Bambu kuning yang digantungi aneka makanan |
Berawal dari komentar salah seorang teman dari Liya di media sosial, yang
mengatakan bahwa tradisi heddasena
merupakan tradisi hindu, warisan ajaran hindu masa lampau yang masih terwariskan.
Dikatakan demikian, karena ajaran Islam tidak mengenal heddasena, tradisi tersebut tidak mempunyai dalil baik bersumber
dalam Al-Qur’an maupun dalam Al Hadits. Sontak komentar tersebut ditanggapi
oleh banyak pengguna media sosial (khususnya orang Liya) yang pada intinya
tidak setuju jika tradisi heddasena dikatakan
sebagai tradisi Hindu. Hipotesis saya tentang tradisi ini adalah, pertama; jika heddasena adalah tradisi Hindu, maka sudah tentu tradisi ini akan
kita temukan pada setiap masyarakat yang berkeyakinan hindu, terutama di Bali.
Faktanya, masyarakat Bali tidak melaksanakan tradisi heddasena. Kedua, jika heddasena adalah warisan Hindu masa
lampau di Liya, maka semestinya akan banyak benda-benda peninggalan pra-sejarah
maupun sejarah yang menjadi bukti pernah eksisnya ajaran tersebut di Liya.
Faktanya, kita tidak menemukan benda-benda peninggalan masa lampau yang
diyakini sebagai peninggalan Hindu. Salah satu bukti yang dapat kita anggap
sebagai jejak Majapahit di Liya adalah adanya pohon maja (orang Liya
menyebutnya; ‘Bhila). Tetapi perlu
kajian yang lebih serius untuk mengetahui apakah tumbuhnya pohon maja di Liya karena
ditanam oleh orang Hindu yang pernah menetap di Liya atau karena diambil oleh
para perantau dari Liya. Ketiga, heddasena adalah tradisi Wolio yang juga
diadopsi oleh masyarakat Liya. Hal ini sangat mungkin karena Wolio adalah pusat
kekuasaan Kerajaan Buton dimana semua sistem sosial, budaya, politik dan agama
yang berlaku di pusat kekuasaan juga berlaku pada seluruh wilayah kekuasaannya.
Mengenal Tradisi Heddasena
Masyarakat
Liya menganggap tradisi ini sebagai ritual ‘wajib’ bagi setiap perempuan yang
baru selesai melahirkan anak pertama. Untuk anak kedua dan seterusnya tidak
perlu lagi dilakukan. Ada sebuah keyakinan bahwa anak yang baru lahir akan
sering sakit, ibunya juga akan mudah kena sakit dan berbagai tantangan lainnya
jika belum dilakukan heddasena. Menurut
orang tua yang memimpin pelaksanaan ritual, asal kata heddasena adalah hedasa
yang berarti masa menyusui. Dikatakan demikian karena tradisi ini dilakukan
pada masa ketika ibu sedang menyusui anak pertama. Waktu ideal dilakukan adalah
satu minggu setelah melahirkan. Namun seringkali disesuaikan dengan kesiapan
dan kesanggupan yang punya hajatan. Dalam pelaksanaan kegiatan, semua yang
terlibat adalah perempuan.
Jalannya ritual dipimpin oleh seorang sando
wanita yang di dahului dengan menyiapkan alat ritus. Alat ritus pada upacara
ini diletakkan pada empat tempat yang berbeda, yaitu ruang keluarga, depan
pintu ruang muka (teras), depan teras dan halaman rumah. Alat ritus yang
diletakkan di depan pintu adalah janur, daun libo (mengkudu), daun delima yang telah ditumbuhi bunga dan daun
kapas. Selain itu juga berisi air yang diambil dari sebuah mata air (khusus).
Di depan teras juga diletakkan alat ritus yang terdiri dari delapan buah
jagung, buah pinang yang diletakkan di atas selembar daun pisang, selain itu
juga diletakkan rajutan bambu yang didesain
sebagai sebuah tangga kecil yang terdiri dari delapan buah anak tangga. Pada
bagian rumah paling depan atau halaman rumah, ditancapkan sebatang bambu kuning
lengkap dengan tangkainya. Pada tangkai bambu tersebut digantungkan berbagai
jenis makanan dan buah diantaranya ketupat, pisang, tebuh, kenari, dan
lain-lain. Masing-masing jenis makanan yang digantung berjumlah dua puluh satu.
Sementara didalam ruang keluarga juga telah tersedia sejumlah alat ritus, yaitu
haro’a yang terdiri dari satu piring
ketan hitam, dua buah ketupat segi enam dan dua buahnya lagi segi delapan,
kue-kue khusus, kelapa, jagung, dan kue-kue lainnya yang diletakkan pada
beberapa buah talam (Alifuddin, 2007; 269).
