Pada suatu
kesempatan di acara diskusi publik organisasi kepemudaan, salah seorang peserta
mengajukan pertanyaan kepada narasumber yang mewakili kantor Kementerian Agama.
Pertanyaannya adalah “mengapa aparatur Kementerian Agama hanya sibuk mengurus
urusan administrasi, sedangkan fungsi layanan publik diabaikan?” Lebih konkrit
dijelaskan bahwa aparatur Kementerian Agama hanya sibuk mengurus administrasi dan
data, sedangkan layanan pembinaan kegiatan keagamaan seperti; Khatib Jum’at,
Imam, ceramah ramadhan, memimpin tahlilan, pembinaan Majelis Ta’lim dan TPQ,
pembinaan keluarga sakinah, dan sebagainya seolah kurang mendapatkan perhatian.
Bagi saya pribadi, memahami bahwa pertanyaan yang diajukan oleh penanya
sebenarnya merepresentasikan pemahaman publik tentang aparatur (pegawai)
kementerian Agama. Masyarakat memahami bahwa tugas aparatur Kementerian Agama
adalah memberikan layanan keagamaan, tanpa peduli apa tugas dan tanggung
jawabnya di kantor, dan apa latar belakang keilmuan yang dimiliki. Tentu, situasi
ini menghadapkan aparatur Kementerian Agama pada dilema, disatu sisi ada
tuntutan pelaksanaan tugas dan tanggung jawab struktural sebagai abdi negara dan
pada sisi yang lain ada desakan pemenuhan kewajiban moral sebagai abdi
masyarakat.
Tunaikan Tugas Struktural
Jika merujuk pada regulasi yang mengatur tentang tugas dan tanggung jawab
pegawai negeri sipil, secara yuridis tidak ada perbedaan yang berarti antara
PNS yang bekerja pada satuan kerja dibawah koordinasi Pemerintah Daerah
(otonomi) maupun PNS yang bekerja pada satuan kerja dibawah koordinasi
Pemerintah Pusat (vertikal). Mungkin yang akan membedakan hanyalah aspek teknis
seperti mekanisme penganggaran, perencanaan, penggajian, dan pelaporan. Adapun
tugas dan tanggungjawab dalam hal pelayanan adalah sama, yaitu memberikan
pelayanan secara maksimal kepada masyarakat. Perbedan akan nampak setelah masuk
pada area tugas dan fungsi aparatur di institusinya masing-masing. Tetapi, perbedaan
ini tidak hanya terjadi antara instansi otonomi dan vertikal tetapi juga antara
sesama instansi otonomi (Dinkes, Diknas, Dinas PU, BKD, dan lain-lain) dan juga antara sesama instansi vertikal
(Kemenag, Kehakiman, Kejaksaan, Pertanahan, dan lain-lain).
Kementerian
Agama sendiri hadir sebagai penjelmaan cita-cita dan kepribadian bangsa Indonesia yang religius.
