Berdamai Dengan Ujian Nasional




Ujian Nasional (UN) kembali akan dilaksanakan. Event tahunan dalam penyelenggaraan persekolahan jenjang pendidikan menengah akan dimulai pada tanggal 4-6 April 2016. Meskipun kemasannya tetap sama, tapi nampaknya ada hal yang berbeda dalam pelaksanaan kali ini. Dalam pedoman operasional standar (POS) UN yang dikeluarkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), dijelaskan bahwa ada dua model pelaksanaan ujian, yaitu Ujian Nasional Berbasis Kertas (Paper Based Test, PBT), yaitu sistem ujian yang digunakan dalam UN dengan menggunakan naskah soal dan Lembar Jawaban Ujian Nasional (LJUN) berbasis kertas, dan Ujian Nasional Berbasis Komputer (Computer Based Test) yang selanjutnya disebut UNBK, yaitu sistem ujian yang digunakan dalam UN dengan menggunakan sistem komputer. Sesuai dengan namanya, tentu Ujian Nasional berbasis kertas ditujukan bagi sekolah yang belum memiliki sarana komputer yang memadai, sedangkan Ujian Nasional berbasis Komputer ditujukan bagi sekolah yang telah memiliki sarana komputer yang memadai. Hajatan ini dimaksudkan untuk melakukan pengukuran capaian kompetensi lulusan pada mata pelajaran tertentu secara nasional dengan mengacu pada Standar Kompetensi Lulusan (SKL). Lalu muncul pertanyaan,  mengapa hanya pada mata pelajaran tertentu saja, mengapa tidak semua mata pelajaran? Anggaplah bahwa mata pelajaran yang diujikan secara nasional adalah “representasi” dari mata pelajaran yang lainnya, sehingga tidak perlu lagi diujikan. 

Mengapa UN menuai kritik?

Salah satu janji kemerdekaan yang harus dilunasi adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Janji ini tertuang dalam batah tubuh Undang-Undang Dasar 1945 pada alinea ke empat. Untuk menjamin pelunasan janji tersebut, maka pemerintah memberikan kemudahan kepada semua warga negara dalam mendapatkan pendidikan yang layak. Mengapa? karena kunci pencapaian kecerdasan adalah pendidikan. Tanpa pendidikan, maka mustahil warga negara akan menjadi cerdas, dan dengan demikian maka janji kemerdekaan tersebut tidak akan pernah terlunaskan.

Sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah dalam melunasi janji kemerdekaan, maka pemerintah menetapkan Standar Nasional Pendidikan (SNP), yaitu kriteria minimal tentang sistem pendidikan diseluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. SNP terdiri dari delapan standar, yaitu; (1) standar kompetensi lulusan, (2) standar isi, (3) standar proses, (4) standar pendidik dan tenaga kependidikan, (5) standar sarana dan prasarana, (6) standar pengelolaan, (7) standar pembiayaan, dan (8) standar penilaian. Kedelapan standar tersebut harus melekat pada sekolah/madrasah sebagai satuan pendidikan terkecil penyelenggara pendidikan. 

Ujian Nasional (UN) nampaknya  adalah rangkaian pelaksanaan standar penilaian yang bertujuan untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik. Pada konteks inilah UN menuai kritik dengan beberapa argumentasi. Pertama, sejak awal memasuki dunia sekolah, peserta didik telah diperkenalkan dengan sejumlah mata pelajaran. Isi atau content mata pelajaran terdiri dari standar kompetensi (SK), kompetensi dasar (KD), dan materi pelajaran. Ketiga content tersebut bersemayam pada setiap mata pelajaran yang diajarkan secara terpisah (separated curriculum). Mengapa diajarkan secara terpisah? Karena desain kurikulum yang menjadi acuan penyelenggaraan pendidikan adalah desain kurikulum subjek akademik, yaitu suatu model kurikulum yang dikembangkan dari konsep pendidikan klasik. Salah satu ciri dari model kurikulum ini adalah desain kurikulum yang terdiri dari kelompok mata pelajaran (subject matter). Kelompok mata pelajaran ini harus diajarkan dan harus dikuasai oleh peserta didik dalam pelaksanaan pembelajaran. Untuk itu, perlu dilakukan evaluasi untuk mengetahui tingkat pencapaian standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD) pada setiap mata pelajaran, karena pencapaiannya menjadi indikator pencapaian standar kompetensi lulusan (SKL) pada setiap jenis dan jenjang pendidikan. Ujian nasional menuai kritik, karena hanya melibatkan beberapa mata pelajaran dari sejumlah mata pelajaran. 

