Ilustrasi |
Kajian tentang kepemimpinan pemuda seolah seperti pakaian yang tidak
mengenal luntur, selalu hadir mengisi ruang-ruang diskusi dengan beragam topik
dalam kemasan yang sangat menarik. Tidak berhenti hanya sampai diskusi, lalu
dikembangkan dalam berbagai pelatihan. Menariknya adalah diskusi tentang
kepemimpinan pemuda selalu dimulai oleh kaum muda dan juga dihadiri oleh kaum
muda. Demikian halnya dengan pelatihan kepemimpinan pemuda, pelaksananya adalah
pemuda, pesertanya adalah pemuda dan juga nara sumbernya adalah pemuda. Bisa
jadi karena faktor politik, bahwa diskusi tentang kepemimpinan pemuda selalu
menghangat menjelang momentum-momentum politik semacam pilbup, pilgub, pilek
atau pilpres. Hal ini terkait dengan posisi pemuda yang menjadi basis pemilih
terbanyak. Data Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunjukkan bahwa jumlah pemilih
pemula Pemilu 2014 yang berusia 17 sampai 20 tahun sekitar 14 juta orang,
sedangkan yang berusia 20 sampai 30 tahun sekitar 45, 6 juta jiwa. Bahkan
diprediksi bahwa pada pemilu mendatang, jumlah pemuda yang mempunyai hak pilih
bisa mencapai 40 sampai 42 % (Pemilu.com). Mungkin juga karena faktor
psikologi, ada semacam kegalauan kaum muda mengenai masa depannya ditengah
tantangan hidup yang semakin kompleks, sehingga berdiskusi tentang kepemimpinan
paling tidak akan memberikan harapan-harapan baru yang menjadikannya lebih
optimis dalam menghadapi hidup. Atau bisa jadi karna faktor ketidak sabaran
kaum muda menunggu estafet kepemimpinan dari senior atau kaum tua. Kaum muda
menganggap diri memiliki spirit yang
kuat sehingga lebih layak diberi ruang dalam porsi kepemimpinan.
Membandingkan yang Muda dengan yang
Tua
Betul
bahwa Presiden Sukarno pernah berpidato, “beri aku 10 pemuda, niscaya akan
kuguncangkan dunia”. Tapi pidato tersebut boleh dikata sebagai bentuk agitasi
beliau untuk meyakinkan kaum tua mengenai kepemimpinannya. Pada saat itu,
Sukarno menjadi Presiden pada usia yang masih muda, yakni 39 tahun. Masih
banyak teman-temannya seperjuangan yang memiliki usia jauh diatas Sukarno. Apa
yang dikatakan oleh Sukarno dalam pidato tersebut adalah upaya meyakinkan semua
pihak terutama yang tua bahwa ia mempunyai modal dalam memimpin, yaitu usia
yang masih sangat muda. Tapi betulkah bahwa usia yang muda adalah potensi utama
dan kunci sukses dalam memimpin? Fakta mengatakan bahwa sangat banyak pejabat
publik yang kategori berusia muda saat ini sedang duduk di “kursi pesakitan”
karena berurusan dengan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Angka pengguna
narkoba, pelaku aborsi, geng motor dan tawuran, juga kebanyakan dari kaum muda.
Kaum muda juga memberi sumbangsih angka yang tinggi dalam persentasi
pengangguran di Indonesia. Asisten deputi bidang Kepeloporan Pemuda Kementerian
Pemuda dan Olah Raga, mengatakan bahwa angka pengangguran pemuda terdidik
mencapai 41,81 persen dari total angka penganguran nasional (Pemuda Indonesia
Foundation). Oleh karena itu, penting dilakukan perbandingan untuk melihat
potensi yang dimiliki oleh masing-masing (tua dan muda) sebagai modal dalam
memasuki dunia kepemimpinan.
Dalam suatu perkuliahan pada mata kuliah Kepemimpinan Pendidikan, Prof.
Suyata mencoba mengklasifikasi potensi yang dimiliki setiap orang dalam dunia
kepemimpinan. Menurutnya, ada tiga potensi yang dimiliki oleh setiap orang
untuk memimpin, yaitu hand, head, dan heart. Hand berarti
tangan, yakni menunjuk pada otot atau kemampuan fisik. Bahwa setiap pemimpin
harus mempunyai kesehatan, baik secara fisik maupun secara psikis. Head adalah kepala yang berarti merujuk
pada kerja otak. Artinya, setiap pemimpin meniscayakan kemampuan intelektual
dan rasionalitas yang tinggi melampaui atau minimal sama dengan orang-orang
yang dipimpinnya. Sedangkan heart
berarti hati, yang menunjukkan bahwa seorang pemimpin harus mempunyai kepekaan
hati, ketulusan hati untuk memahami psikologi masyarakatnya. Pemimpin
senantiasa berhubungan dengan kebijakan, dan sejatinya buah dari kebijakan itu
adalah kebajikan dan kebijaksanaan. Jika kebijakan tidak berbuah kebajikan atau
kebijaksanaan, maka bisa jadi kebijakan yang diambil tidak bersumber dari heart.
