Pesan Hikmah dalam Do’a
Suatu ketika, Rasulullah Muhammad SAW memimpin Do’a dihadapan para
sahabat dan kaum muslimin. Lafazh Do’a yang dibacakan adalah kurang lebih
sebagai berikut; “Allahumma inniy
a’uudzubika minal arba’, min ‘ilmin laa yanfa’u wa min qalbin laa yakhsya’u, wa
min nafsin laa tasyba’u wa min du’aa’in laa yusma’u (“Ya Allah, sesungguhnya
aku berlindung kepadaMu dari empat hal; dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari
hati yang tidak khusyu’, dari jiwa yang tidak pernah puas, dan dari do’a yang
tidak didengar)”.
Apa yang disampaikan oleh Rasulullah Muhammad SAW tersebut meskipun
kemasannya dalam bentuk Do’a, tetapi ada pesan-pesan hikmah yang dititipkan
kepada para sahabat maupun kaum muslimin.
Pertama,
Ilmu yang tidak bermanfaat. Diantara kita, banyak yang memiliki ilmu
berpengetahuan, apakah pengetahuan agama maupun pengetahuan umum. Ilmu
pengetahuan begitu memiliki posisi yang penting dalam ajaran islam, sehingga banyak
pesan-pesan moral yang terkandung dalam Al-Qur’an maupun hadist yang mengarah
pada kewajiban menuntut ilmu. Bukankah yang menjadikan Malaikat tunduk kepada
Adam selain karena perintah Allah adalah karena pengetahuannya tentang
nama-nama segala sesuatu yang pada saat itu belum diketahui oleh alaikat?
Bukankah Allah sudah berjanji akan meningkatkan derajat orang-orang yang
berilmu pengetahuan lebih tinggi daripada orang-orang yang tidak
berpengetahuan? Bukankah dalam sebuah hadist Rasulullah Muhammad SAW
memerintahkan untuk menuntut ilmu dari buaian hingga liang lahat, atau menuntut
ilmu walaupun ke negeri Cina? Bahkan begitu pentingnya ilmu pengetahuan, sampai
menjadi tali penghubung yang tidak putus bagi seorang hamba meskipun sudah
meninggal jika ilmu yang dimiliki digunakan untuk kebaikan (Amal Jariyah). Tetapi, bisa saja ilmu
pengetahuan yang dimiliki tidak bermanfaat, dan Do’a yang dipanjatkan oleh
Rasulullah tersebut adalah signal
untuk itu. Tidak bermanfaat bisa jadi karena tidak digunakan untuk memaslahatan
umat, atau bisa jadi digunakan tetapi berefek negatif. Dengan demikian menjadi
pelajaran, bahwa ilmu pengetahuan yang dimiliki harus selalu digunakan untuk
kebaikan kapanpun dan dimanapun selagi masih mampu untuk lakukan.
Kedua, Hati
yang tidak khusyuk. Orang yang tidak khusyuk berarti selalu gelisah, selalu diliputi oleh
kekhawatiran-kekhawatiran. Sehingga apapun yang dilakukan selalu tidak fokus,
takut salah, dan hidup penuh dengan ketakutan-ketakutan. Melalui firman-Nya,
Allah menyampaikan kepada kita bahwa cara untuk menghilangkan kegelisahan
adalah dengan berdzikir kepada-Nya. Alaa
bi dzikrillah tathma’innal qulub (hanya dengan mengingat Allah, hati
menjadi tenang). Oleh karena itu, luangkanlah selalu kesempatan untuk berdzikir
kepada Allah. Salah satu kasus yang mengkhawatirkan Negara-negara maju adalah
meningkatnya angka bunuh diri setiap tahunnya. Mengapa? Mereka dilanda
kegelisahan, mereka tidak menemukan ketenangan dan kedamaian. Dengan harta dan
materi yang berlimpah justru mereka tidak menemukan ketenangan hidup, mereka
justru semakin helisah. Lalu, mereka melakukan bunuh diri, mereka mengira bahwa
dengan bunuh diri mereka akan menemukan kebahagiaan dan ketenangan.
