Siswi Sekolah Dasar |
Belum masuk
dalam hitungan bulan pasca pelantikan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang
baru (menggantikan Anies Baswedan) Muhadjir Effendy telah menyiapkan program
baru sebagai langkah terobosan mengawali masa kepemimpinannya. Program baru
tersebut adalah penerapan sistem full day school atau sekolah sepanjang
hari. Sistem ini direncanakan akan diberlakukan untuk pendidikan dasar (SD dan
SMP), dengan harapan bisa membangun karakter anak. Salah satu alasan yang
mendasari program tersebut adalah membuat anak memiliki kegiatan di sekolah
dibandingkan berada sendirian dirumah ketika orang tua mereka masih bekerja. Dikatakan
bahwa dengan menambah waktu anak di sekolah, mereka bisa menyelesaikan
tugas-tugas di sekolah dan mengaji sampai dijemput orang tuanya usai jam kerja.
Anak-anak bisa pulang bersama-sama orang tua mereka, sehingga ketika berada di
rumah, mereka tetap dalam pengawasan, khususnya orang tua.
Rencana
tersebut langsung mendapatkan tanggapan dari berbagai pihak. Pakar pendidikan
Arief Rahman menyatakan setuju atas gagasan sekolah sepanjang hari (full day
school). Gagasan tersebut dianggap membawa sejumlah nilai positif, dengan
catatan manajemen harus baik dengan indikator keberhasilan yang jelas. Sejumlah
nilai positif yang dimaksud Arief adalah siswa betah di sekolah karena merasa
mendapat pelajaran bermutu; guru memiliki banyak waktu untuk melakukan
observasi prilaku, spiritual, intelektual, emosional, jasmani, dan sosial
siswa; fasilitas tidak mubazir. Selain itu, anak juga punya banyak waktu untuk
bergaul dengan teman sebaya. Sedangkan
indikator keberhasilan adalah anak menjadi semakin dekat dengan Tuhan;
kepribadian anak menjadi semakin matang seperti optimisme dan daya juang yang
tinggi; anak menjadi atau semakin senang belajar; dan rasa nasionalisme
bertambah (CNN, 08/08/2016). Sementara itu, Anggota Komisi X DPR RI Reni
Marlinawati menilai gagasan sekolah sepanjang hari untuk SD dan SMP negeri dan
swasta tidak bisa begitu saja diterapkan diseluruh Indonesia. ia mencontohkan
bila kebijakan itu dilakukan di Jakarta dikhawatirkan akan terjadi kemacetan
yang luar biasa (Okezon.com, 09/08/2016).
Sebenarnya,
sistem ful day school bukanlah persoalan baru di bangsa ini. Ada banyak
sekolah yang telah menerapkan sistem tersebut terutama pada sekolah-sekolah
dibawah pengelolaan swasta (masyarakat). Mengapa ini terjadi? Karena
sekolah-sekolah dibawah pengelolaan masyarakat memiliki keleluasaan
mengembangkan program-program sekolah sepanjang tidak keluar dari frame
sistem pendidikan nasional. Kebanyakan sekolah swasta yang telah menerapkan
sistem full day school adalah sekolah berasrama (terutama
sekolah-sekolah yang berada dalam naungan pondok pesantren) dan sekolah-sekolah
bertaraf internasional. Pada sekolah negeri, jikapun ada yang telah menerapkan,
jumlahnya masih dapat dihitung. Hal ini terjadi karena sekolah-sekolah negeri
sangat taat sekaligus terikat dengan kebijakan pemerintah. Ada aspek yang
dikedepankan pada sekolah-sekolah negeri, yaitu uniformitas (keseragaman),
sehingga pengaturan dari pemerintah sangat dijunjung tinggi.
Gagasan
untuk diterapkannya sistem sekolah sepanjang hari sudah pasti dilandasi oleh
niatan baik dengan tujuan yang baik pula. Tetapi, sebagai gagasan baru tentu
tidak dapat menghindari adanya kelompok yang pro (setuju) maupun yang kontra
(tidak setuju). Hal dilandasi oleh beberapa argumentasi. Pertama, full
day school meniscayakan siswa berada di sekolah sepanjang hari. Dengan
langkah ini, diharapkan bahwa aktivitas siswa dapat terkontrol dalam pengelolaan
sekolah, dapat dipertanggungjawabkan karena kegiatan siswa tetap dalam koridor
akademik, sekaligus menutup ruang kemungkinan dilakukannya perbuatan yang
bertentangan dengan norma dan susila setelah keluar dari lingkungan sekolah.
