Potensi Kepemimpinan Pemuda; Perspektif Psikoanalisa Gustav Jung



Ilustrasi

Kajian tentang kepemimpinan pemuda seolah seperti pakaian yang tidak mengenal luntur, selalu hadir mengisi ruang-ruang diskusi dengan beragam topik dalam kemasan yang sangat menarik. Tidak berhenti hanya sampai diskusi, lalu dikembangkan dalam berbagai pelatihan. Menariknya adalah diskusi tentang kepemimpinan pemuda selalu dimulai oleh kaum muda dan juga dihadiri oleh kaum muda. Demikian halnya dengan pelatihan kepemimpinan pemuda, pelaksananya adalah pemuda, pesertanya adalah pemuda dan juga nara sumbernya adalah pemuda. Bisa jadi karena faktor politik, bahwa diskusi tentang kepemimpinan pemuda selalu menghangat menjelang momentum-momentum politik semacam pilbup, pilgub, pilek atau pilpres. Hal ini terkait dengan posisi pemuda yang menjadi basis pemilih terbanyak. Data Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunjukkan bahwa jumlah pemilih pemula Pemilu 2014 yang berusia 17 sampai 20 tahun sekitar 14 juta orang, sedangkan yang berusia 20 sampai 30 tahun sekitar 45, 6 juta jiwa. Bahkan diprediksi bahwa pada pemilu mendatang, jumlah pemuda yang mempunyai hak pilih bisa mencapai 40 sampai 42 % (Pemilu.com). Mungkin juga karena faktor psikologi, ada semacam kegalauan kaum muda mengenai masa depannya ditengah tantangan hidup yang semakin kompleks, sehingga berdiskusi tentang kepemimpinan paling tidak akan memberikan harapan-harapan baru yang menjadikannya lebih optimis dalam menghadapi hidup. Atau bisa jadi karna faktor ketidak sabaran kaum muda menunggu estafet kepemimpinan dari senior atau kaum tua. Kaum muda menganggap diri memiliki spirit yang kuat sehingga lebih layak diberi ruang dalam porsi kepemimpinan.
Membandingkan yang Muda dengan yang Tua
Betul bahwa Presiden Sukarno pernah berpidato, “beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia”. Tapi pidato tersebut boleh dikata sebagai bentuk agitasi beliau untuk meyakinkan kaum tua mengenai kepemimpinannya. Pada saat itu, Sukarno menjadi Presiden pada usia yang masih muda, yakni 39 tahun. Masih banyak teman-temannya seperjuangan yang memiliki usia jauh diatas Sukarno. Apa yang dikatakan oleh Sukarno dalam pidato tersebut adalah upaya meyakinkan semua pihak terutama yang tua bahwa ia mempunyai modal dalam memimpin, yaitu usia yang masih sangat muda. Tapi betulkah bahwa usia yang muda adalah potensi utama dan kunci sukses dalam memimpin? Fakta mengatakan bahwa sangat banyak pejabat publik yang kategori berusia muda saat ini sedang duduk di “kursi pesakitan” karena berurusan dengan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Angka pengguna narkoba, pelaku aborsi, geng motor dan tawuran, juga kebanyakan dari kaum muda. Kaum muda juga memberi sumbangsih angka yang tinggi dalam persentasi pengangguran di Indonesia. Asisten deputi bidang Kepeloporan Pemuda Kementerian Pemuda dan Olah Raga, mengatakan bahwa angka pengangguran pemuda terdidik mencapai 41,81 persen dari total angka penganguran nasional (Pemuda Indonesia Foundation). Oleh karena itu, penting dilakukan perbandingan untuk melihat potensi yang dimiliki oleh masing-masing (tua dan muda) sebagai modal dalam memasuki dunia kepemimpinan.
Dalam suatu perkuliahan pada mata kuliah Kepemimpinan Pendidikan, Prof. Suyata mencoba mengklasifikasi potensi yang dimiliki setiap orang dalam dunia kepemimpinan. Menurutnya, ada tiga potensi yang dimiliki oleh setiap orang untuk memimpin, yaitu hand, head, dan heart. Hand berarti tangan, yakni menunjuk pada otot atau kemampuan fisik. Bahwa setiap pemimpin harus mempunyai kesehatan, baik secara fisik maupun secara psikis. Head adalah kepala yang berarti merujuk pada kerja otak. Artinya, setiap pemimpin meniscayakan kemampuan intelektual dan rasionalitas yang tinggi melampaui atau minimal sama dengan orang-orang yang dipimpinnya. Sedangkan heart berarti hati, yang menunjukkan bahwa seorang pemimpin harus mempunyai kepekaan hati, ketulusan hati untuk memahami psikologi masyarakatnya. Pemimpin senantiasa berhubungan dengan kebijakan, dan sejatinya buah dari kebijakan itu adalah kebajikan dan kebijaksanaan. Jika kebijakan tidak berbuah kebajikan atau kebijaksanaan, maka bisa jadi kebijakan yang diambil tidak bersumber dari heart.
