Wacana reshuffle
kabinet jilid 2 kembali mengemuka. Isu ini pertama kali menguat seiring dengan
hadirnya Mantan Menteri Perdagangan, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM)
era SBY (Muh. Lutfi) dan Bos Medco Group (Arifin Panigoro) bertemu Presiden
Jokowi di Istana Negara (solopos.com/2016/03/28). Hal ini kemudian diperkuat
dengan dipanggilnya beberapa figur potensial ke Istana Kepresidenan yang
disinyalir memiliki relevansi yang kuat
dengan rencana reshuffle kabinet. Dalam sistem pemerintahan yang menganut
presidensial seperti Indonesia, reshuffle kabinet menjadi hal yang niscaya dan
menjadi hak prerogatif Presiden. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen
IV pasal 17 ayat (2), dikatakan bahwa: “menteri-menteri diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden”. Hal ini menegaskan bahwa dalam hal pengisian dan pergantian
posisi menteri, Presiden berkewenangan penuh tanpa intervensi dari pihak
manapun. Tetapi sistem pemerintahan yang dianut oleh Indonesia
belum sepenuhnya presidensial, peran parlemen dalam memberikan kontrol terhadap kinerja
Presiden juga masih sangat dominan (parlementer), sehingga mempertimbangkan
posisi partai politik dalam reshuffle menjadi penting karena terkait dengan
peran kader-kader partai yang berada di legislatif yang akan selalu memberikan
kontrol atas segala kebijakan dan kinerja Presiden. Dengan demikian, wacana
reshuffle kabinet dapat dilihat pada tiga motif.
Pertama, peningkatan kinerja. Semenjak
masa awal pemerintahan, ekspektasi masyarakat terhadap kinerja Jokowi sangat
tinggi. Sosoknya yang sangat santun, apa adanya, sangat memasyarakat, dan gaya
blusukan yang masih melekat menjadikan masyarakat sangat yakin dengan apa yang
akan diperbuat oleh Jokowi. Tetapi, memasuki tahun ketiga masa pemerintahan,
ternyata ekspektasi masyarakat belum dapat dijawab sepenuhnya. Bahkan pada
aspek-aspek tertentu, Presiden Jokowi dianggap telah lupa dengan
“janji-janjinya”. Dalam posisi seperti ini, peningkatan kinerja kabinet menjadi
niscaya. Tetapi, tidak hanya bergantung pada Jokowi sepenuhnya, faktor kinerja menteri-menteri
yang menjadi pembantunya sangat urgen. Maksimal atau tidaknya kinerja kabinet,
terjawab atau tidak harapan masyarakat sangat tergantung pada kinerja menteri.
Tetapi memasuki tahun ketiga justru sorotan publik atas tidak maksimalnya kinerja
kabinet masih berlanjut. Ada beberapa menteri yang kinerjanya justru jauh dari
harapan masyarakat. Nampaknya, inilah motif pertama reshuffle, mengganti
menteri yang kerjanya dianggap “bermasalah” dengan figur baru, tentu harapannya
adalah peningkatan kinerja.
Kedua,
harmonisasi Kabinet. Secara internal, dilema yang diperhadapkan pada Presiden
pasca pelantikan adalah tidak harmonisnya kabinet. Ada perbedaan sudut pandang
dalam melihat persoalan antara satu menteri dengan yang lainnya. Ironisnya,
perbedaan yang terjadi tidak hanya dalam rapat internal kabinet, tetapi juga
menyeruak ke publik. Akibatnya adalah muncul aroma ketidakkompakkan para
menteri dalam kabinet. Direktur Eksekutif Indo Barometer M. Qodari berpendapat,
bahwa kegaduhan antar menteri di kabinet bisa membuka jalan Presiden Joko
Widodo untuk merombak susunan Kabinet Kerja dimasa mendatang (CNN Indonesia,
05/03/2016). Terakhir adalah perbedaan sudut pandang antara Menko Maritim
(Rizal Ramli) dan Menteri ESDM (Sudirman Said) dalam penentuan skema
pengelolaan eksplorasi gas di Blok Masela di Maluku Selatan. Sudirman Said
mengajukan skema pengelolaan lepas pantai atau offshore sedangkan Rizal Ramli mengajukan skema pengelolaan di
darat atau onshore. Meskipun
perdebatan tersebut telah usai, dan skema yang diajukan oleh Rizal Ramli (Menko
Maritim) yang disetujui, tetapi perdebatan tersebut telah menjadi konsumsi
publik. Sehingga menampakkan adanya disharmoni dalam kabinet, oleh karena itu
perlu adanya upaya harmonisasi. Inilah motif kedua dari rencana reshuffle.
Ketiga,
akomodasi Partai. Semula, posisi Presiden Jokowi dalam pemerintahan nampak
tidak begitu kuat. Mengapa? Jokowi adalah Presiden yang berasal dari
PDI-Perjuangan, tetapi tidak memiliki posisi sentral. Posisinya dalam partai
tidak lebih sekedar “petugas partai”. Karena posisinya yang tidak sentral maka
Jokowi dianggap lemah dalam menentukan kebijakan. Dalam setiap kebijakannya
seringkali dianggap oleh publik tidak bisa melepaskan diri dari bayang-bayang
Megawati (Ketum PDI-P) dan Surya Paloh (Ketum Nasdem). Tetapi, setelah beberapa
partai oposisi (seperti; Golkar dan PAN, serta PPP pasca Muktamar Surabaya)
menyatakan tertarik untuk bergabung dalam koalisi yang mendukung pemerintahan,
nampaknya situasi ini menjadi angin segar buat Jokowi. Semakin bertambahnya
“kekuatan” partai koalisi yang pendukung pemerintahan menjadi penanda
berkurangnya “kekuatan” koalisi partai oposisi. Situasi ini menjadi momentum
bagi Jokowi untuk melepaskan diri dari bayang-bayang “petugas partai”. Tetapi
tentu harganya mahal, karena bergabungnya beberapa partai ke dalam koalisi
pro-pemerintahan bisa jadi menginginkan jatah kursi menteri sebagai kompensasi.
Pada konteks ini, Presiden dituntut untuk melakukan reshuffle kabinet guna
mengakomodasi kader atau figur yang diajukan partai yang akan bergabung dalam
koalisi pro-pemerintah.
Tentu,
Presiden harus lebih hati-hati. Pada satu sisi, bergabungnya partai oposisi
kedalam koalisi pro pemerintah dapat menjadi ruang munculnya partai oposisi
yang baru, jika salah mengelola. Pada sisi yang lain, akan menjadikan koalisi
pro-pemerintah semakin gemuk, sehingga berpotensi menjadikan kabinet sebagai
ajang perebutan posisi menteri untuk menjadi representasi masing-masing parpol.
Oleh karena itu, dibutuhkan komunikasi yang handal dalam membangun konsensus
guna terbangun koalisi yang gemuk tetapi solid, bukan koalisi yang gemuk tetapi
rapuh. Disamping itu, dibutuhkan ketegasan dari Presiden dalam menentukan
sikap, sehingga tidak tersandera oleh wacana reshuffle kabinet. Wallahu a’lam bish-shawab.
Postingan terkait:
Belum ada tanggapan untuk "Tiga Motif Reshuffle Kabinet"
Posting Komentar