Ilustrasi |
Pilkada DKI Jakarta boleh dikata sebagai yang paling menarik diantara
sekian banyak daerah yang melaksanakan pilkada. Keterlibatan tokoh nasional,
publikasi media sosial, cetak dan elektronik, peran serta lembaga survei, serta
statusnya sebagai ibukota negara adalah diantara beberapa faktor yang
menjadikannya begitu menjadi sorotan. Dibelakang pasangan Agus Harimurti
Yudhoyono-Sylviana Murni ada SBY, dibelakang pasangan Basuki Tjahaja
Purnama-Djarot Saiful Hidayat ada Megawati, dan dibelakang pasangan Anies
Baswedan-Sandiaga Uno ada Prabowo Subianto. Maka tidak salah jika banyak yang
mengatakan bahwa Pilkada DKI Jakarta adalah pilkada ‘rasa’ pilpres.
Kini tahapan pemungutan suara sudah usai, dan gambaran awal perolehan
suara masing-masing pasangan calon sudah dapat kita ketahui melalui hitung
cepat (Quick Count) lembaga survei. Beberapa
lembaga survei, seperti PolMark Indonesia, SMRC, Poltracking, LSI, Charta
Politika, Kompas, dan lain-lain menempatkan pasangan nomor urut 2 (Ahok-Djarot)
dengan perolehan suara terbanyak, pasangan nomor urut 3 (Anies-Sandiaga) dengan
perolehan suara terbanyak kedua, sedangkan pasangan nomor urut 1 (AHY-Sylvi)
dengan perolehan suara terendah. Tentu, hitungan-hitungan tersebut sifatnya sementara,
karena perolehan suara sebenarnya masih harus menunggu pleno penetapan dari lembaga
berwenang yaitu KPU. Tetapi dengan margin
of error 1% maka perolehan suara terbanyak pertama, kedua, dan ketiga
nampaknya sudah tidak akan bergeser, dan dapat dikatakan bahwa Pilkada DKI
belum usai. Pilkada masih harus dilanjutkan pada putaran kedua untuk menentukan
siapa pemenang, siapa pasangan yang dapat memperoleh suara minimal 50% + 1.
Dalam Undang-undang nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi
Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia,
dikatakan bahwa Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dipimpin oleh satu orang
Gubernur dan dibantu oleh satu orang Wakil Gubernur yang dipilih secara
langsung melalui pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pasal
10). Selanjutnya pada pasal 11 dijelaskan
bahwa; (1) Pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang memperoleh
suara lebih dari 50% (lima puluh persen) ditetapkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih.
(2) dalam hal tidak ada calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang memperoleh suara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diadakan pemilihan Gubernur dan Wakil
Gubernur putaran kedua yang diikuti oleh pasangan calon yang memperoleh suara
terbanyak pertama dan kedua pada putaran pertama. Dengan demikian, pasangan
calon yang berhak ikut serta dalam kontestasi putaran kedua adalah pasangan
Ahok-Djarot dan pasangan Anies-Sandiaga. Adapun pasangan AHY-Sylviana yang
memperoleh suara paling rendah, terelimininasi dengan sendirinya. Tetapi,
partai politik pengusung AHY-Sylviana masih memungkinkan untuk terlibat pada
putaran kedua, dengan cara membangun koalisi atau mengalihkan dukungan kepada
pasangan yang lolos pada putaran kedua. Pada konteks ini, pilkada DKI menjadi
semakin menarik. Kemana arah koalisi parpol memasuki putaran kedua? Akankah
Demokrat, PAN, PBK, dan PPP mengalihkan dukungan kepada pasangan yang diusung
oleh PDI-P, atau justru melabuhkan dukungan pada pasangan yang diusung oleh
Gerindra-PKS? Nampaknya akan ada tiga skenario koalisi yang akan terbangun.
Pertama, koalisi pemerintah vs
oposisi. Koalisi ini besar kemungkinan akan terwujud jika Jokowi mengambil
peran aktif terutama meyakinkan beberapa partai pendukung pasangan AHY-Sylviana
yang mempunyai representasi dalam Pemerintahan Jokowi saat ini. Dari empat
parpol pendukung AHY-Sylviana, ada PAN, PKB, dan PPP yang saat ini mempunyai
menteri dalam Kabinet Kerja Jokowi. Sedangkan Demokrat bisa saja mengalah untuk
masuk dalam koalisi pro Ahok sepanjang mendapatkan tawaran posisi strategis
bagi kader demokrat dalam kabinet pemerintahan Jokowi sekaligus menjadi
momentum memperbaiki kembali hubungan Presiden (Jokowi) dengan mantan Presiden
(SBY) yang akhir-akhir ini dipersepsikan kurang harmonis. Jika hal ini dapat
terealisasikan, maka pada akhirnya pasangan Ahok-Djarot akan mendapatkan
dukungan delapan parpol, yaitu PDI-P, Golkar, Nasdem, Hanura, PAN, PPP, PKB,
dan Demokrat. Sedangkan pasangan Anies-Sandiaga tetap hanya mendapatkan dukungan
dari Gerindra dan PKS, dua partai yang saat ini masih konsisten menjadi oposisi
pemerintah. Apakah besarnya dukungan partai berparalel dengan peluang Ahok
memenangkan pilkada DKI? Belum ada jaminan. Sejarah membuktikan bahwa pada
pilkada DKI 2012, Foke didukung oleh banyak parpol, tetapi kalah dengan Jokowi
yang hanya didukung oleh Gerindra dan PDI-P.
