Belajar Politik dari Akbar Tandjung
Politik telah memunculkan stereotype baru dalam masyarakat, bahwa politik itu kejam, keras,
kasar, tidak bermoral, penuh nafsu, high
cost, dan lain sebagainya. Hal ini tidak salah, karena masyarakat telah
diperkenalkan dengan praktek politik baik secara langsung maupun tidak langsung
yang nampak jauh dari kesantunan. Pada perhelatan pemilukada atau pemilu
legislatif misalnya, masyarakat dipertontonkan dengan praktek saling hujat,
saling hina, saling ungkit, dan saling protes. Masing-masing kubu merasa yang
paling benar, paling pintar, paling tau, dan paling segalanya, sementara kubu
yang lain juga melakukan hal yang sama. Demikian halnya pada layar kaca, para
lakon politik seringkali mempertontonkan etika politik yang kurang elok dalam
pandangan masyarakat. Tapi apakah politik seperti itu? Tentu saja tidak. Karena
politik sejatinya adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan
kebaikan bersama (Aristoteles). Oleh karena itu, maka aspek penting yang harus
ditekankan dalam praktek politik adalah menjunjung tinggi etika kesantunan,
sehingga jauh dari iri dan dengki serta dendam.
Diantara
tokoh politik yang konsisten menjaga etika kesantunan dalam berpolitik adalah
Akbar Tandjung. Hal ini dapat dilihat bahwa sebagai politisi, bang Akbar
(sapaan akrab Akbar Tandjung) senantiasa menjaga etika dan moralitas, sangat
hangat kepada “kawan maupun lawan” politik, jarang mengumbar pernyataan yang
kontroversial, dan senantiasa memposisikan diri sebagai penengah pada setiap
perbedaan kepentingan. Bahkan cendekiawan muslim, Cak Nur (Nurcholish Madjid) pernah
mengatakan bahwa “banyak orang mengatakan Akbar Tandjung itu lemah karena
selalu mencari jalan tengah. Tapi bisa juga dibalik, mungkin itu justru
kekuatannya, karena dia itu halus, berakhlak mulia, penyayang dan punya
integritas moral” (M. Deden Ridwan dan M. Muhadjirin, 2003, vii). Nampakya,
Akbar Tandjung begitu menjunjung tinggi sebuah adagium dalam politik bahwa,
“seribu kawan terlalu sedikit, dan seorang lawan terlalu banyak.” Pada konteks
inilah perlunya belajar politik dari Akbar Tandjung.
Menelisik
Peran Politik Akbar Tandjung
Salah satu
peran Politik Akbar Tandjung yang sangat penting dalam pentas politik nasional
adalah pada zaman reformasi. Ketika gerakan reformasi yang dimotori oleh
mahasiswa pada tahun 1998 berhasil menumbangkan pemeritahan Orde Baru yang
telah berkuasa selama kurang lebih 32 tahun, Golkar ikut terpojokkan. Golkar yang
selama pemerintahan Orde Baru telah menjadi kekuatan utama penyokong
pemerintahan dianggap sebagai pihak yang paling bertanggungjawab atas
terjadinya kiris yang melanda bangsa Indonesia. Sehingga cacian, hujatan, dan
hinaan bertubi-tubi diarahkan oleh berbagai pihak kepadanya (Golkar). Pada
situasi seperti itu, Nurcholish Madjid memberikan dua saran untuk penyelamatan Golkar.
Pertama, membubarkan diri. Golkar
tidak bisa memisahkan diri dari kepemimpinan Soeharto. Sehingga ketika Soeharto
turun, maka bagi Cak Nur yang terbaik bagi Golkar adalah secara seremonial
membubarkan diri. Sebab bagaimana pun Golkar secara moral ikut bertanggungjawab
atas seluruh hal yang di alami bagsa Indonesia selama Orde Baru, karena Golkar
adalah mesin politik Orde Baru. Setelah
pembubaran barulah dibentuk kembali partai politik baru dengan menggunakan
struktur dan konstitusi yang ada pada
Golkar, tetapi dengan agenda serta platform yang berbeda sama sekali. Kedua, menjadi oposisi, berada diluar.
Bagi Cak Nur, Golkar menjadi oposisi dengan pengalaman-pengalaman selama masa
reformasi akan sangat berarti. Dimana oposisi tidak hanya asal bicara, dan
tidak semata-mata tidak setuju tetapi tidak memberikan solusi, tetapi
beroposisi yang konstruktif, selalu memberikan solusi. Dengan begitu maka
masyarakat masih tetap akan menaruh harapan pada Golkar dan citranya sebagai single majority yang negatif bisa
berubah. Lebih lanjut dikatakan oleh Cak Nur bahwa pada sisi yang lain Golkar
bisa bebas dari masa lalu, Golkar juga mempunyai potensi bebas dari pontensi
konflik etnis, agama atau kultur, yang cakupannya hampir seluruh Indonesia.
