Ilustrasi |
Wakatobi kembali berulang tahun, sejumlah pagelaran budaya ditampilkan
guna menyemarakan hari jadinya yang kini telah memasuki usia ke-13. Ada atraksi
kansodha’a (Tandu tempat memikul anak
gadis), Lengko, Kabuenga, Honari Mosega
dan Tamburu, tarian tradisional,
musik tradisional, kuliner tradisional, dan lain sebagainya. Hajatan ini
semakin meriah karena setting acara dirangkaikan
dengan pembukaan Wakatobi Wonderful and
Expo (Wave) 2016. Tema yang diusung pada milad kali ini adalah Gana
Pulo Salaro (empat pulau satu hati). Secara eksplisit, tema menggambarkan kondisi demografis Kabupaten Wakatobi
yang terdiri dari empat pulau utama, tetapi secara implisit menggambarkan harapan penyatuan komitmen bersama dari
seluruh masyarakat untuk terus saling membahu, memupuk semangat persaudaraan
demi terwujudnya pembangunan.
Masyarakat Wakatobi memang patut berbangga, bahwa dalam perjalanannya
yang masih terbilang singkat, Wakatobi telah menunjukkan kemajuan yang sangat
berarti dan ini sangat diapresiasi oleh banyak kalangan. Hal ini dapat dilihat
dari sejumlah penghargaan yang telah diterima oleh pemerintah daerah, baik dari
organisasi pemerintah maupun organisasi non pemerintah. Namun demikian,
pemerintah daerah dan masyarakat tidak boleh cepat merasa puas, karena Wakatobi
tidak hanya dibangun untuk hari ini, tapi juga untuk hari esok. Sementara,
tantangan masa kini dan tantangan di masa depan akan selalu hadir membendung
laju kemajuannya. Pada konteks inilah pentingnya menatap Wakatobi, baik pada
konteks masa lalu, masa kini, maupun masa mendatang.
Wakatobi di Masa Dulu
Dalam perspektif masa lalu (historis), Wakatobi yang kita kenal saat
ini dapat kita ketahui melalui tiga istilah. Pertama, liwuto pasi yang
artinya pulau karang. Istilah ini digunakan pada masa kesultanan Buton untuk
menyebut empat pulau yang berjejer membentang di bagian timur pulau Buton. Pada
awalnya disebut dengan Liwuto Patanguuna
(Bahasa Wolio) atau pulau empat, kemudian dipopulerkan dengan liwuto pasi (Hamid, AR; 2015). Kedua, Barata Kaledupa. Dalam Bahasa Wolio, istilah barata berarti pengikat atau ikatan pada
perahu yang bercadik ganda. Ikatan yang mempertemukan antara cadik perahu
dengan badan perahu disebut barata.
Penggunaan istilah barata terkait
dengan sistem pertahanan Kesultanan Buton yang diibaratkan dengan perahu
bercadik. Barata Kaledupa dan barata Kulisusu adalah penyeimbang atau
sistem pertahanan pada bagian timur, sedangkan barata Tiworo dan Muna adalah sistem pertahanan yang menjaga
keseimbangan Kesultanan Buton pada bagian barat. Hal ini sangat terkait dengan
posisi Buton yang tidak pernah luput dari pengaruh Kesultanan Ternate dari arah
timur dan pengaruh Kesultanan Gowa diarah barat. Mengenai hal ini, Suzanto
Zuhdi (2010) menyebut posisi Gowa terhadap Buton berada di arah haluan (rope), sedangkan posisi Ternate berada
di arah buritan (wana). Disebut barata Kaledupa, karena pusat
pemerintahan berada di kaledupa yang wilayahnya mencakup pulau Tomia, Binongko,
Wangi-Wangi.
Ketiga, Kepulauan Tukang Besi. Istilah
ini digunakan pada masa penjajahan Belanda. Penamaan tukang besi
berkaitan dengan tradisi pandai besi masyarakatnya sejak dahulu yang diturunkan
secara turun temurun hingga kini. Dalam suatu kunjungan, seorang berkebangsaan
Belanda bernama Hoger di Pulau Binongko, menyaksikan masyarakatnya pandai
membuat alat-alat dari besi. Sepanjang perjalanannya dipulau itu, Hoger
mendengar bunyi-bunyi patukan besi oleh pandai besi yang sedang mengolah besi
menjadi beragam alat kebutuhan sehari-hari, utamanya parang dan pisau dalam
berbagai ragam dan rias serta ukuran. Seakan ada pertunjukan yang sedang
berlangsung. Suasana seperti itu berlangsung hampir sepanjang hari, pagi hingga
sore, dan bahkan ada pula yang melakukan aktivitas itu hingga malam hari. Atas
dasar itulah, daerah yang dikunjungi Hoger ini diberi nama Toekang Besi
Eilanden. Fakta lain dapat pula dijumpai dalam sebuah peta yang dibuat pada
paruh kedua abad ke-19 oleh Ligvoet yang dimuat dalam Beschrijving en
Geschiedenis van Boeton, gugusan pulau-pulau ini dinamakan Toekang Besi
Eilanden.
