tidak pernah menjadi kerajaan dan tidak mengenal putra mahkota, juga
karena alasan yuridis yakni bertentangan sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Wallahu a’lam bish-shawab
kerajaaningalbutuniewakatobi@gmail.com
BalasHapus