Soto Bathok; Wujud Inovasi Kuliner

Seperti biasa, setelah berdebat seru dalam nuansa akademik di ruang belajar, waktu istirahat seringkali digunakan untuk berkeliling Kota Jogyakarta. Kali ini, pilihannya adalah wisata kuliner. Salah seorang teman menginformasikan bahwa di daerah Sambisari Kalasan, bagian timur bandara Adi Sucjipto terdapat warung makan yang menjajakan “soto bathok”. Saya sendiri sempat bingung mendengar istilah itu, mengingat bahwa nama soto selalu identik dengan nama daerah. Misalnya; soto Banjar, soto Betawi, soto Kediri, soto Madura, Soto Lamongan, coto Makassar dan lain sebagainya. Kali ini, nama soto tidak identik dengan nama daerah, tetapi justru dengan nama yang khas.

Setelah sampai dilokasi, seorang teman langsung memesan soto bathok lengkap dengan minuman dan menu tambahan lain-lainnya, seperti tempe garit goring dan sate telur  puyuh. Ketika menu selesai disajikan, secara seksama saya memperhatikan, soto yang saat ini sedang “booming” di Kota Gudeg. Tidak ada yang istimewa, dari segi porsi nampak sedikit (untuk ukuran saya), ketika saya coba cicipi, rasanya juga biasa seperti rasa soto pada umumnya, demikian halnya komposisi bahan, tidak jauh berbeda dengan soto Lamongan atau soto Betawi. Aspek yang sedikit berbeda adalah karena disajikan dalam tempurung kelapa yang oleh orang Jawa menyebutnya dengan bathok. Jadi, istilah bathok pada nama soto bukan menjadi identitas daerah seperti pada nama soto yang lainnya, tetapi  adalah nama wadah yang menjadi tempat penyajian. Tidak seperti pada warung atau restoran yang menyajikan soto pada wadah yang lebih modern, soto bathok justru disajikan pada wadah yang lebih tradisional dan khas yakni bathok kelapa atau lebih familiar disebut dengan tempurung. Aspek lain yang menjadi kekhasan soto bathok adalah desain tempat makan yang nampak lebih tradisional.

Komposisi soto bathok adalah nasi putih, daging sapi dipotong kecil-kecil, toge, kol, taburan daun seledri, dan disiram kuah kaldu sapi yang panas. Dari segi taste gurih, asin dan terasa sangat segar. Bisa jadi, citarasa menjadi lebih nikmat karena menggunakan bathok atau tempurung kelapa sebagai wadah penyajian. Aspek lain yang menjadi unik dari soto bathok adalah area makan yang terdiri dari gubuk-gubuk untuk makan sambil lesehan. Seluruh konstruksi bangunan menggunakan kayu dan bambu, sehingga suasana nampak seperti di kampong. Latar area lesehan adalah membelakangi lokasi persawahan, sehingga suasana sangat sejuk dan jauh dari kebisingan. 

Bagi saya, meskipun nampak sederhana tapi soto bathok telah mengajarkan arti pentingnya inovasi dalam kuliner. Adanya sentuhan baru yang belum ada pada penjual-penjual soto lainnya, menjadikan soto bathok nampak menjadi unik. Aspek inovasilah yang menjadikan soto bathok “diburu” para pencinta kuliner. Pertama, tempurung kelapa (bathok). Biasanya, hanya berguna ketika ada kebutuhan membuat arang, atau pada daerah-daerah tertentu dijadikan sebagai bahan pokok souvenir atau untuk keperluan lainnya. Tetapi fungsi ini kemudian dikembangkan dan menghadirkan nuansa baru dalam kuliner yakni menjadi wadah penyajian soto, jadilah soto bathok. Mungkin akan berbeda situasinya jika soto tidak ditambahkan dengan kata bathok atau jika tidak dihidangkan dalam bathok. Kedua, gubuk lesehan dari kayu dan bambu. Nampaknya, cara pandang owner soto bathok adalah ingin menghadirkan nuansa baru yang lebih alamiah. Sehingga pilihan tempat yang dibangun bukan bangunan mewah yang permanen. Justru yang dibangun adalah deretan gubuk sederhana, berbahan dasar kayu dan bambu serta beratap genteng. Dengan konsep tersebut maka nampaklah warung makan yang memang sangat alami seolah berada di wilayah pelosok, meskipun masih dalam wilayah kota Yogyakarta. Ketiga, latar yang membelakangi area persawahan dan jauh dari kebisingan. Karena mindset owner adalah menghadirkan situasi yang alami, maka pilihannya adalah latar yang membelakangi persawahan dan jauh dari kebisingan sebagaimana layaknya di kampung. Mengapa? Karena rumah gubuk, persawahan, situasi aman dan nyaman, hawa yang sejuk, serta udara yang segar adalah antitesa dari Kota yang panas, pacet, bising, gerah, serta polusi udara, dan lain sebagainya. 

Inovasi dalam hal kuliner, semestinya menjadi agenda prioritas  terutama pada daerah-daerah yang sedang menggenjot pembangunan dengan mengandalkan sektor pariwisata. Wakatobi, yang saat ini sedang masuk dalam program Top Ten pariwisata nasional, saya kira tidak salah jika dapat mengambil pelajaran dari model  inovasi soto bathok. Jika Cotto Makassar terkenal karena menyajikan menu jeroan sapi, maka mungkin saja dikembangkan Cotto Wakatobi yang khas menyajikan jeroan ikan tuna, dan dikembangkan Soto Kerang/Kima dengan bahan bakunya berasal dari kerang-kerang/Kima; atau jika Garut terkenal dengan dodolnya, maka mengapa Wakatobi tidak mengembangkan dodol khas dengan bahan baku dari rumput laut. Masih banyak makanan khas tradisional Wakatobi yang belum dieksplorasi dan dikembangkan sehingga belum memasyarakat. Demikian halnya banyak bahan baku yang bersumber dari laut yang dapat dikembangkan menjadi kuliner khas Wakatobi. Semua ini sangat mungkin dikembangkan sepanjang ada kemauan dan ada jalan. Tetapi, yang harus diperhatikan adalah, kualitas rasa harus enak, kemasan harus menarik, setting tempat harus unik, dan strategi marketing harus jitu. Jika hal ini dapat diwujudkan, maka wisata kuliner akan menjadi komplementer dari wisata bawah laut yang saat ini telah menjadi ikon Wakatobi. Wallahu’a’lan bish-shawab.

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Soto Bathok; Wujud Inovasi Kuliner"

Posting Komentar