Pentingnya Role Model dalam Pendidikan Antikorupsi di Sekolah



Korupsi seolah telah menjadi ‘penyakit kronis’ yang menggerogoti bangsa ini. Semula, prilaku menyimpang ini selalu disematkan pada Orde Baru, tetapi faktanya delapan belas tahun sudah Orde Baru runtuh, bukannya terkikis habis tetapi justru semakin tumbuh subur. Pemerintah bahkan telah membentuk satu lembaga khusus (KPK) untuk memberantasnya, tetapi hingga saat ini nampaknya masih kewalahan mengatasinya.

Berbagai gagasan dan program terus dikembangkan guna mencari formulasi yang tepat dalam rangka pencegahan. Mulai dari sosialisasi tentang bahaya korupsi di sekolah, pandangan tentang pentingnya menerapkan kembali P4 di sekolah, implementasi pendidikan karakter atau pendidikan kepribadian, dan yang terakhir adalah adanya “kantin kejujuran” di sekolah. Semua itu dilakukan dalam rangka menumbuhkan pemahaman dan kesadaran anak sejak dini tentang bahaya korupsi sehingga kelak mereka dapat menghindarinya. Dari semua gagasan dan program tersebut, kecederungan yang nampak adalah melihat institusi sekolah sebagai wahana yang paling tepat untuk menumbuhkan kesadaran dan tindakan antikorupsi.

Secara umum, pendidikan antikorupsi dapat diartikan sebagai pendidikan koreksi budaya yang bertujuan untuk mengenalkan cara berpikir dan nilai-nilai baru kepada peserta didik (Suyanto, 2005: 43). Cara berpikir dan nilai-nilai baru penting disosialisasikan atau ditanamkan kepada peserta didik karena gejala korupsi di masyarakat sudah membudaya dan dikhawatirkan para generasi muda menganggap korupsi sebagai hal biasa. Pendidikan antikorupsi juga dapat dipahami sebagai usaha sadar, sistematis, dan terencana yang diberikan kepada peserta didik berupa pengetahuan, nilai-nilai, keterampilan dan sikap agar mereka mampu mencegah serta menghindari terjadinya korupsi. Tujuan pendidikan antikorupsi adalah; (1) membentuk pengetahuan dan pemahaman mengenai berbagai bentuk korupsi dan aspek-aspeknya, (2) perubahan persepsi dan sikap terhadap korupsi, dan (3) pembentukan keterampilan dan kecakapan baru yang dibutuhkan untuk melawan korupsi. Berdasarkan tujuan tersebut dapat dicermati bahwa pendidikan antikorupsi melibatkan tiga domain penting yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik. Pertama, aspek kognitif menekankan pada kemampuan mengingat dan mereproduksi informasi yang telah dipelajari, bisa berupa mengkombinasikan cara-cara kreatif atau mensintesiskan ide-ide dan materi baru. Kedua, domain afektif menekankan pada aspek emosi, sikap, apresiasi, nilai atau pada level menerima atau menolak sesuatu. Ketiga, domain psikomotorik menekankan pada tujuan melatih kecakapan dan keterampilan. Untuk membekali peserta didik agar terbiasa berprilaku antikorupsi, maka dalam penyelenggaraan pendidikan antikorupsi ketiga domain di atas harus diselaraskan atau diintegrasikan dalam target kurikulum  baik yang eksplisit maupun yang implisit. Dengan demikian, arah pendidikan antikorupsi menjadi jelas berdasarkan kriteria-kriteria terukur (Eko Handoyo, 2015: 34).

Jika kita memperhatikan postur kurikulum sekolah (SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA), maka pendidikan antikorupsi belum menjadi kewajiban untuk diterapkan. Mengapa demikian? Karena pada struktur kurikulum belum mencantumkan perlunya pendidikan antikorupsi di sekolah. Tetapi, memperhatikan konteks perkembangan masyarakat dimana praktek korupsi telah merambah seluruh lini kehidupan, maka implementasi pendidikan antikorupsi menjadi hal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Dalam konteks ini peran role model dalam implementasi pendidikan antikorupsi menjadi niscaya. Role model, secara istilah berarti panutan atau keteladanan. Lalu, siapa yang akan berperan sebagai role model di sekolah?