Eksistensi Kementerian Agama merefleksikan “hadirnya negara” untuk memberi
jaminan terhadap kehidupan beragama dan kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya dan untuk beribadat sesuai keyakinan yang dianutnya (Lukman
Hakin Saifuddin; 2016, p.2). Untuk mewujudkan tujuan luhur tersebut maka
dibuatlah struktur kelembagaan dengan uraian tugas yang hirarkis, sequen, dan
komprehensif. Inilah yang menjadi pembeda tugas dan peran setiap aparatur
Kementerian Agama. Tugas aparatur yang ditempatkan pada urusan haji dan umrah
tentu berbeda dengan aparatur yang ditugaskan pada urusan zakat dan wakaf;
aparatur yang ditugaskan pada urusan pendidikan madrasah akan berbeda pula
dengan yang ditugaskan pada urusan pondok pesantren; demikian halnya yang
ditugaskan pada urusan bimbingan masyarakat Islam akan berbeda dengan tugas
aparatur yang ditempatkan pada urusan bimbingan masyarakat Kristen, Hindu, atau
Budha. Tetapi, dalam pelaksanaan tugas-tugas tersebut, seorang aparatur
dihadapkan pada dua realitas. Pertama,
target realisasi kegiatan. Daftar
uraian pekerjaan yang manjadi acuan dalam satu tahun anggaran pada instansi
vertikal seperti Kementerian Agama dimuat dalam sebuah dokumen yang dikenal
dengan istilah DIPA (daftar isian pelaksanaan anggaran). Dokumen ini terdiri
dari rincian jenis kegiatan beserta kode akun dan pagu anggaran setiap
kegiatan. Daftar pekerjaan yang ada dalam dokumen DIPA harus dituntaskan
oleh setiap aparatur baik dalam kapasitas sebagai pejabat struktural, pejabat
fungsional, maupun sebagai staf fungsional umum. Biasanya, indikator kinerja
dilihat dari kemampuan merealisasikan semua kegiatan yang ada dalam DIPA selama
satu tahun anggaran. Oleh karena itu, realisasi kegiatan akan terus dievaluasi
sepanjang tahun. Kedua, target penyerapan anggaran. Selain
target realisasi kegiatan, seorang aparatur juga dihadapkan dengan target
penyerapan anggaran. Biasanya, penyerapan anggaran akan berjalan berbarengan
dengan realisasi kegiatan. Tetapi, dalam konstruksi DIPA ada kegiatan dengan
pagu anggaran yang sedikit dan ada kegiatan dengan pagu anggaran yang banyak.
Dengan perbedaan tersebut tentu akan ikut mempengaruhi target penyerapan
anggaran. Walaupun realisasi kegiatan persentasinya tinggi, tetapi pagu
anggarannya sedikit, maka penyerapan anggaran akan sedikit. Sebaliknya,
walaupun kegiatannya belum banyak yang dilakukan, tetapi pagu anggarannya
banyak, maka penyerapan anggaran akan tinggi. Nampaknya, kedua hal inilah yang
menjadi penyebab, mengapa aparatur kementerian agama dianggap lebih fokus
mengurus administrasi dan data. Ada target realisasi kegiatan dan target
penyerapan anggaran, dan hal tersebut harus dapat dilaksanakan dengan baik
untuk dipertanggungjawabkan. Bukan hanya kepada masyarakat, kepada atasan dan
kepada lembaga audit (Irjen, BPKP, dan BPK), tetapi juga kepada Allah SWT.
Penuhi Kewajiban Moral
Disamping pemenuhan tugas struktural atau tugas administrasi, aparatur
Kementerian Agama juga mempunyai kewajiban moral. Kewajiban moral adalah tugas yang
melekat dan harus ditunaikan (tidak tertulis dan tidak ada dalam DIPA) karena
mempunyai urgensi yang kuat dalam hubungannya dengan eksistensi Kementerian
Agama. Institusi ini hadir untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam
urusan keagamaan. Oleh karena itu, semua persoalan keagamaan dalam masyarakat,
mulai dari urusan hidup sampai mati, urusan dunia dan akhirat, urusan Masjid
dan luar Masjid, halal dan haram, nikah dan cerai, bid’ah atau bukan bid’ah, dan
entah urusan apalagi, menjadi tanggungjawab aparatur Kementerian Agama. Diakui
atau tidak, inilah mindset yang
berkembang dan tertanam kuat dalam masyarakat. Masyarakat tidak akan pernah bertanya
anda sarjana apa, anda di seksi mana, atau apakah anda pejabat atau bukan?