Bisa jadi, tidak sampai sore hari (magrib), tetapi disesuaikan dengan jam
pulang kantor. Dengan demikian, ada koneksitas antara waktu pulang siswa dari
sekolah dengan waktu pulang orang tua dari tempat kerja. Namun demikian, yang
perlu menjadi perhatian adalah tidak semua siswa memiliki orang tua yang
berkarir, atau bisa jadi yang berkarir adalah salah satu dari keduanya.
Sehingga lamanya siswa disekolah akan menjadi “jurang pemisah” kelekatan (attachment)
antara orang tua dengan anak. Pada konteks inilah, akan banyak masyarakat yang
mendukung (pro) dan yang menolak (kontra) penerapan full day school,
apakah lagi dilakukan pada pendidikan dasar (SD dan SMP) dimana kelekatan anak
dengan orang tuanya masih sangat kuat.
Kedua, penerapan full
day school mengharuskan penciptaan iklim sekolah yang kondusif dan akademis
sehingga siswa dapat senang dan nyaman mengikuti semua program intra maupun
ekstra kurikuler. Oleh karena itu, guru dituntut untuk lebih kreatif dalam
mengembangkan dan melaksanakan program yang sesuai dengan kebutuhan siswa.
Lamanya siswa di sekolah bukan berarti bahwa selama itupula siswa belajar
dikelas, tetapi juga belajar diluar kelas. Dalam konteks ini, manajemen sekolah
berkewajiban mewujudkan budaya belajar
pada dua level, yaitu level pembelajaran (instructional) dan level
kelembagaan (institusional). Pada ruang kelas, guru diharuskan
menciptakan kondisi yang membuat siswa dapat belajar. Apakah belajar secara
mandiri, belajar bersama, maupun belajar dengan guru. Semuanya sangat tergantung
pada kompetensi guru dalam mendesain pembelajaran. Sedangkan pada lingkungan
sekolah, harus tercipta situasi yang menyenangkan agar siswa mau berlama-lama di sekolah.
Konsekuensinya adalah nilai-nilai (value) dan keyakinan, tindakan atau
aktivitas, serta segala tata aturan dan uniform yang merupakan wujud budaya
sekolah harus lebih bersahabat dengan siswa. Pada konteks ini, kepala sekolah
sebagai leader bersama seluruh Wakil kepala Sekoah dan guru memegang
peranan yang sangat utama. Ketidakmampuan guru dalam mendesain pembelajaran
aktif dan menyenangkan, serta kelalaian kepala sekolah seluruh perangkatnya
dalam mewujudkan budaya sekolah yang bersahabat dengan siswa hanya akan
menjadikan full day school kehilangan “roh”.
Ketiga, konsekuensi
dari pemberlakukan full day school adalah membengkaknya kebutuhan
pada aspek sumber belajar dan sumber dana. Jika full day school sudah
diberlakukan, maka semua sumber belajar di sekolah harus segera dibenahi dan
dimaksimalkan. Perpustakaan sekolah harus segera dilengkapi dengan referensi
bacaan yang lengkap dan menarik serta manajemen (pustakawan) yang professional;
laboratorium (IPA, IPS, dan Bahasa) juga membutuhkan kelengkapan sarana serta
tenaga laboran yang ahli; sanggar budaya harus segera dilengkapi dengan segala
fasilitas pendukung guna mendukung kegiatan pembinaan dan pementasan; sarana
olah raga juga perlu disediakan. Dengan banyaknya sumber belajar yang mesti
disediakan oleh sekolah, sudah pasti membutuhkan anggaran yang tidak sedikit.
Bagi sekolah negeri yang telah memiliki platform anggaran dari
pemerintah mungkin tidak akan mengalami kesulitan, tapi bagi sekolah swasta
yang masih mengandalkan dana BOS serta bantuan masyarakat yang tidak menentu
waktu dan jumlahnya, tentu akan mengalami kesulitan.
Menarik
untuk dipertimbangkan saran dari Ibu Reni (Reni Marlinawati), bahwa full
day school agar dikaji secara tuntas sebelum
diberlakukan. Wilayah Indonesia yang sangat luas dengan kesenjangan yang sangat
lebar antar masing-masing wilayah dapat dijadikan pertimbangan. Distribusi guru
yang belum merata, sumber belajar yang belum memadai, adanya sekolah negeri dan
sekolah swasta dengan sumber daya dan sumber dana yang sangat timpang, serta
perbedaan latar belakang pekerjaan orang tua siswa adalah beberapa persoalan
yang akan menghadang laju penerapan full day school. Akan sangat bijak,
jika pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kemengerian
Agama menunjuk beberapa sekolah dan madrasah yang telah memiliki sumber daya
(SDM), sumber belajar, serta sumber dana yang memadai untuk dijadikan proyek
percontohan. Wallahu a’lam bish-shawab
Belum ada tanggapan untuk "Plus Minus Full Day School"
Posting Komentar