Nampaknya,
penggunaan tiga term dalam penamaan Wakatobi pada masa lampau, lebih
disebabkan oleh faktor letak geografisnya, peran yang dimainkan pada masa
kesultanan, dan skill yang dimiliki oleh penduduknya. Faktor geografis
misalnya dapat kita lihat pada penggunaan istilah Liwuto pasi, faktor
peran nampak pada posisinya sebagai penanggung jawab keamanan laut pada wilayah
bagian timur kesultanan, sedangkan faktor skill terkait dengan kemahiran
masyarakatnya (terutama di Binongko) dalam mengolah bahan baku besi menjadi
berbagai peralatan yang dibutuhkan dalam masyarakat. Dengan demikian, term
Wakatobi pada masa lampau lebih ‘dibentuk’ oleh masyarakat luar (the
outsider), bukan oleh masyarakat Wakatobi sendiri (the insiders).
Wakatobi di Masa Kini
Pada masa kini, gugusan
pulau-pulau karang yang semula di istilahkan dengan liwuto pasi ini, sudah lebih familiar dengan istilah Wakatobi. Penamaan
ini terutama ketika menjadi otonomi (mekar) dari induknya Kabupaten Buton.
Istilah Wakatobi sendiri merupakan singkatan nama dari empat pulau utama,
yaitu; Wangi-wangi (Wa), Kaledupa (Ka), Tomia (To), dan Binongko (Bi).
Penggabungan dari empat singkatan nama masing-masing pulau tersebut membentuk
kata Wakatobi. Semula, kurang begitu dikenal. Hal ini disebabkan oleh karena, selama
ratusan tahun lamanya berada dibawah bayang-bayang kebesaran Kesultanan Buton,
dan selama puluhan tahun berada dibawah kebesaran nama Kabupaten Buton.
Kini, Wakatobi semakin
tersohor, dan rasanya sulit untuk membantah fakta ini. Pada suatu waktu, saya
menapaki lorong-lorong di ‘karang malang’ mencari tempat foto copy murah untuk
mencetak ulang beberapa buku tentang Wakatobi. Ketika saya akan mengambil
kembali buku tersebut, tiba-tiba personil percetakan menanyakan akses jika
ingin ke Wakatobi; ketika saya memasuki beberapa sekolah dalam wilayah Kota
Yogyakarta, lalu memperkenalkan diri sebagai orang Buton, sebagian mengenal dan
menghubungkannya dengan aspal, sebagian juga masih bingung mendengar nama yang
saya sebutkan. Tetapi ketika menyebut bahwa sebenarnya berasal dari Wakatobi,
maka semua secara serentak berkata, “oooooh Wakatobi, pengen loh kita kesana”. Demikian
halnya ketika melakukan presentasi pada forum ilmiah lalu memperkenalkan diri sebagai
orang Wakatobi, tidak segan-segan diantara peserta ada yang bercanda, “ajak
kita dong kesana” atau “minta nomor kontaknya dong, tau aja kita kesana”. Ini
hanyalah beberapa contoh dari sekian banyak kasus yang semakin meneguhkan
keyakinan bahwa “Wakatobi semakin dikenal”. Bedanya dengan masa lalu adalah
konstruksi Wakatobi dibangun oleh orang Wakatobi sendiri, bukan orang luar
Wakatobi. Lalu siapa yang mempunyai andil dalam mempopulerkan Wakatobi? Pertama, adalah pemerintah daerah.
Melalui terobosan-terobosan dan kebijakan-kebijakan pemerintah daerah, semua
potensi yang dimiliki di eksplorasi dan di diseminasikan melalui berbagai
saluran untuk kenal oleh masyarakat luas. Label ‘pulau karang’ yang memunculkan
kesan terisolir, sangar, dan berbahaya diganti dengan konsep ‘the real underwater paradise’, sehingga
kesan yang muncul kemudian adalah keindahan panorama alamnya; begitu pula dimunculkan
istilah baru ‘Wakatobi wonderful’
sehingga menciptakan makna ‘sangat bagus, eksotis, penuh pesona’. Setelah semua
potensi di eksplorasi dan di diseminasikan, lalu dibuatkan akses, sehingga
masyarakat (wisatawan lokal dan mancanegara) tidak kesulitan berwisata ke
Wakatobi. Kedua adalah masyarakat.