Kedua, kelompok mata pelajaran yang diperkenalkan serta dipelajari oleh peserta didik mencakup tiga ranah, yaitu ranah kognitif atau pengetahuan (knowledge), ranah afektif atau sikap dan prilaku (attitude), dan ranah psikomotor atau keterampilan (skill). Ketiga ranah ini merupakan satu kesatuan dan terintegrasi pada setiap mata pelajaran. Oleh karena itu, satu pelajaran tidak dapat terwakilkan dengan mata pelajaran lain, karena masing-masing mata pelajaran mempunyai muatan afeksi, kognisi dan psikomotor yang berbeda. Pelaksanaan ujian nasional untuk mengukur dan menilai pencapaian standar kompetensi lulusan hanya pada beberapa mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi, memunculkan kesan adanya mata pelajaran yang di “istimewa-kan” atas mata pelajaran yang lain. Padahal, mengistimewakan mata pelajaran tertentu atas mata pelajaran yang lainnya, berarti mengabaikan sebagian kompetensi yang dimiliki peserta didik. Ketiga, ujian nasional berarti upaya pemerintah untuk mengukur dan menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional. Menurut Arikunto (2006:3), mengukur adalah membandingkan sesuatu dengan satu ukuran. Pengukuran bersifat kuantitatif; adapun menilai adalah mengambil suatu keputusan terhadap sesuatu dengan ukuran baik dan buruk, penilaian bersifat kualitatif. Memperhatikan pelaksanaan ujian nasional, menunjukan bahwa yang dominan adalah pengukuran, bukan penilaian. Yang nampak adalah mengukur ranah kognitif dan kurang memperhatikan ranah afektif, dan hasilnyapun lebih bersifat kuantitatif. Keempat, aroma yang nampak dari pelaksanaan ujian nasional adalah sentralisasi, sementara pendidikan adalah sektor yang telah diserahkan pengelolaannya secara desentralisasi. Hal ini menunjukkan bahwa penyelenggaraan UN kurang selaras dengan prinsip-prinsip penyelenggaraan otonomi daerah, serta prinsip penyelenggaraan pendidikan yang didasarkan pada asas ke-bhineka-an.

Meskipun demikian, tentu pemerintah (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) mempunyai argumentasi tersendiri yang pasti lebih rasional sehingga sampai saat ini ujian nasional masih tetap dilaksanakan. 

Mengapa harus berdamai?


Negeri ini, begitu mengagungkan parameter keberhasilan pembangunan dengan menggunakan skala indeks. Hampir semua sektor pembangunan diukur dengan indeksikalitas. Kita dapat melihat bahwa, untuk mengukur keberhasilan pembangunan pada sektor pembangunan manusia, maka mengukurnya adalah dengan menggunakan Indeks Pembangunan manusia (IPM) atau Human Development Indeks (HDI), yaitu pengukuran perbandingan dari harapan hidup, pendidikan dan standar hidup untuk semua negara di dunia. IPM digunakan untuk mengklasifikasikan apakah sebuah negara adalah negara maju, negara berkembang, atau negara terbelakang dan juga untuk mengukur pengaruh dari kebijaksanaan ekonomi terhadap kualitas hidup. Untuk mengukur kualitas pelayanan pada sektor pendidikan, maka digunakan Indeks Pelayanan Minimal (IPM) sektor pendidikan; untuk mengukur tingkat kepadatan penduduk, maka digunakan Indeks pertumbuhan manusia; demikian juga untuk mengukur tingkat pendapatan masyarakat maka digunakanlah indeks pendapatan perkapita (IPK); sedangkan untuk mengukur tingkat pelayanan pendidikan pada semua masyarakat, digunakan Indeks Pendidikan Untuk Semua atau Education for All Development Indeks (EDI). Tentu, masih banyak indeks-indeks lainnya yang tidak mungkin diuraikan semua pada tulisan ini. Tetapi, satu hal yang perlu ditegaskan bahwa penggunaan skala indeks untuk mengukur keberhasilan pembangunan pada semua sektor, menunjukkan bahwa paradigma evaluasi yang digunakan adalah kuantitatif. Padahal, tidak semua keberhasilan pembangunan tepat untuk digunakan penilaian dengan paradigma kuantitatif, sebaliknya justru harus menggunakan paradigma kualitatif. 

Tetapi, terus mempersoalkan Ujian Nasional apakah lagi menolaknya adalah menjadi tidak relevan, justru yang paling penting adalah bagaimana menerimanya sebagai sebuah keniscayaan. Toh pemerintah tetap melaksanakan ujian nasional meskipun banyak kalangan yang menolaknya. Maka, jalan bijak adalah berdamai dengan ujian nasional. Artinya, ujian nasional dianggap sebagai sebuah realitas empirik yang hadir bersamaan dengan hadirnya sekolah. Sehingga apa yang perlu dilakukan adalah bagaimana melengkapi atau membenahi titik-titik yang menjadi sorotan. Bukankah ujian nasional adalah hajatan pemerintah, sehingga paradigmanya adalah Top Down. Tugas sekolah selanjutnya adalah melakukan serangkaian penilaian sehingga apa yang belum tercakup dalam ujian nasional dapat dilakukan pada tingkatan paling bawah yaitu tingkat satuan pendidikan (Button Up).

