Ilustrasi |
Menariknya adalah, kajian tentang
dunia maritim ternyata tidak hanya menyangkut kelautan dan perikanan, pelayaran
dan perdagangan, perekonomian, serta pertahanan dan keamanan laut, tetapi juga
menyangkut persoalan budaya yang di dalamnya tercakup budaya kepemimpinan. Dalam
dunia maritim dikenal institusi perahu, yang fungsinya tidak sekedar sebagai
alat transportasi untuk menjangkau pulau-pulau terjauh dan terluar, juga bukan
sekedar menjadi sarana menghubungkan pulau-pulau di seantero nusantara, tetapi
perahu adalah sistem yang mengatur roda dan dinamika kehidupan masyarakat
pesisir. Dari perahu-lah masyarakat maritim dapat hidup dan dari perahu pula
mereka memperoleh penghidupan. Dalam mindset masyarakat maritim,
kehidupan dilaut atau lebih spesifik kehidupan dalam perahu tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan orang-orang di darat, sebagaimana orang-orang di
darat sangat bergantung kehidupannya dengan keberhasilan orang-orang di Perahu.
Keberhasilan pelayaran sangat bergantung pada do’a dan ikhtiar keluarga yang
ditinggalkan, demikian pula keselamatan dan kesehatan keluarga yang
ditinggalkan sangat bergantung pada apa yang dilakukan oleh awak perahu selama
masa pelayaran.
Oleh karena eksistensi perahu
menyangkut hajat hidup orang banyak, maka orang-orang yang terlibat dalam
pengelolaan perahu bukanlah orang sembarang, tetapi adalah orang-orang
terlatih, berkompeten, memiliki pengalaman yang mumpuni, serta berintegritas.
Kita tidak dapat membayangkan bagaimana keadaan perahu ditengah lautan ketika
dihantam ombak dan badai, jika yang menjadi awak perahu adalah orang-orang yang
hanya pandai berhias, pintar cari muka, minim pengalaman dan tanpa pengetahuan;
kita tidak dapat membayangkan berapa lama masa pelayaran pada musim pancarobah
jika yang mengendalikan perahu adalah orang-orang yang tidak paham tentang sistem
navigasi dan perubahan iklim; kita juga tidak dapat membayangkan bagaimana
ketersediaan perbekalan dalam perahu jika yang mengelola persediaan logistik perahu
adalah orang-orang yang hanya pandai membangun kolusi apakah lagi
melakukan korupsi. Kehidupan dalam perahu dimana setiap saat
diperhadapkan dengan topan dan badai, ombak dan arus yang keras, serta panas
dan dingin membutuhkan pribadi-pribadi yang tangguh, dan ini lahir dari proses
yang panjang, bukan dari proses yang instan.
Pemimpin pelayaran alias nakhoda, tidak
dipilih karena wajahnya yang rupawan atau karena hartawan, tetapi karena pengetahuan,
pengalaman dan integritasnya. Kehidupan di laut penuh dengan bahaya, sehingga pemimpin
yang dibutuhkan adalah figur yang telah ditempa oleh dinamika kehidupan laut
yang panjang dan ujian panjang itu mampu di lewati. Kehidupan dilaut adalah
urusan hidup dan mati dan urusan masa depan generasi yang menaruh harapan dari
suksesnya pelayaran. Itulah sebabnya kepemimpinan maritim mensyaratkan
kompetensi, pengalaman dan integritas. Dengan kompetensi atau pengetahuan yang
dimiliki memudahkannya mengendalikan pelayaran, pengalaman menjadikannya
terbiasa dalam menghadapi berbagai tantangan dan gelora kehidupan laut, dan
integritas menjadikannya didengar dan dipatuhi serta disegani baik oleh sesama awak
perahu, sesama pelayar, maupun masyarakat lain dimana mereka berlabuh. Juru masak
(dalam perahu disebut koki), juga bukan orang sembarang, karena
bagaimanapun memasak di dapur perahu dengan memasak di dapur rumah sangat
berbeda situasinya. Kapasitas perahu yang sangat terbatas, keadaan cuaca yang
tidak menentu, serta persediaan logistik yang terbatas tentu membutuhkan juru
masak yang berkompeten, berpengalaman, dan berintegritas. Demikian pula posisi-posisi
lain seperti; juru mudi, juru tagih dan pemegang kas, semuanya
mensyaratkan pengetahuan atau kompetensi, pengalaman, dan integritas.
Dalam
masyarakat maritim, interaksi yang terjalin antara mereka dengan pemimpin yang
ada di daratan bukanlah hubungan seperti Adipati dengan abdi di Tuban yang
dikisahkan oleh Pramoedya Ananta Toer dalam Arus Balik. Hubungan yang
berlangsung adalah hubungan yang setara. Seperti yang terjadi di masyarakat
Bajau di Indonesia Timur yang berdagang dengan sultan, saling
mempertukarkan barang kebutuhan. Masyarakat mendapat kain dari sultan, dan
sebagai bayaran mereka menukarnya dengan tripang, ikan, dan sebagainya (Andrian
Lapian, 2009).
Bagi
masyarakat maritim, perahu adalah simbol kehidupan. Sehingga seluruh dimensi
ruang kehidupan kita adalah “perahu”. Birokrasi pemerintahan adalah perahu
kehidupan aparatur sipil negara, disana ada harapan kesejahteraan bersama bukan
kesejahteraan individu atau kelompok; sekolah adalah perahu kehidupan dimana
murid, guru, dan tenaga kependidikan lainnya berinteraksi untuk mewujudkan
masyarakat yang cerdas; rumah tangga adalah perahu kehidupan; demikian pula
berbagai institusi sosial lainnya adalah perahu. Semua perahu membutuhkan
kepemimpinan yang tangguh, yang syaratnya adalah berkompeten, berpengalaman,
dan berintegritas. Semoga kita dapat mengambil pelajaran. Wallahu a’lam
bish-shawab
Belum ada tanggapan untuk "Kepemimpinan Dalam Bingkai Budaya Maritim"
Posting Komentar