MEA dan Tantangan Baru Dunia Sekolah

Memasuki Tahun 2016, persaingan tenaga kerja akan semakin ketat sehubungan dengan pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN atau Pasar Bebas ASEAN. Indonesia dan negara-negara di wilayah Asia Tenggara bersepakat membentuk sebuah kawasan baru terintegrasi yang dikenal sebagai Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Konsep ini tidak hanya memberi implikasi pada sektor perdagangan sebagai spirit utama pembentukannya. Tetapi juga akan mempengaruhi semua sektor kehidupan, termasuk sektor pendidikan secara makro dan dunia persekolahan secara mikro. Sekolah, sebagai “rumah produksi” sumber daya manusia  harus dapat melakukan pembaharuan-pembaharuan sehingga dapat memposisikan diri sebagai rumah produksi yang dapat menghasilkan SDM yang berkualitas dan mampu berkompetisi. Jika tidak, maka sekolah hanya akan menjadi wahana pembentukan human resources without skills yang pada gilirannya akan menambah jumlah pengangguran.

Konsep MEA  (Masyarakat Ekonomi ASEAN)

MEA adalah sebuah agenda integrasi ekonomi negara-negara ASEAN yang bertujuan untuk menghilangkan, atau meminimalisasi hambatan-hambatan di dalam melakukan kegiatan ekonomi lintas kawasan, misalnya dalam perdagangan barang, jasa, dan investasi. Dikatakan oleh Irman Gusman (21/12/2015) bahwa melalui MEA, akan terjadi integrasi sektor ekonomi yang meliputi free trade area, penghilangan tarif perdagangan antar-negara ASEAN, pasar tenaga kerja dan modal yang besar, pertumbuhan konsumsi, dan iklim investasi yang makin baik. Hal ini dilakukan agar daya saing Asean meningkat serta bisa menyaingi Cina dan India untuk menarik investasi asing.  Tujuan utama MEA adalah menghilangkan secara signifikan hambatan-hambatan kegiatan ekonomi lintas kawasan Asia Tenggara, yang diimplementasikan melalui 4 pilar utama, yaitu ; Pertama, ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi internasional (single market and production base) dengan elemen aliran bebas barang, jasa, investasi, tenaga kerja terdidik dan aliran modal yang lebih bebas. Kedua, ASEAN sebagai kawasan dengan daya saing ekonomi yang tinggi (competitive economic region), dengan elemen peraturan kompetisi, perlindungan konsumen, hak atas kekayaan intelektual, pengembangan infrastruktur, perpajakan, dan e-commerce. Ketiga, ASEAN sebagai kawasan dengan pengembangan ekonomi yang merata (equitable economic development) dengan elemen pengembangan usaha kecil dan menengah, dan prakarsa integrasi ASEAN untuk negara-negara CMLV (Cambodia, Myanmar, Laos, dan Vietnam). Keempat, ASEAN sebagai kawasan yang terintegrasi secara penuh dengan perekonomian global (integration into the global economy) dengan elemen pendekatan yang koheren dalam hubungan ekonomi di luar kawasan, dan meningkatkan peran serta dalam jejaring produksi global.