Ketiga, Jiwa
yang tidak pernah puas. Salah satu kelebihan manusia dibanding
dengan makhluk lainnya adalah karena memiliki rasio dan nafsu. Dengan
rasionalitasnya, manusia senantiasa mengembangkan pengetahuan sampai
menghasilkan teknologi. Adapun nafsu menjadi pendorong agar manusia senantiasa
berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tetapi, seringkali manusia lalai,
terlampau mengikuti dorongan hawa nafsu dan menjadikannya tidak pernah merasa
puas. Manusia terkadang hanya pandai melihat aspek yang kurang dan mengabaikan
aspek yang lebih; pandai mengkalkulasi keinginan-keinginan yang belum
terpenuhi, lalu tidak pandai mensyukuri apa yang Allah telah berikan. Dalam
istilah populernya, “sangat pandai dalam rumus tambah dan kali, tetapi lemah
dalam rumus bagi dan kurang”. Karena tidak pernah merasa puas, maka menjadilah
pribadi yang kufur. Padahal, Allah telah mengingatkan bahwa “la’insyakartum la’adziydannakum, wala
ingkafartum inna’adzabi lasyadiyd”. Jika engkau bersyukur kepada-Ku maka
nikmat-Ku sangat banyak, tetapi jika engkau ingkar maka azab-Ku sangat pedih.
Pada ayat lain, Allah memberikan analog tentang banyaknya karunia yang telah
diberikan, dikatakan bahwa “seandainya pohon-pohon dan bumi menjadi pena dan
laut (menjadi tinta) ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah
(kering)nya, niscaya kalimat Allah tidak habis ditulis (Luqman/31:27). Maka
solusinya adalah bersyukur, mensyukuri apa yang telah Allah berikan. Jangan selalu
menatap keatas, sesekali menataplah kebawah. Mengapa kaki dilengkapi dengan
lutut dan telapak? Mengapa lubang hidung tidak ditengadahkan keatas, mengapa
telinga tidak disimpan di punggung, mengapa lidah tidak bertulang? Semua adalah
karunia yang tidak ternilai.
Keempat, Do’a
yang tidak didengar. Manusia, selain diperintahkan untuk berusaha (ikhtiar), juga diperintahkan untuk berdo’a dan bertawakkal. Kualitas
hasil usaha manusia sangat tergantung pada kualitas usaha yang dilakukan. Itulah
sebabnya, dalam salah satu Ayat Al-Qur’an, Allah SWT mengingatkan bahwa “Dia
tidak akan merubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang merubahnya”. Setelah
berusaha, lalu kita diperintahkan untuk berdo’a, yaitu memohonkan kepada Allah
agar apa yang diinginkan melalui usaha dapat terkabulkan. Disini, pola hubungan
manusia menjadi tegas. Bahwa ikhtiar atau usaha adalah pola relasi antara
manusia dengan sesama (hablumminannas),
sedangkan do’a adalah pola hubungan antara manusia sebagai hamba dengan Tuhan
sebagai khaliq (hablumminallah). Pola relasi ini seringkali diistilahkan dengan dialektikal vertikal dan dialektikal horizontal. Tetapi, do’a
yang panjatkan ada yang langsung dikabulkan, ada yang tertunda dikabulkan, dan
ada yang dikabulkan pada kemudian hari. Untuk do’a yang langsung dikabulkan
selayaknya menjadikan kita bersyukur, untuk do’a yang tertunda dikabulkan
sebaiknya dinantikan dengan sabar, dan untuk do’a yang dikabulkan pada kemudian
hari akan tepat kalau dihadapi dengan tawakkal. Boleh jadi yang terbaik menurut
kita, tidak baik menurut Allah, dan boleh jadi apa yang tidak baik menurut
kita, justru lebih baik menurut Allah. Saya kira, do’a yang tidak didengar sebagaimana
lafazh do’a Rasulullah tidak masuk pada tiga kategori tersebut. Do’a yang tidak
didengar adalah do’a yang "ada dan tiada"-nya sama saja. Semoga Allah
menghindarkan kita dari keempat hal tersebut. Wallahu a’lam bish-shawab.
Postingan terkait:
Belum ada tanggapan untuk "Pesan Hikmah dalam Do’a"
Posting Komentar