Membandingkan potensi hand, head, dan heart, baik pada kaum muda maupun yang tua dapat dilihat dalam bentuk piramida. Piramida pertama adalah klasifikasi potensi untuk kaum muda. Potensi yang
paling dominan adalah hand atau
tangan (40 %). Hal ini menunjukkan bahwa potensi fisik yang dimiliki oleh pemuda
adalah hal yang tidak diragukan. Usia yang masih relatif muda, badan yang tegap
dan berotot, optimisme yang tinggi, kemampuan kerja yang kuat, adalah beberapa
indikator dari potensi tersebut. Diatas hand
adalah head yang memiliki porsi lebih
sedikit (30 %) dibanding dengan hand. Hal
ini menggambarkan bahwa potensi intelektualitas kaum muda tidak bisa diragukan.
Biasanya, kemampuan berpikir anak muda ditandai dengan rasionalitas yang
tinggi, daya kritis yang tajam, sangat idealis, dan selalu kontekstual.
Sedangkan pada level yang paling tinggi adalah heart atau hati, dan ini memiliki porsi yang lebih sedikit (20 %) di
kalangan pemuda. Kaun muda terkadang dianggap emosional, tidak sabaran, kurang
peka, dan pada situasi tertentu dianggap kurang memperhatikan aspek tata karma
atau sopan santun.
Adapun piramida kedua menggambarkan situasi yang kontras dengan yang
pertama. Pada piramida kedua nampak bahwa aspek dominan yang menjadi potensi dari
kaum tua adalah heart atau hati (40 %).
Orang dewasa senantiasa mengedepankan pertimbangan nurani dalam setiap pengambilan
keputusan. Itulah sebabnya orang dewasa biasa dikenal sebagai sosok yang lebih bijaksana,
sabar, teliti, dan penuh pertimbangan. Diatas heart adalah head (30 %). Kaum
tua juga memiliki kemampuan intelektual yang bagus, hal ini semakin sempurna
karena didukung oleh sejuta pengalaman. Sehingga cara berpikir orang dewasa
adalah sedikit lebih moderat dan akomodatif. Sedangkan level yang paling tinggi
adalah hand atau tangan. Menempati
porsi yang lebih sedikit (20 %), mungkin karena usia sudah tidak muda lagi, dan fisik
sudah tidak terlalu kuat lagi. Tetapi untuk aspek kepemimpinan, hal ini tidak
menjadi soal, karena kerja kepemimpinan adalah pengambilan kebijakan (policy making) bukan melakukan
pekerjaan. Lantas, siapa yang harus didahulukan?
Perspektif Psikoanalisa Gustav Jung
Nama
lengkapnya adalah Carl Gustav Jung, biasa dipangil Jung. Pada mulanya, Jung
adalah pengikut setia Freud (Sigmund Freud), seorang ahli psikologi seksual.
Namun kemudian mempunyai beberapa pandangan penting yang berbeda. Pertama,
Jung, menolak pandangan Freud mengenai pentingnya seksualitas. Menurutnya
kebutuhan seks setara dengan kebutuhan manusia lainnya, seperti makan,
kebutuhan spiritual dan pengalaman religius. Kedua, Jung menentang pandangan
mekanistik terhadap dunia dari Freud; bagi Jung tingkahlaku manusia dipicu oleh
bukan hanya masa lalu tetapi juga oleh pandangan orang mengenai masa depan,
tujuan dan aspirasinya. Pandangan Jung bersifat purposive-mechanistic; event masa lalu dan antisipasi masa depan
dapat mempengaruhi atau membentuk tingkahlaku (Alwisol, 2011; 39).
Jung mengatakan bahwa ada empat
tahap perkembangan kepribadian manusia, yaitu masa anak-anak (Childhood), masa pemuda, masa
pertengahan, dan masa tua. Pada usia anak-anak, perkembangan dibagi menjadi
tiga tahap, yakni tahap anarkis (anarchic),
tahap monarkis (monarchic), dan tahap
dualistik (dualistic). Tahap anarkis
(0-6 tahun) ditandai dengan kesadaran yang kacau dan sporadis; tahap monarkis
(6-8 tahun) ditandai dengan perkembangan ego dan mulainya pikiran verbal dan
logika; sedangkan tahap dualistik (8-12 tahun) ditandai dengan pembagian ego
menjadi dua yaitu objektif dan subjektif.
