Hikmah Jumat
Ilustrasi |
Apabila kita perhatikan dialog yang terjadi antara Tuhan dengan Malaikat (baca;
QS Al-Baqarah ayat 30-35), maka nampak bahwa tujuan diturunkannya Adam AS ke bumi adalah menjadi khalifah
atau pengatur. Bumi yang luas dengan segala potensi yang terkandung didalamnya membutuhkan
pengelolaan yang baik sehingga bumi dapat tetap lestari serta memberi manfaat
kepada seluruh makhluk yang mendiaminya. Meskipun lebih khusus menjelaskan
tentang Adam, tapi ayat tersebut dapat menjadi isyarat tentang posisi manusia
yang dihadirkan untuk menjadi khalifah.
Hal ini misalnya dapat kita lihat bahwa pada kebanyakan ayat-ayat Al-Qur’an,
manusia selain disebut dengan istilah Annas,
juga dipanggil dengan sebutan Bani
Adam (anak-cucu Adam). Artinya, konsep khalifah
tidak hanya berlaku bagi Nabi Adam sendiri, tetapi juga berlaku bagi seluruh
manusia.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Buhkari, Rasulullah SAW
bersabda; “kullukum raa’in wa kullukum
masuwlun ‘an ra’iyyatih”. Arti dari hadits tersebut adalah “setiap kamu
adalah pemimpin dan tiap-tiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban”. Pada
konteks mana kepemimpin itu? Seorang kepala keluarga adalah pemimpin dan
bertanggung jawab atas keluarga, istri, dan anak-anaknya; seorang kepala desa
adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas desa, aparatur, masyarakat, serta
segala sumber daya yang dimiliki oleh desa yang dipimpinnya; seorang manajer
perusahaan adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas sumber dana, sumber daya
manusia (karyawan) dan sumber daya (sarana) yang dimiliki oleh perusahaan; kepala
lingkungan adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas lingkungannya; kepala
kantor adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas segala urusan kantor yang
dipimpinnya; kepala sekolah adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas sekolah
yang dipimpinnya; kepala dinas, kepala bagian, kepala bidang, kepala seksi, dan
istilah lainnya adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas
dinas/bagian/bidang/seksi yang dipimpinnya; Camat/Bupati/Gubernur/Presiden
adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas seluruh daerah yang menjadi ranah
kekuasaannya.
Oleh karena beratnya beban yang menjadi tanggung jawab pemimpin, maka
dalam Al-Qur’an surah An-Nisa’ ayat 58, Allah mengingatkan; “sesungguhnya Allah memerintahkan kamu untuk
menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya (ahlinya), dan apabila kamu
menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil”. Melalui
ayat ini, Allah menegaskan tentang dua hal.
Pertama, amanah harus diserahkan
kepada yang ahli. Banyak orang yang ingin menjadi pemimpin, bahkan untuk
memenuhi hasrat berkuasanya tidak segan-segan mengumbar janji, atau melakukan
sogok. Tipe seperti ini bukanlah calon pemimpin yang baik. Kepemimpinan atau
amanah harus diserahkan kepada yang ahli, yaitu yang memiliki pengetahuan, yang
cerdas, berkompeten. Sehingga kelak ketika memimpin dapat bertanggung jawab
atas kepemimpinannya baik pada diri sendiri maupun pada masyarakat; di dunia maupun di akhirat.
Kedua, kepemimpinan itu harus adil. Konsep keadilan disini bukan
berstandar ganda, tetapi berstandar mutlak. Reward
semestinya berlaku bagi siapa saja, apakah pada keluarga dekat atau keluarga
jauh, teman atau bukan teman, dikenal atau tidak dikenal, sepanjang syarat
mendapatkan penghargaan terpenuhi. Begitupula punishment, harus diberlakukan kepada siapa saja, termasuk kepada
saudara jika memang melaksanakan hal yang tidak terpuji. Beranikah kita
mencontoh Rasulullah Muhammad SAW, yang dengan gagah mengatakan bahwa “Demi
Allah, seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya akan kupotong tangannya”.
Keadilan itu jangan berlakukan konsep minna
wa minhum (dari kami dan dari mereka). Karena minna (dari kami) lalu semua kesalahan ditutupi, dan karena minhum (dari mereka) lalu semua kebaikan
tidak dilihat.
Semoga kita dapat menjadi orang-orang yang berani menyerahkan amanah kepada yang
ahli, dan berani memutuskan setiap perkara secara adil. Wallahu a’lam bish-shawab.
Belum ada tanggapan untuk "Menjadi Pemimpin yang Adil"
Posting Komentar