Pendekatan Multikultural Dalam Manajemen Madrasah; Belajar dari MAN Yogyakarta I
Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Yogyakarta I
Semula
adalah tugas akademik yaitu membuat artikel pada mata kuliah pendidikan
multikultural. Saya lalu terpikir untuk menyederhanakan artikel tersebut guna
membaginya melalui blog pribadi. Banyak konten yang dikurangi, yaitu sebagian
kajian pustaka yang terkait dengan pendidikan multikultural dan madrasah, serta
tabel dimensi pendidikan multikultural model Banks dan model Zamroni. Sebenarnya
kedua tabel tersebut sangat penting, karena dari keduanya model implementasi
pendidikan multikultural di MAN Yogyakarta I dapat disepadankan atau dilihat
kesesuaiannya. Tetapi setelah coba diapload berulangkali melalui blog, ternyata
tabelnya tidak terbaca. Akhirnya tabel dihilangkan, lalu diuraikan secara
deskriptif.
Tugas
penulisan artikel difokuskan pada melihat model implementasi pendidikan
multikultural di madrasah. Dengan asumsi bahwa madrasah sebagai sekolah umum
yang berciri khas tidak terlepas untuk mendukung fungsi dan tujuan pendidikan
nasional. Sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional madrasah diharapkan
mempunyai peran yang sangat strategis dalam menanamkan nilai-nilai keadilan dan
kesetaraan yang perlukan dalam masyarakat Indonesia yang sangat multikultur. Oleh
karena itu, madrasah sangat memerlukan perspektif multikultural dalam proses
pembelajaran. Meskipun eksistensinya adalah sekolah
agama, tetapi pada aspek yang lain menunjukkan adanya keragaman, mulai dari
keragaman jenis kelamin (gender),
posisi dan peran, latar belakang keluarga, etnis, potensi, minat dan bakat
individu, dan lain sebagainya. Dengan demikian, menjadi penting adanya
pendekatan multikultural dalam manajemen madrasah, baik dalam konteks kultur sekolah,
maupun kultur kelas. Sehingga, keragaman tersebut dapat dikelola dengan
baik untukmencapai tujuan pendirian
madrasah. Memang tidak mudah, posisi madrasah sebagai sekolah berciri khas,
menunjukkan kuatnya pengaruh ajaran islam secara dogmatis yang tertanam di
dalamnya. Dalam konteks inilah implementasi pendekatan multikultural dalam
manajemen madrasah menjadi niscaya. Selain untuk mencairkan pemahaman dan
praktek keagamaan yang bersifat dogmatis, juga untuk menumbuhkan kesadaran akan
pentingnya saling menghargai diantara beragam posisi, peran, latar belakang
keluarga, etnis, potensi, serta minat dan bakat dari setiap individu di
madrasah.
Madrasah
yang menjadi pilihan untuk dilakukan survei adalah Madrasah Aliyah Negeri (MAN)
Yogyakarta I. Pertimbangannya sangat praktis, yaitu karena dekat dengan kampus
(berhadapan dengan Mirota Kampus) dan kebetulan hanya madrasah tersebut
satu-satunya yang saya ketahui alamatnya. Tetapi, setelah memasuki area
madrasah, saya berpikir bahwa ternyata pilihanku sangat tepat. MAN Yogyakarta I
dapat menjadi representasi sekolah berprestasi di daerah Istimewa Yogyakarta.
Paling tidak, pemikiran tersebut tergambar dari sejumlah piala, plakat dan piagam yang
terpasang di dinding dan lemari yang menunjukkan sejumlah prestasi yang diraih
oleh siswa-siswi madrasah. MAN Yogyakarta I ternyata tidak hanya menjadi madrasah
favorit dalam lingkungan Kementerian Agama tetapi juga menjadi favorit di
Daerah Istimewa Yogyakarta.
Setelah melakukan survei, wawancara
(dengan dewan guru dan siswa), serta melihat sejumlah dokumen yang diperlukan,
akhirnya diketahui beragam program madrasah yang mengarah pada tumbuhnya
kesadaran hidup bersama ditengah keragaman komunitas madrasah. Dalam struktur
kurikulum madrasah, pendidikan multikultural belum termaktub. Yang sedikit
mengarah adalah salah satu mata pelajaran yang menjadi ciri khas madrasah,
yaitu akidah akhlak. Tetapi muatannya lebih mengarah pada pembentukan akhlak,
tidak secara spesifik mengajarkan tentang kesadaran multikultural. Dengan
merujuk pada Dimensi Pendidikan Multikultural model Banks (2002 : 14), model
implementasi pendidikan multikultural di MAN Yogyakarta I adalah sebagai
berikut;
1.Content
Integration; Kegiatan pembelajaran yang mengajarkan tentang kesadaran
multikultur diajarkan dengan pendekatanintegrated
content yaitu dilakukan secara terintegrasi pada semua semua mata
pelajaran. Tanggungjawab penyadaran siswa tentang pentingnya menghargai
keragaman melekat pada semua guru mata pelajaran.