Klasifikasi Potensi Kepemimpinan
Membandingkan potensi hand, head, dan heart, baik pada kaum muda maupun yang tua dapat dilihat dalam bentuk piramida. Piramida pertama adalah klasifikasi potensi untuk kaum muda. Potensi yang paling dominan adalah hand atau tangan (40 %). Hal ini menunjukkan bahwa potensi fisik yang dimiliki oleh pemuda adalah hal yang tidak diragukan. Usia yang masih relatif muda, badan yang tegap dan berotot, optimisme yang tinggi, kemampuan kerja yang kuat, adalah beberapa indikator dari potensi tersebut. Diatas hand adalah head yang memiliki porsi lebih sedikit (30 %) dibanding dengan hand. Hal ini menggambarkan bahwa potensi intelektualitas kaum muda tidak bisa diragukan. Biasanya, kemampuan berpikir anak muda ditandai dengan rasionalitas yang tinggi, daya kritis yang tajam, sangat idealis, dan selalu kontekstual. Sedangkan pada level yang paling tinggi adalah heart atau hati, dan ini memiliki porsi yang lebih sedikit (20 %) di kalangan pemuda. Kaun muda terkadang dianggap emosional, tidak sabaran, kurang peka, dan pada situasi tertentu dianggap kurang memperhatikan aspek tata karma atau sopan santun.
Adapun piramida kedua menggambarkan situasi yang kontras dengan yang pertama. Pada piramida kedua nampak bahwa aspek dominan yang menjadi potensi dari kaum tua adalah heart atau hati (40 %). Orang dewasa senantiasa mengedepankan pertimbangan nurani dalam setiap pengambilan keputusan. Itulah sebabnya orang dewasa biasa dikenal sebagai sosok yang lebih bijaksana, sabar, teliti, dan penuh pertimbangan. Diatas heart adalah head (30 %). Kaum tua juga memiliki kemampuan intelektual yang bagus, hal ini semakin sempurna karena didukung oleh sejuta pengalaman. Sehingga cara berpikir orang dewasa adalah sedikit lebih moderat dan akomodatif. Sedangkan level yang paling tinggi adalah hand atau tangan. Menempati porsi yang lebih sedikit (20 %), mungkin karena usia sudah tidak muda lagi, dan fisik sudah tidak terlalu kuat lagi. Tetapi untuk aspek kepemimpinan, hal ini tidak menjadi soal, karena kerja kepemimpinan adalah pengambilan kebijakan (policy making) bukan melakukan pekerjaan. Lantas, siapa yang harus didahulukan?
Perspektif Psikoanalisa Gustav Jung
Nama lengkapnya adalah Carl Gustav Jung, biasa dipangil Jung. Pada mulanya, Jung adalah pengikut setia Freud (Sigmund Freud), seorang ahli psikologi seksual. Namun kemudian mempunyai beberapa pandangan penting yang berbeda. Pertama, Jung, menolak pandangan Freud mengenai pentingnya seksualitas. Menurutnya kebutuhan seks setara dengan kebutuhan manusia lainnya, seperti makan, kebutuhan spiritual dan pengalaman religius. Kedua, Jung menentang pandangan mekanistik terhadap dunia dari Freud; bagi Jung tingkahlaku manusia dipicu oleh bukan hanya masa lalu tetapi juga oleh pandangan orang mengenai masa depan, tujuan dan aspirasinya. Pandangan Jung bersifat purposive-mechanistic; event masa lalu dan antisipasi masa depan dapat mempengaruhi atau membentuk tingkahlaku (Alwisol, 2011; 39).
Jung mengatakan  bahwa ada empat tahap perkembangan kepribadian manusia, yaitu masa anak-anak (Childhood), masa pemuda, masa pertengahan, dan masa tua. Pada usia anak-anak, perkembangan dibagi menjadi tiga tahap, yakni tahap anarkis (anarchic), tahap monarkis (monarchic), dan tahap dualistik (dualistic). Tahap anarkis (0-6 tahun) ditandai dengan kesadaran yang kacau dan sporadis; tahap monarkis (6-8 tahun) ditandai dengan perkembangan ego dan mulainya pikiran verbal dan logika; sedangkan tahap dualistik (8-12 tahun) ditandai dengan pembagian ego menjadi dua yaitu objektif dan subjektif.