Melalui peran-peran kulturalnya, membuat para pelancong semakin betah dan
nyaman di Wakatobi. Segala kuliner tradisional khas Wakatobi terus diproduksi,
alunan musik tradisional terus di dendangkan, pakaian tradisional diperagakan,
tarian khas daerah dipentaskan, tempat-tempat wisata alam dan budaya
dilestarikan. Pada akhirnya semua peran tersebut semakin meneguhkanWakatobi
sebagai tempat yang ‘wonderful’,
tempat yang layak dikunjungi.
Wakatobi di
Masa Esok
Bagaimana
wajah Wakatobi dimana yang akan datang? Tentu ini adalah pertanyaan spekulatif
karena kita tidak tahu peristiwa apa atau tantangan apa yang akan dihadapi
kedepan. Tetapi, memperhatikan visi kepemimpinan baru saat ini, yakni
menjadikan Wakatobi sebagai daerah yang unggul dalam aspek ke-maritim-an,
berarti Wakatobi ke depan adalah
‘Kabupaten Maritim’. Tentang apakah ini akan terealisasi secara maksimal
atau tidak, semuanya sangat tergantung pada kinerja pemerintahan daerah saat
ini.
Alfred
Thayer Mahan (1890), merumuskan enam elemen pendukung suatu negara dapat
berkembang menjadi negara maritim. Enam elemen tersebut dibagi menjadi dua
bagian. Tiga elemen pertama berkaitan dengan kondisi alam, yakni; (1) posisi
geografi, (2) kondisi wilayah, serta (3) luas wilayah teritorial. Sedangkan
tiga elemen lainnya menyangkut penduduk, yaitu; (1) jumlah penduduk; (2)
karakter/kebijakan nasional; dan (3) kebijakan pemerintah. Selanjutnya
dikatakan bahwa ada dua kekuatan laut untuk membangun sebuah negara maritim,
dengan daya jangkau wilayah operasi yang berbeda, namun tujuannya sama untuk
mengamankan kepentingan ekonomi negara maritim. Kekuatan laut yang dimaksud
adalah naval power dan sea power. Naval Power adalah armada laut kerajaan/negara yang dioperasikan di
kawasan laut dalam batas wilayah teritorial suatu negara; sedangkan Sea Power ialah bentuk penguasaan
wilayah laut dengan menggunakan armada laut yang tangguh, yang dipertuntukkan
pada kawasan laut yang strategis, terutama untuk menjamin kelancaran pelayaran
dan perdagangan luar negeri (Hamid, AR, 2015, 23-27).
Jika kita
bawa teori Mahan dalam konteks perwujudan Wakatobi sebagai kabupaten maritim,
maka enam elemen sebagaimana yang disyaratkan telah dipenuhi. Posisi geografis
Wakatobi yang berada pada silang perdagangan nusantara, kondisi wilayahnya yang
sebagian besar adalah lautan yang kemudian berpengaruh pada luas wilayah
teritorialnya merupakan potensi utama yang dimiliki oleh Wakatobi. Demikian
halnya dengan penduduk yang sebagian besar mengorientasikan hidupnya pada
sektor pelayaran dan perdagangan maritim. Elemen yang perlu dimaksimalkan saat
ini adalah kebijakan pemerintah daerah bagaimana menumbuhkan industri yang
berkaitan dengan kebutuhan dan produksi barang untuk menjamin keberlangsungan perdagangan
maritim. Demikian pula kebijakan pada sektor kelautan dan perikanan masih banyak yang perlu
perhatian, seperti wilayah penangkapan dan pengelolaan hasil laut, pemberdayaan
nelayan, perikanan budidaya, pembangunan TPI, dan lain sebagainya. Sedangkan
pada aspek transportasi laut, pembenahan dan pengelolan pelabuhan, serta pengaturan
rute pelayaran juga sangat mendesak untuk dibenahi. Jika elemen-elemen tersebut
dapat dimaksimalkan, maka tidak mustahil bahwa dalam jangka waktu lima tahun
kedepan “buah” dari Kabupten Maritim akan dapat di nikmati oleh seluruh
masyarakat Wakatobi.
Bagaimana
dengan pariwisata, akankah potensi ini tereduksi oleh hadirnya kabupaten
maritim? Nampaknya, pemerintahan Wakatobi saat ini menempatkan pengelolaan
pariwisata sebagai bagian dari aspek kemaritiman. Sehingga pengelolaannya akan
berjalan berbarengan dengan aspek-aspek kemaritiman lainnya. Akhirnya, saya
mengucapkan selamat ulang tahun Wakatobi yang ke-13. Teruslah bersinar menuju
Kabupaten Maritim. Wallahu a’lam
bish-shawab.
Belum ada tanggapan untuk "Menatap Wakatobi; Dulu, Kini, dan Esok (Refleksi Hari Ulang Tahun yang ke-13)"
Posting Komentar