Aspek penting yang harus dilakukan oleh satuan pendidikan adalah melakukan penilaian pada semua mata pelajaran yang tidak diujikan secara nasional. Dengan langkah ini, maka mata pelajaran yang telah diajarkan kepada subjek didik sejak awal memasuki dunia sekolah ikut dievaluasi. Sehingga bagi sekolah maupun peserta didik, tidak ada mata pelajaran yang “istimewa”, semua mata pelajaran adalah sama pentingnya. Bahwa ada mata pelajaran yang diujikan secara nasional dan secara lokal hanyalah persoalan kebijakan, dan ini menjadi domainnya pemerintah, bukan domainnya sekolah. Tetapi, agar nilai “kesakralan” ujian sekolah tidak jauh berbeda dengan ujian nasional, maka perlu dibentuk tim penyusun naskah, apakah pada tingkat provinsi, tingkat kabupaten, atau cukup pada tingakat MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran).

Langkah selanjutnya adalah melakukan penilaian pada semua ranah pembelajaran. Kegiatan ini perlu dilakukan oleh karena ujian nasional dianggap terlalu menekankan pada ranah pengetahuan (cognitive oriented), sehingga tugas satuan pendidikan selanjutnya adalah melakukan penilaian pada ranah afektif (sikap) dan psikomotorik (keterampilan). Pada konteks ini, satuan pendidikan melalui guru mata pelajaran dapat menyusun instrument test beserta indikator pencapaian hasil belajar pada kedua ranah tersebut. Penilaian pada ranah afektif dapat menggunakan skala kualitatif dengan melihat sikap dan prilaku subjek didik pada keseluruhan aktivitasnya baik dalam kultur kelas, kultur sekolah, maupun masyarakat. Sedangkan penilaian pada ranah psikomotorik dapat dilakukan melalui penilaian langsung dalam kegiatan praktek. Tentu kedua penilaian ini sangat subjektif karena dilakukan langsung oleh guru mata pelajaran. Maka yang perlu menjadi penekanan adalah adanya instrument test dan indikator penilaian. Dengan demikian, kegiatan evaluasi mencakup dua fungsi yaitu pengukuran dan penilaian serta menjangkau tiga ranah, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik.

Munculnya anggapan bahwa yang nampak dari pelaksanaan ujian nasional adalah sentralisasi dengan sendirinya akan tereduksi ketika ujian pada tingkat sekolah dilaksanakan. Ujian pada tingkat sekolah khusus pada mata pelajaran yang tidak diujikan secara nasional menjadi wilayah desentralisasi, sedangkan ujian secara nasional adalah wilayah sentralisasi. Sehingga ada keseimbangan dalam pelaksanaan evaluasi, yaitu melaksanakan kepentingan nasional dengan tidak mengabaikan kepentingan lokal. Hal ini menjadi penegas bahwa penyelenggaraan UN sudah selaras dengan prinsip-prinsip penyelenggaraan otonomi daerah, serta prinsip penyelenggaraan pendidikan yang didasarkan pada asas ke-bhineka-an.

Dengan demikian, Ujian Nasional (UN) dapat diposisikan pada dua fungsi, yaitu; pertama,  sebagai alat kontrol penyelenggaraan pendidikan di era otonomi daerah. Bahwa penyelenggaraan pendidikan yang desentralisasi tentu akan memberikan hasil yang beragam karena potensi dan kebutuhan daerah yang beragam, serta ketersediaan sumber daya manusia (SDM), sumber daya belajar (SDB), dan sumber daya alam (SDA) yang berbeda. Hal ini tentu akan berpengaruh terhadap kualitas pendidikan pada setiap daerah. Dalam konteks inilah diperlukan standarisasi nilai terutama mengukur pencapaian standar kompetensi lulusan (SKL) melalui ujian nasional. Kedua, dapat menjadi standarisasi untuk meningkatkan kompetisi antar satuan pendidikan dalam meraih prestasi. Dengan langkah ini, masing-masing satuan pendidikan akan berlomba dan terpacu dalam membenahi sekolah/madrasahnya demi meraih predikat terbaik. Wallahu A’alm bish-Shawab.




Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Berdamai Dengan Ujian Nasional"

Posting Komentar