Perkembangan pada masa pemuda berlangsung mulai dari masa pubertas sampai usia pertengahan (13-35 tahun). Pada masa ini pemuda berjuang untuk mandiri secara fisik dan psikis dari orang tuanya; menemukan pasangan, membina rumah tangga dan mempunyai tempat tinggal. Tahap ini ditandai dengan meningkatknya kegiatan, kematangan seksual, tumbuh-kembangnya kesadaran dan pemahaman bahwa era bebas masalah dari masa anak-anak sudah hilang. Kesulitan utama yang dihadapi oleh pemuda adalah bagaimana melupakan hidup dengan kesadaran yang sempit pada masa anak. Kecenderungan untuk hidup seperti anak-anak dan menolak menghadapi masalah kekinian, disebut prinsip konservatif. Orang dewasa yang memakai nilai-nilai semasa anak-anak akan menghadapi kelumpuhan pribadi dan separuh kehidupannya yang akan datang mengalami hambatan usaha mencapai realisasi diri, tidak mampu menciptakan tujuan baru, dan tidak bisa mencari makna baru kehidupan. Tugas penting dari usia perkembangan tahap dua ini adalah menangani masalah yang datang dari luar. Orang harus mampu membuat keputusan, mengatasi hambatan, dan memperoleh kepuasan bagi dirinya sendiri dan bagi orang lain.
Perkembangan pada masa pertengahan dimulai antara usia 35-40 tahun. Puncak perkembangan sudah lewat, tetapi periode ini justru ditandai dengan aktualisasi potensi yang sangat bervariasi. Pada usia ini orang yang ingin tetap memakai nilai-nilai sosial dan moral usia pemuda, menjadi kaku dan fanatik dalam mempertahankan postur dan kelenturan fisiknya, mempertahankan tampang dan gaya hidup masa mudanya. Jung mengatakan bahwa tahap ini ditandai dengan munculnya kebutuhan nilai spiritual, kebutuhan yang selalu menjadi bagian dari jiwa namun di kesampingkan pada usia muda. Pada usia ini, orang sudah bisa menyesuaikan diri dengan lingkungannya, memiliki pekerjaan tetap, berkeluarga, dan ikut serta dalam kegiatan sosial. Usia pertengahan adalah adalah usia realisasi diri. Mereka ingin memahami makna kehidupan dirinya, ingin memahami kehidupan di  dalam diri mereka sendiri. Sedangkan usia tua kurang mendapat perhatian Jung. Menurutnya, usia tua mirip dengan usia anak-anak; pada kedua tahap itu fungsi jiwa sebagian besar bekerja secara tak sadar.
Jika kita merujuk pada Undang-Undang Kepemudaan nomor 40 tahun 2009 yang menegaskan bahwa batasan usia pemuda Indonesia adalah 15 sampai dengan 30 tahun, maka analisis perkembangan kepribadian Jung mengatakan bahwa potensi kepemimpinan pada usia tersebut masih mengkhawatirkan. Memang yang menjadi ciri khas pemuda adalah berjuang untuk mandiri secara fisik dan psikis, tetapi pada saat yang sama justru menerapkan pola hidup yang sangat konservatif. Justru yang lebih menjanjikan adalah potensi pada usia dewasa, karena usia tersebut ditandai dengan aktualisasi potensi yang sangat bervariasi. Sehingga sangat mungkin bahwa pada usia ini akan banyak keberhasilan dan prestasi yang dapat ditorehkan. Oleh karena itu, mendiskusikan potensi kepemimpinan akan sangat bijak jika tidak terjebak pada dikotomisasi tua dan muda, apakah lagi dibatasi oleh rentang usia. Membicarakan pemimpin berarti berdiskusi tentang kebaikan, kemajuan, pemberdayaan, dan pembangunan, baik secara mental maupun spiritual. Dengan demikian, potensi yang dimiliki berupa hand, head, and heart dapat dikombinasikan. Optimisme yang tinggi, kemampuan kerja yang kuat, berpikir kritis, gerak cepat, dan lincah dari yang muda, dapat dipadukan dengan kebijaksanaan, ketelitian, hati-hati, sabar, dan akomodatif dari yang tua. Tidak menjadi soal, apakah usia masih muda atau sudah tua, sepanjang potensi-potensi tersebut masih ada, why not. Wallahu a’lam bish-shawab.


Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Potensi Kepemimpinan Pemuda; Perspektif Psikoanalisa Gustav Jung"

Posting Komentar