2.Knowledge
Contruction; Kegiatan pembelajaran yang mengajarkan tentang kesadaran
multikultur juga diajarkan secara spesifik dengan pendekatansubject matter melalui pelajaran
Akidah akhlak. Mata pelajaran Akidah akhlak pada Madrasah sangat menekankan
pada perubahan sikap dan moral peserta didik.
3.Prejudice
Reduction; Penyadaran multikultural melalui Laboratorium Agama (Religious
Laboratory). Pada laboratorium ini, siswa tidak hanya mempelajari Agama
secara teoritis, tetapi juga secara praktis. Sehingga pembelajaran agama tidak
bersifat dogmatis dan tekstual semata, tetapi dipahami secara transformatif dan
kontekstual. Disamping itu ada upaya optimalisasi peran dan fungsi guru
Bimbingan dan Konseling.Pada MAN
Yogyakarta 1, peran guru BP dikembangkan bukan hanya menangani siswa yang
memiliki “masalah”, tetapi juga memberikan penyadaran kepada siswa tentang
pentingnya saling menghargai diantara sesama siswa baik intra madrasah maupun
ekstra madrasah.
4.Equity
Pedagogy; padadimensi ini, dewan guru madrasah mengembangkan desain pembelajaran yang
menghargai beragam potensi dan minat peserta didik melalui pembelajaran aktif.
Melalui pembelajaran aktif, semua siswa diberlakukan sama, diberikan kesempatan
untuk berkembang dengan membangun kerjasama baik dalam kelompok mamupun dalam
kelas, dan Setting kelas yang menekankan aspek kesetaraan. Setting
kelas adalah pengaturan situasi kelas sehingga menciptakan suasana yang nyaman
bagi siswa dalam melaksanakan pembelajaran. Salah satu aspek yang dapat dilihat
adalah pengaturan tempat duduk siswa yang sering berubah dari satu model ke
model lainnya. Pemilihan tempat duduk menjadi kewenangan siswa dimana posisi
yang paling nyaman menurutnya untuk belajar dengan baik.
5.Empowering Culture School; langkah konkrit yang
dilakukan madrasah pada aspek ini adalah pengambilan keputusan melalui
musyawarah mufakat, penentuan wakil kepala madrasah tanpa melihat latar
belakang dan jenis kelamin melalui mekanisme pemilihan langsung, serta mengoptimalkan
peran asrama sebagai basis penguatan kesadaran multikultural. Hal lain yang
dilakukan adalah pemilahan tempat pelaksanaan shalat antara laki-laki dan
perempuan untuk memberikan peluang yang sama kepada siswa laki-laki dan siswa
perempuan untuk belajar pemimpin, serta penyediaan sarana perpustakaan
angkringan, untuk memberikan suasana yang unik yang dapat meningkatkan minat
baca siswa.
Berbagai kegiatan dan program yang dikembangkan pada
MAN Yogyakarta I, secara spesifik berada pada dua level, yaitu level kelembagaan
dan level pembelajaran. Pada level kelembagaan (institusional), program dan kegiatan
yang relevan adalah kegiatan ektra kurikuler serta yang terkait langsung dengan
kebijakan. Sedangkan pada level pembelajaran (instruksional), program dan
kegiatan yang berhubungan langsung adalah aktivitas belajar mengajar di kelas.
Uraian diatas dapat menjadi dasar untuk menegaskan
bahwa implementasi pendidikan multikultural pada MAN Yogyakarta I telah
memenuhi semua dimensi pendidikan multikultural sebagaimana model yang
dikemukakan oleh Banks maupun Zamroni. Model implementasi pendidikan
multikultural pada MAN Yogyakarta I menjadi menarik karena tidak diajarkan
dalam bentuk mata pelajaran (subject
matter). Alasannya adalah tuntutan kurikulum nasional, yang secara spesifik
pendidikan multikultural belum masuk dalam struktur kurikulum. Tetapi, karena
dilandasi oleh kesadaran bahwa latar belakang siswa sangat beragam baik pada
aspek asal daerah (Jawa, Kalimantan, Sunda, Sulawesi, Padang, Lampung, dll),
bahasa, suku, adat istiadat, serta potensi, minat dan bakat, maka muatan
pendidikan multikultural diintegrasikan pada mata pelajaran akidah akhlak serta
pada semua mata pelajaran. Disamping itu, juga dikembangkan ke dalam berbagai
program madrasah yang mengarah pada upaya pemahaman dan penyadaran peserta
didik mengenai keragaman. Pada konteks ini, MAN Yogyakarta I dapat menjadi
model dalam implementasi pendidikan multikultural bagi madrasah lain, maupun
bagi sekolah umum. Wallahu a’lam bish-Shawab.
Belum ada tanggapan untuk "Pendekatan Multikultural Dalam Manajemen Madrasah; Belajar dari MAN Yogyakarta I"
Posting Komentar