Miniatur tangga dengan anak tangga berjumlah delapan |
Setelah acara mandi, ibu kemudian dibawa ke kamar tempat dasa’a. Tahapan selanjutnya adalah
mengarak ibu untuk berkeliling rumah satu kali ditemani oleh empat orang
perempuan. Satu orang berada didepan sampil memikul janur yang telah
disimpankan berbagai alat ritus. Ibu yang berhajat mengikuti dari dibelakang
sampil berpegang pada janur, dua orang mengikuti di belakang dengan menutupi
wajahnya dengan sarung, sedangkan satu orang lagi ikut berkeliling sambil
memegang parang yang akan di tebaskan pada salah satu anak tangga ketika akan
memasuki kembali rumah. Pada saat berkeliling rumah, satu orang yang berada
paling depan akan berteriak, “walea-wale
nomongoto na kalara atu…”. Sedangkan masyarakat yang datang pada hajatan
akan meneriaki kelima orang ini ditelinganya masing-masing. Ketika sedang
berkeliling rumah, mereka akan singgah sebentar disamping rumah dimana sudah
disiapkan alat ritus berupa kelapa pada tempat khusus. Ditempat itu, ibu yang
baru melahirkan akan menghitung dua kali, hitungan pertama sebanyak delapan
kali dan hitungan kedua sebanyak sembilan kali sambil membaca wirid yang telah diajarkan oleh sando.
Setelah sampai diruang utama ibu yang berhajat kembali duduk diatas dasa’a, lalu disuapi makanan oleh sando. Makanan yang diberikan adalah
lima suap dari masing-masing lima piring makanan yang telah disiapkan
sebelumnya. Setelah makan, ibu lalu disuapi daun siri lalu dikunyak dan
dibuang, sebanyak lima kali. Terakhir adalah sando membacakan do’a untuk kebaikan ibu dan anak serta keluarga
yang berhajat. Setelah do’a dibacakan maka selesailah semua rangkaian ritual heddasena.
Menemukan Nilai-Nilai Islam
Apakah
semua peristiwa yang terjadi selama proses heddasena
berlangsung adalah ritual tanpa makna? Tentu saja tidak. Semua peristiwa budaya
seringkali menggambarkan siklus kehidupan. Upacara pernikahan, kelahiran, atau
kematian sekalipun adalah peristiwa yang sarat dengan makna, sarat dengan
nilai-nilai kearifan. Demikian halnya dengan tradisi heddasena, pemilihan buah kelapa, bunga delima, janur kuning,
hitungan delapan dan sembilan, lima piring hidangan, dan lain-lain bukanlah hal
yang kebetulan. Karena jika kebetulan, dapat saja kelapa diganti dengan apel,
jagung diganti dengan anggur, tikar dari janur diganti dengan karpet mahal, dan
bunga delima diganti dengan bunga mawar. Begitupula hitungan delapan dan
sembilan diganti saja dengan hitungan sepuluh dan tujuh atau dua belas dengan
lima, toh totalnya tetap tujuh belas, sedangkan hidangan yang lima diganti
menjadi dua atau tiga. Tetapi, karena semua pilihan-pilihan itu mempunyai
makna, maka jadilah sebagai sesuatu yang wajib dan tidak bisa digantikan dengan
yang lainnya. Apa makna dari pilihan-pilihan itu?
Tempat menghitung 8 dan 9 kali. |
Mengelilingi rumah |
Inilah nilai-nilai Islam yang dapat kita temukan dalam tradisi heddasena. Tentu, masih perlu kajian
yang mendalam. Masih ada dua hitungan yang masih belum mau dijelaskan, yaitu
hitungan dua puluh satu (21) untuk jumlah makanan yang digantungkan pada bambu
kuning, serta hitungan empat (4) untuk jumlah daun siri yang digulung lalu
disimpan dipelipis ibu yang heddasena.
Untuk hitungan dua puluh satu saya tidak menemukan gambaran sedikitpun,
sedangkan hitungan empat (dua di kiri dan dua di kanan) dapat dispekulasikan
dengan empat barata dalam sistem kekuasaan kesultanan Buton, atau empat penjuru
mata angin. Tetapi, sekali lagi ini adalah spekulasi. Untuk lebih jelasnya,
tentu membutuhkan kajian yang lebih intens dan menyeluruh sehingga ditemukan
penjelasan yang lebih komprehensif. Wallahu
a’lam bish-shawab
Casino Game For Sale by Hoyle - Filmfile Europe
BalasHapus› casino-games › casino-games 실시간 라이브 스코어 › casino-games › casino-games Casino Game bestest air jordan 18 retro men blue for jordan 18 white royal blue clearance sale by show air jordan 18 retro yellow suede Hoyle on Filmfile real air jordan 18 retro yellow Europe. Free shipping for most countries, no download required. Check the deals we have.