Perkembangan pada masa pemuda berlangsung mulai dari masa pubertas sampai
usia pertengahan (13-35 tahun). Pada masa ini pemuda berjuang untuk mandiri
secara fisik dan psikis dari orang tuanya; menemukan pasangan, membina rumah
tangga dan mempunyai tempat tinggal. Tahap ini ditandai dengan meningkatknya
kegiatan, kematangan seksual, tumbuh-kembangnya kesadaran dan pemahaman bahwa
era bebas masalah dari masa anak-anak sudah hilang. Kesulitan utama yang
dihadapi oleh pemuda adalah bagaimana melupakan hidup dengan kesadaran yang
sempit pada masa anak. Kecenderungan untuk hidup seperti anak-anak dan menolak
menghadapi masalah kekinian, disebut prinsip konservatif. Orang dewasa yang
memakai nilai-nilai semasa anak-anak akan menghadapi kelumpuhan pribadi dan
separuh kehidupannya yang akan datang mengalami hambatan usaha mencapai
realisasi diri, tidak mampu menciptakan tujuan baru, dan tidak bisa mencari
makna baru kehidupan. Tugas penting dari usia perkembangan tahap dua ini adalah
menangani masalah yang datang dari luar. Orang harus mampu membuat keputusan,
mengatasi hambatan, dan memperoleh kepuasan bagi dirinya sendiri dan bagi orang
lain.
Perkembangan pada masa pertengahan dimulai antara usia 35-40 tahun.
Puncak perkembangan sudah lewat, tetapi periode ini justru ditandai dengan
aktualisasi potensi yang sangat bervariasi. Pada usia ini orang yang ingin
tetap memakai nilai-nilai sosial dan moral usia pemuda, menjadi kaku dan
fanatik dalam mempertahankan postur dan kelenturan fisiknya, mempertahankan
tampang dan gaya hidup masa mudanya. Jung mengatakan bahwa tahap ini ditandai
dengan munculnya kebutuhan nilai spiritual, kebutuhan yang selalu menjadi bagian
dari jiwa namun di kesampingkan pada usia muda. Pada usia ini, orang sudah bisa
menyesuaikan diri dengan lingkungannya, memiliki pekerjaan tetap, berkeluarga,
dan ikut serta dalam kegiatan sosial. Usia pertengahan adalah adalah usia
realisasi diri. Mereka ingin memahami makna kehidupan dirinya, ingin memahami
kehidupan di dalam diri mereka sendiri.
Sedangkan usia tua kurang mendapat perhatian Jung. Menurutnya, usia tua mirip
dengan usia anak-anak; pada kedua tahap itu fungsi jiwa sebagian besar bekerja secara
tak sadar.
Jika kita merujuk pada Undang-Undang Kepemudaan nomor 40 tahun 2009 yang menegaskan
bahwa batasan usia pemuda Indonesia adalah 15 sampai dengan 30 tahun, maka
analisis perkembangan kepribadian Jung mengatakan bahwa potensi kepemimpinan
pada usia tersebut masih mengkhawatirkan. Memang yang menjadi ciri khas pemuda
adalah berjuang untuk mandiri secara fisik dan psikis, tetapi pada saat yang
sama justru menerapkan pola hidup yang sangat konservatif. Justru yang lebih
menjanjikan adalah potensi pada usia dewasa, karena usia tersebut ditandai
dengan aktualisasi potensi yang sangat bervariasi. Sehingga sangat mungkin
bahwa pada usia ini akan banyak keberhasilan dan prestasi yang dapat
ditorehkan. Oleh karena itu, mendiskusikan potensi kepemimpinan akan sangat
bijak jika tidak terjebak pada dikotomisasi tua dan muda, apakah lagi dibatasi
oleh rentang usia. Membicarakan pemimpin berarti berdiskusi tentang kebaikan,
kemajuan, pemberdayaan, dan pembangunan, baik secara mental maupun spiritual.
Dengan demikian, potensi yang dimiliki berupa hand, head, and heart dapat dikombinasikan. Optimisme
yang tinggi, kemampuan kerja yang kuat, berpikir kritis, gerak cepat, dan
lincah dari yang muda, dapat dipadukan dengan kebijaksanaan, ketelitian,
hati-hati, sabar, dan akomodatif dari yang tua. Tidak menjadi soal, apakah usia
masih muda atau sudah tua, sepanjang potensi-potensi tersebut masih ada, why not. Wallahu a’lam bish-shawab.
Belum ada tanggapan untuk "Potensi Kepemimpinan Pemuda; Perspektif Psikoanalisa Gustav Jung"
Posting Komentar