Masyarakat hanya memahami bahwa tugas aparatur Kementerian Agama itu adalah
memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam segala urusan keagamaan. Ini
adalah realitas, dan tidak bisa dihindari. Menghindar berarti siap menerima justifikasi sosial bahwa kita telah
lalai dalam memberikan layanan kepada masyarakat. Sisi untungnya adalah secara
kelembagaan, Kementerian Agama masih dipercaya oleh publik sebagai institusi
yang bersih. Demikian halnya, secara personal aparatur Kementerian Agama masih
dianggap sebagai orang-orang yang baik dan jujur, karenanya patut di gugu dan di tiru.
Paling tidak ini adalah modal sosial yang positif bagi setiap aparatur dalam menyampaikan
pesan-pesan keagamaan.
Tetapi, nampaknya dengan modal ini tidaklan cukup. Dibutuhkan komitmen
yang kuat serta optimalisasi layanan dari setiap aparatur sehingga apa yang
menjadi kebutuhan masyarakat yang hadirnya tidak mengenal waktu selalu
mendapatkan jawaban. Sebagian masyarakat tidak mengenal jam kantor, bahkan tidak
mengenal alamat kantor. Mereka juga kebanyakan tidak mengenal pembagian tugas,
bagian, bidang, seksi, subbag, dan lain sebagainya. Yang mereka tahu adalah ketika
ingin mendapatkan informasi layanan haji, ketentuan zakat, berkonsultasi
masalah keluarga, menanyakan tata cara penyelenggaraan jenazah, ketentuan
penyelenggaraan hari-hari kematian, membawakan khutbah nikah, dan sebagainya, akan
mendatangi rumah aparatur Kementerian Agama. Entah siang hari, sore hari,
sesudah magrib, malam, atau pagi dini hari sekalipun. Tidak jarang juga
komunikasi dilakukan melalui telpon atau SMS, hanya untuk menanyakan “apakah
kegiatan ini atau kegiatan itu termasuk bid’ah atau tidak”. Gambaran keadaan
ini pernah kami alami selama mengemban posisi struktural pada salah satu kantor
Kementerian Agama Kabupaten di Provinsi Sulawesi Tenggara. Dalam konteks ini,
maka penting bagi aparatur Kementerian Agama menerapkan dua model pendekatan
layanan, yaitu layanan langsung dan layanan tidak langsung. Layanan langsung (direct services), adalah pola pemberian
layanan dari setiap aparatur Kementerian Agama kepada masyarakat tanpa
terbatasi oleh jam kantor. Layanan dapat dilakukan di kantor, rumah, masjid,
madrasah, sekolah, dan disetiap kesempatan.
Tentu ini bukan pekerjaan gampang, karena aparatur Kementerian Agama juga
membutuhkan waktu untuk istrahat, waktu untuk keluarga, dan juga memiliki
keterbatasan. Oleh karena itu layanan langsung perlu didukung dengan layanan
tidak langsung (indirect services). Dengan
demikian, perlu dibentuk pusat-pusat konsultasi keagamaan berbasis online dengan memanfaatkan media sosial
seperti; Facebook, WhatsApp, BBM, Line, twitter, dll. Tetapi, harus ada
dukungan dari Kementerian Agama secara institusional. Tugas yang membutuhkan
waktu, energi, pengetahuan yang komprehensif, serta wawasan yang luas tersebut
tidak tepat kalau sepenuhnya menjadi beban aparatur Kementerian Agama secara
personal. Kementerian Agama secara kelembagaan harus dapat merencanakan program
dan kegiatan yang bersentuhan langsung dengan kebutuhan masyarakat pada urusan
keagamaan. Dengan begitu, masyarakat dapat merasakan langsung apa yang
diberikan oleh Kementerian Agama. Disamping itu, penting bagi Kementerian Agama
memberikan bantuan pemberdayaan kepada organisasi kemahasiswaan dan kepemudaan
yang berbasis agama, serta kepada organisasi-organisasi keagamaan, sehingga
tanggungjawab pemberian layanan keagamaan dapat dipikul secara bersama-sama. Wallahu a’lam bish-shawab.
Awesome.....
BalasHapus