Kedua, koalisi nasionalis vs
agamis. Koalisi ini akan terbangun karena adanya kesamaan ideologi partai.
Secara umum, dari sebelas partai peserta pemilu, hanya ada dua partai yang
berasaskan Islam yaitu PKS dan PPP, sedangkan sembilan partai lainnya
berasaskan Pancasila. Namun, jika PKB yang berbasiskan massa warga Nahdiyin dan
PAN yang mempunyai kedekatan historis dengan Muhammadiyah, kita kategorikan
sebagai partai yang berbasis Agama, maka jumlahnya menjadi empat. Dengan
demikian, kemungkinan koalisi yang akan terbangun adalah PDI-P, Golkar, Nasdem,
Hanura dan Demokrat akan menjadi kekuatan pendukung Ahok-Djarot. Sedangkan
Gerindra dan PKS yang telah lebih dulu mendukung pasangan Anies-Sandiaga akan
mendapat dukungan tambahan dari PAN, PPP, dan PKB. Apakah isu agama masih relevan
menjadi kekuatan pengikat koalisi pada pilkada DKI? Sebagian pengamat
mengatakan bahwa isu agama sudah tidak relevan dikapitalisasi untuk
meningkatkan elektabilitas calon. Namun perlu diingat bahwa dalam sejarah
pemilu legislatif, partai politik yang berbasis agama seperti Masyumi, PPP, dan
PKS pernah menjadi pemenang di DKI Jakarta.
Ketiga, koalisi pro-pembaruan vs
pro-kemapanan. Koalisi ini akan terbangun karena adanya kesamaan pandangan
bahwa Jakarta membutuhkan kepemimpinan baru. Keinginan untuk menghadirkan
kepemimpinan baru menjadi dasar terbangunnya koalisi Demokrat, PPP, PAN, dan
PKB untuk mengusung AHY. Demikian pula koalisi Gerindra dan PKS juga karena
spirit kepemimpinan baru. Terpentalnya AHY pada putaran pertama dapat menjadi
ruang terbangunnya kembali koalisi antara Gerindra-PKS dengan
Demokrat-PPP-PAN-PKB sebagaimana yang pernah digagas sebelumnya tetapi gagal.
Jika koalisi ini dapat terwujud, maka pada akhirnya koalisi parpol pendukung
Ahok tidak berubah, yaitu PDI-P, Golkar, Nasdem, dan Hanura. Karena keempat
parpol ini mendukung petahana, maka dapatlah di istilahkan dengan koalisi
pro-kemapanan. Sedangkan koalisi yang menginginkan kepemimpinan baru yang
kemudian disebut dengan koalisi pro-pembaruan terdiri dari enam parpol, yaitu;
Gerindra, PKS, Demokrat, PAN, PPP, dan PKB. Namun demikian, mewujudkan koalisi
ini membutuhkan kerja ekstra. Butuh komunikasi tingkat tinggi untuk meyakinkan
elit Demokrat dan PAN dapat bergabung dalam koalisi pendukung Anies. Pernyataan-pernyataan
Ahok yang banyak melukai hati kaum muslimin, bisa menjadi alasan bagi PPP
bergabung dalam koalisi, tetapi justru rentan bagi PKB. PKB adalah partai yang
paling getol mengusung isu-isu toleransi, sehingga ketika isu agama
dikembangkan bisa menjadikannya antipasti dan keluar bergabung dengan koalisi
pro-kemapanan. Endingnya adalah 5 vs
5, lima partai membangun koalisi (Gerindra-PKS-Demokrat-PAN-PPP) untuk
mendukung Anies-Sandiaga, dan lima lagi membentuk koalisi
(PDI-P-Golkar-Nasdem-Hanura-PKB) untuk mendukung Ahok-Djarot.
Skenario mana yang akan terbangun? kita tunggu saja. Yang pasti bahwa
rumus yang digunakan dalam politik bukanlah rumus pasti, tetapi rumus
probabilitas. Segala sesuatu memungkinkan terjadi. Lalu, siapakah yang akan
menjadi pemenang? Masing-masing pasangan calon mempunyai peluang yang sama
untuk menang atau kalah. Dukungan parpol, kerja tim, geliat masing-masing
calon, komunikasi personal, visi dan misi serta program adalah beberapa
variabel yang ikut berpengaruh dalam mencapai kemenangan. Namun, jangan
dilupakan bahwa dalam pilkada sekalipun, selalu ada yang Maha Mengatur. Semoga
itu tidak dilupakan oleh peserta kontestasi, apapun agama dan keyakinannya. Wallahu a’lam bish-shawab.
Belum ada tanggapan untuk "Arah Koalisi Memasuki Putaran Kedua Pilkada DKI"
Posting Komentar