Tetapi,
nampaknya Akbar Tandjung melihat Golkar dari sudut pandang lain. Sehingga apa
yang disarankan oleh Cak Nur hanya dijadikan sebagai referensi, tidak ditindak
lanjuti dalam bentuk aksi yaitu bubar, dan dibangun kembali, lalu menjadi oposisi.
Bang Akbar berpandangan bahwa berbagai privilege
yang dimiliki Golkar selama Orde Baru harus ditanggalkan sejalan dengan
diterapkannya sistem politik demokratis. Golkar tidak lagi mendapatkan dukungan
militer dan birokrasi yang pada masa lalu menjadi jalur-jalur pendukungnya.
Golkar dengan demikian ibarat kapal besar yang akan karam (like the sinking Titanic). Golkar dihadapkan pada masalah “hidup
dan mati” (struggle to survive) yang
harus diperjuangkannya (Akbar Tandjung, 2007, Ringkasan Disertasi, 17). Segera
setelah terpilih menjadi Ketua Umum dalam Munaslub (musyawaran nasional luar
biasa) Golkar tahun 1998, Akbar Tandjung melakukan langkah-langkah perbaikan.
Langkah awal yang dilakukan adalah mendayagunakan kelembagaan yang telah
dibangun selama rezim Orde Baru berkuasa, yaitu berupa struktur dan jaringan
organisasi yang mencakup seluruh wilayah nasional, maupun nilai-nilai yang
berhasil dibangun dan menjadi jatidiri serta perekat bagi soliditas organisasi.
Langkah ini terjadi karena perubahan politik yang terjadi pada tahun 1998,
tidak serta merta menghancurkan struktur organisasi dan jaringan Golkar,
sehingga modal politik tersebut masih dapat di dayagunakan secara efektif.
Langkah selanjutnya adalah melakukan adaptasi terhadap lingkungan politik baru
melalui penataan ulang (restrukturisasi)
kesisteman (systemness) organisasi.
Langkah penyesuaian ini dilandasi oleh paradigma baru Golkar sebagaimana
diamanahkan dalam Munaslub Golkar 1998. Paradigma baru Golkar adalah menjadi
kekuatan politik yang demokratis, mandiri, berakar dan responsif terhadap
aspiransi rakyat. Aplikasinya (salah satu) adalah dengan menghapuskan struktur
Dewan Pembina yang memiliki kewenangan multak atas Golkar dan digantikan dengan
Lembaga Penasehat yang memiliki kewenangan terbatas.
Selanjutnya,
Akbar Tandjung melalui Golkar melakukan pendayagunaan organisasi-organisasi
sayap serta membangun komunikasi intensif dengan sesama kader Golkar.
Sebagaimana diketahui bahwa pasca Munaslub Golkar dimana kubu Edi Sudrajad
mengalami kekalahan, potensi perpecahan ditubuh Golkar sangat tinggi. Maka
langkah yang dilakukan adalah melakukan komunikasi yang intensif dan persuasif
demi membangun soliditas dan komitmen diantara sesama kader. Sementara itu,
untuk meningkatkan karir politik kader-kader potensial, maka dilakukan sistem
kaderisasi dengan pola merit sistem.
Sehingga hanya kader yang benar-benar berprestasi, berdedikasi, loyal, serta
tidak tercela yang diberikan peluang mengembangkan karir politiknya melalui
partai Golkar; serta melakukan penjaringan calon presiden melalui mekanisme
Konvensi. Melalu mekanisme ini, partai Golkar menyaring calon Presiden secara
terbuka dengan menerima para calon dari berbagai latar belakang, tidak
eksklusif hanya dari internal Golkar. Dengan langkah ini, semakin meneguhkan posisi
Golkar sebagai partai dengan paradigma barunya, sekaligus memutus mata rantai
masa lalu yang sudah tidak menguntungkan karena perubahan sistem politik dan
ketatanegaraan. Puncak dari “buah tangan” Akbar Tandjung di Golkar adalah menempatkan
Golkar dengan perolehan suara terbanyak kedua (setelah PDI-P) pada Pemilu Tahun
1999, suatu masa dimana Golkar begitu terpojokkan, dan meraih suara terbanyak
pada Pemilu Tahun 2004. Tentu, peran penting Akbar Tandjung tidak hanya di
Golkar. Perjalanan panjang karir politiknya, yang semakin hari semakin menujukkan
grafik yang meningkat menunjukkan banyaknya peran penting yang dilakukan,
termasuk ketika menjadi menteri dan menjadi Ketua DPR RI. Tetapi, perannya
ketika memimpin partai Golkar pada masa transisi (dari masa Orde baru ke masa
Reformasi) yang menempatkan Golkar diambang “pembubaran” menjadi sangat substansial.