Pertama, Kepala Sekolah. Selain tugas pokoknya sebagai guru, kepala sekolah adalah penanggungjawab umum di sekolah (tugas tambahan). Hal ini menegaskan bahwa kepala sekolah berfungsi ganda, yaitu sebagai tenaga pendidik sekaligus sebagai tenaga kependidikan. Dalam posisinya sebagai guru, perannya sebagai role model sangat dibutuhkan karena kepala sekolah dianggap sebagai sosok yang berkharisma. Apa yang menjadi perintahnya dilaksanakan, apa yang menjadi sikap dan kebiasaannya diteladani, dan nasehat-nasehatnya didengarkan serta ditaati. Sedangkan pada posisinya sebagai kepala sekolah, kebijakan-kebijakan yang diambil dituntut harus merepresentasikan kehendak bersama dan untuk kebaikan bersama. Atas dasar ini, maka semua kebijakan yang diambil bukan atas dasar kehendak pribadi apalagi secara paksa, tetapi harus atas dasar kehendak bersama melalui musyawarah mufakat. Dengan pola seperti ini, maka akan terbangun kultur sekolah yang lebih demokratis, terbuka, adil, dan saling percaya. Kedua, Guru. Sebuah adagium mengatakan bahwa guru adalah digugu dan ditiru. Digugu berarti dipercayai, dituruti, atau diindahkan, sedangkan ditiru berarti dicontoh. Dalam konteks ini, peran guru dalam menumbuhkan pemahaman dan sikap antikorupsi kepada siswa sangat sentral. Kebiasaan-kebiasaan guru di sekolah (seperti; bolos, terlambat, sengaja tidak masuk mengajar, tidak memberikan atau memotong hak-hak siswa, dll) harus dijaga, karena disadari atau tidak, pasti akan digugu dan ditiru oleh siswa. Ketiga, Tenaga Kependidikan. Meskipun perannya di sekolah dalam membina siswa tidak sama dengan sentralnya peran guru, tetapi dianggap mempunyai andil dalam menumbuhkan pemahaman dan sikap antikorupsi pada siswa. Tenaga kependidikan dituntut untuk senantiasa jujur, disiplin, berdedikasi, ikhlas, serta tidak pilih kasih dalam melayani.

Menurut Busyro Muqoddas (mantan komisioner KPK), rumus korupsi adalah C = D + M – A. Dijelaskan bahwa C merupakan corruption atau korupsi, D merupakan discretionary alias kewenangan penentuan kebijakan, M adalah monopoly dan A adalah accountability atau akuntabilitas. Artinya, jika lembaga itu memiliki diskresi atau kekuasaan untuk mengambil keputusan, serta bersifat monopoli dan tanpa akuntabilitas, maka lembaga apapun juga akan cenderung korupsi. Sekolah tidak terkecuali karena mengelola anggaran baik bersumber dari pemerintah maupun masyarakat. Dalam sekolah terdapat ruang penentuan kebijakan, ada ruang monopoli, dan juga ada ruang akuntabilitas. Untuk menghindari lahirnya kebijakan yang tidak adil, maka asas pengambilan kebijakan harus berpijak pada kepentingan umum, bukan kepentingan pribadi; untuk menghindari adanya monopoli maka yang harus dikedepankan adalah melakukan musyawarah mufakat; dan untuk mewujudkan akuntabilitas di sekolah, maka perencanaan kegiatan, pelaksanaan kegiatan, serta pelaporan kegiatan harus melibatkan semua pihak terkait. Dengan begitu, maka semua komunitas sekolah (kepala sekolah, tenaga pendidik, dan tenaga kependidikan) ikut berperan dalam menumbuhkan pemahaman, penyadaran, dan prilaku antikorupsi pada siswa di sekolah. Wallahu a’lam bish-shawab

 

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Pentingnya Role Model dalam Pendidikan Antikorupsi di Sekolah"

Posting Komentar