Bukan hanya pada soal perannya menyelamatkan Golkar dari “keterpurukan” dengan
meraih suara terbanyak kedua pada Pemilu 1999, atau perannya menjadikan Golkar
sebagai peraih suara terbanyak pada Pemilu 2004. Tetapi karena proses itu,
telah meneguhkan ke-diri-an Akbar Tandjung sebagai politikus yang sangat
akseptabel dan lincah dalam bermain politik, bisa berembuk dengan siapa saja, sebagaimana
penilaian Prof. R. William Liddle; sebagai kader baik: mau belajar kepada
siapapun, berdiskusi, tidak menang sendiri, dan akomodatif disertai jiwa leadership yang mapan, sebagaimana
pandangan Soedharmono, Mantan Wakil Presiden RI; serta sebagai sosok politisi
yang mempunyai kearifan politik: luwes dalam pergaulan dan fleksibel dalam
sikap-sikap politiknya sebagaimana penilaian A. Dahlan Ranuwihardjo.
Mengambil
Pelajaran Politik
Ada banyak
pelajaran yang dapat dipetik dari peran-peran politik yang telah dimainkan oleh
Akbar Tandjung. Wajah perpolitikan kita semakin hari semakin menyajikan tampilan
yang tidak bersimpatik. Sistem demokrasi yang telah menjadi acuan sejak masa
reformasi seolah telah menghilangkan sekat-sekat etika dan moralitas dengan dalil
kebebasan. Oleh karena itu, dibutuhkan model atau figure yang dapat dijadikan
acuan, sehingga tampilan yang tidak simpatik tersebut dapat diubah menjadi lebih
simpatik. Dalam konteks Indonesia, apa yang telah diperankan oleh Akbar
Tandjung dapat menjadi pelajaran.
Pertama, Berpolitik berarti
membawa misi. Memasuki
ranah politik berarti memiliki tujuan, harus punya orientasi. Adanya misi dan
orientasi akan menjadi panduan kemana arah langkah ditujukan, serta apa
strategi yang harus dimainkan untuk dapat mewujudkan misi tersebut. Apa yang
disarankan oleh Cak Nur tentang dua opsi penyelamatan Golkar pada masa
reformasi adalah ide brilian dari “orang luar Golkar,” dan langkah yang
ditempuh oleh Akbar Tandjung adalah terobosan yang tepat dari “orang dalam Golkar”.
Hal ini menunjukkan bahwa dalam berpolitik, Akbar Tandjung membawa misi. Apa
yang menjadi misi Akbar Tandjung adalah menyelamatkan Golkar dari keterpurukan,
dan untuk mewujudkannya dibutuhkan langkah dan strategi. Bagi Akbar,
membubarkan Golkar adalah langkah “blunder” ditengah hujatan serta cacian serta
situasi politik yang tidak menentu. Membubarkan Golkar berarti membenarkan
semua tuduhan negatif yang selama ini dialamatkan padanya. Demikian halnya,
menjadikan Golkar beroposisi adalah langkah tidak strategis mengingat bahwa
kebesaran Golkar karena telah menjadi bagian dari pemerintahan selama kurang
lebih 32 tahun. Golkar belum terbiasa menjadi oposisi, belum memiliki
pengalaman berada diluar pemerintahan. Itulah sebabnya Akbar merambah jalan
lain yang berbeda sama sekali dengan yang disarankan oleh Cak Nur. Sebagai
“orang Golkar” yang telah lama berkecimpung di dalamnya, Akbar paham betul
masalah yang dihadapi Golkar dan sudah tentu memiliki cara untuk mengatasinya.
Hal tersebut dapat dibuktikan karena mampu membawa Golkar keluar dari “krisis”.
Kedua,
berpolitik berarti membangun Konsensus. Memasuki dunia politik berarti memasuki dunia yang
sarat dengan kepentingan. Istilah bahwa “dalam politik tidak ada kawan abadi,
yang ada hanyalah kepentingan” menegaskan bahwa pergumulan dalam politik adalah
percaturan membawa dan meloloskan kepentingan ditengah arus kepentingan. Oleh
karena itu, dibutuhkan kemampuan dalam membangun komunikasi politik untuk
mempertemukan kepentingan-kepentingan yang ada. Berbagai hujatan yang
dialamatkan ke Partai Golkar pada masa reformasi menunjukan bahwa tingkat
kepercayaan publik terhadap Golkar berada pada titik nadir. Sehingga agenda
yang diemban bang Akbar adalah bagaimana membalikkan keraguan tersebut menjadi
kepercayaan. Demikian halnya, pasca munaslub 1998 potensi perpecahan menguat
karena kekalahan yang diterima oleh kubu lawan (Edi Sudrajad dkk). Maka langkah
komunikasi yang intensif dan persuasif dilakukan untuk menghindari perpecahan. Dari
situasi tersebut Akbar Tandjung mampu membangun konsensus, membangun permufakatan
bersama guna menemukan jalan terbaik ditengah perbedaan. Akbar Tandjng sering
dianggap sebagai figur politisi yang memiliki semangat man of concensus, ingin memuaskan semua orang. Artinya,
langkah-langkah politiknya tampak mengedepankan jalur kompromi dan kerjasama
(M. Deden Ridwan dan M. Muhadjirin, 2003, p. 227).
Ketiga, berpolitik berarti mengayomi. Mengapa Golkar mampu meyakinkan publik dengan
meraih suara terbanyak kedua pada pemilu 1999, karena soliditas internal yang
terbangun. Kekompakkan secara internal ini dapat diwujudkan dengan kepemimpinan
Akbar Tandjung yang mengayomi. Segala hujatan, cacian, makian, serta tuntutan
pembubaran, justru dijawab dengan kerja-kerja nyata. Mengkampanyekan paradigma
baru Golkar, merajut konsolidasi internal, mendorong proses kaderisasi melalui merit system, menjaring calon presiden
melalui mekanisme konvensi adalah beberapa langkah yang dilakukan. Semua dapat
terwujud karena leadership bang Akbar
yang mengayomi semua kelompok dan kepentingan dalam partai Golkar. Bahkan
dengan Barnas (barisan nasional), kelompok yang dibentuk oleh kelompok
pensiunan jenderal yang dipimpin oleh Kemal Idris untuk menggerogoti Golkar
secara internal justru tidak dianggap sebagai penghalang, malah dianggapnya
sebagai bagian dari dinamika sistem demokrasi yang sangat menghargai keragaman.
Keempat, berpolitik berarti dalam koridor etika dan moralitas. Entah by design atau by natural,
sikap santun Akbar Tandjung seolah menemukan chemistry dengan ranah politik. Bahkan etika kesantunan yang selalu
nampak oleh publik memberikan nilai plus padanya. Jarang membuat penyataan yang
menuai kontroversi, menanggapi kritikan dengan santai dengan
pernyataan-pernyataan yang datar tanpa intonasi yang menggebu-gebu, senantiasa
menampakkan ekspresi yang tenang, santai tetapi tegas, memulai menyapa dengan
senyum, mau menerima kritikan, serta senantiasa merangkul telah menjadi ciri
khasnya. Etika ini menjadikannya mudah diterima oleh semua kelompok, bukan hanya
di internal Golkar tetapi juga diluar Golkar, bukan hanya pada kelompok islam,
tetapi juga pada kelompok lain. Maka tidak salah kalau Franz Magnis-Suseno
memberikan penilaian bahwa “Akbar
tandjung adalah orang yang
berlatarbelakang HMI, tetapi juga seorang nasionalis dan terbuka untuk
orang-orang Katolik.” Gambar Anom, yang merupakan sahabatnya mengatakan
bahwa “Akbar itu seorang pribadi yang
sangat hangat, perhatian (care), dan humanis. Kalau jadi pemimpin dia pantas,
karena sangat bertanggungjawab, suka mendengarkan orang lain, dan mampu
berkomunikasi dengan baik. Nampaknya, pola sikap seperti ini sudah jarang
ditemukan dalam ranah politik. Oleh karena itu, penting untuk menjadi
pelajaran.
Kelima, berpolitik berarti untuk kepentingan rakyat. Dalam suatu kesempatan, Akbar
Tandjung mengatakan bahwa “pilihan
politik Golkar harus dirubah dengan menempatkan rakyat benar-benar sebagai
sumber inspirasi dan sumber kekuatan bagi Golkar. Dengan demikian, masyarakat
yang menjadi massa pendukung tidak merasa diabaikan. Tanpa dukungan dan
kepercayaan rakyat, Golkar tidak akan ada artinya.” Hal ini menunjukkan
bahwa, bagi Akbar, Golkar adalah sarana, sedangkan tujuannya adalah masyarakat.
Dengan demikian, tugas menjadi politisi adalah mengurus masyarakat agar dapat
sejahtera. Jika yang terjadi adalah politisi yang sejahtera sedangkan
masyarakat terutama yang menjadi basis konstituennya tidak sejahtera, maka
telah terjadi pengingkaran. Wallahu a’lam
bish-shawab.
Postingan terkait:
Belum ada tanggapan untuk "Belajar Politik dari Akbar Tandjung"
Posting Komentar