Salah satu karakteristik dari MEA adalah pasar tunggal dan rumah produksi tunggal, dengan 5 (lima) unsur utama, yaitu; (1) aliran barang yang bebas, (2) aliran jasa yang bebas, (3) aliran investasi yang bebas, (4) aliran modal yang lebih bebas, dan (5) aliran tenaga kerja ahli yang bebas (Rizky Satya M, 2015). Situasi ini ibarat dua sisi mata uang bagi dunia persekolahan di Indonesia. Pada satu sisi menjadi opportunity yang baik untuk menunjukkan kualitas dan kuantitas produk dan sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang merupakan output sekolah kepada negara-negara lain dengan terbuka, tetapi pada sisi yang lain dapat menjadi boomerang apabila tidak mampu memanfaatkannya dengan baik dengan cara meningkatkan kualitas manajemen sekolah. Dalam konteks MEA, aliran barang yang bebas masuk antar negara menjadi ruang masuknya berbagai media dan sumber belajar ke sekolah. Dan bisa jadi media dan sumber belajar tersebut lebih menarik dari pada media dan sumber belajar yang telah tersedia di sekolah. Maka dibutuhkan skill atau keterampilan dalam rangka pemanfaatan media dan sumber belajar tersebut serta kemampuan untuk melakukan sorting atas media dan sumber belajar yang memberikan dampak (positif dan negatif) bagi peserta didik. Disamping itu, terbukanya akses secara bebas bagi aliran jasa dan investasi, memungkinkan tumbuhnya sekolah-sekolah baru di dalam negeri tetapi berlabel internasional dengan status kepemilikan negara lain. Afeknya adalah menguatnya kompetisi dalam pemberian layanan jasa dan investasi dibidang pendidikan khususnya dunia sekolah. Dalam konteks ini, maka kualitas layanan sekolah harus dapat ditingkatkan untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat. Selanjutnya, efek domino dari aliran jasa dan investasi secara bebas adalah aliran tenaga kerja yang bebas pula. Di Indonesia, tidak semua lulusan sekolah melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi. Ada sebagian yang memutuskan untuk mencari kerja, dan angka persentasinya masih tinggi yaitu sekitar 70 %. Membanjirnya secara bebas tenaga kerja dari luar negeri menjadi tantangan tenaga kerja dalam negeri. Oleh karena itu sekolah sebagai “kawah candradimuka” tenaga kerja (khususnya alumni SMA sederajat) dituntut untuk dapat meningkatkan kualitas lulusan sehingga dapat bersaing dalam pasar tenaga kerja dalam konteks MEA. Jika tidak, maka MEA bukan menjadi momentum pendistribusian tenaga kerja Indonesia ke luar negeri (khususnya ASEAN), tetapi justru sebaliknya, menjadi momentum bagi negara lain untuk merebut pasar kerja dalam negeri.

Tantangan Baru Dunia Sekolah

Dihilangkannya batas-batas antar negara dalam kawasan ASEAN sebagai konsekuensi dari pembentukan MEA, menjadikan barang, jasa, investasi, modal, dan tenaga kerja ahli mengalir secara bebas. Situasi ini memberikan implikasi pada dunia sekolah. Pada aspek kelembagaan, penyelenggara sekolah akan berkembang, bukan hanya oleh negara dan masyarakat (melalui yayasan), tetapi bisa jadi negara-negara lain (dalam kawasan ASEAN) serta masyarakat ASEAN sendiri akan ikut menjadi penyelenggara sekolah di Tanah air. Maka kedepan kita akan mengenal adanya SD Singapura, SMP Thailand, SMA Malaysia, atau SMK Kelautan Filipina di seluruh pelosok tanah air. Sekolah-sekolah tersebut sudah tentu dengan tampilan fisik yang menarik, megah dan nyaman, kurikulum standar internasional, media dan sumber belajar yang lebih lengkap, serta tenaga pengajar yang kompeten dan profesional. Pada aspek media dan sumber belajar, sekolah-sekolah dalam negeri akan kebanjiran media dan sumber belajar dari negara lain dan mungkin lebih menarik, efektif tetapi dengan harga yang terjangkau. Pada aspek tenaga pengajar, tidak mustahil bahwa guru yang akan mengajar pada sekolah-sekolah dalam negeri adalah guru dari negara lain. Banyaknya sekolah yang kekurangan guru, bisa jadi menjadi ruang masuknya tenaga pendidik asing karena pertimbangan kompetensi, profesionalitas dan tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Demikian juga pada aspek kesiswaan, sekolah-sekolah tidak boleh menutup diri hanya menerima siswa dalam negeri. Tetapi harus lebih membuka diri, karena bisa jadi akan ada peserta didik dari Vietnam, Laos, Kamboja, dan lain sebagainya yang ikut bersekolah di dalam negeri karena mengikuti orang tuanya yang bekerja di Indonesia.

Situasi ini mewajibkan dunia sekolah harus segera berbenah. Jika tidak maka bisa jadi kedepan peserta didik akan lebih melirik sekolah-sekolah dengan label kelas internasional atau sekolah-sekolah asing di dalam negeri. Oleh karena itu, dunia sekolah dihadapkan pada 3 (tiga) tantangan baru yang harus segera direalisasikan. Pertama, membangun karakter. Kata karakter seringkali diartikan dengan tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain. Orang berkarakter berarti orang yang berkepribadian, berprilaku, bersifat, bertabiat atau berwatak. Thomas Lickona mendefinisikan karakter sebagai “a reliable inner disposition to respond to situations in amorally good way”. Membangun karakter berarti membentuk watak dan kepribadian peserta didik menjadi lebih baik; membiasakan peserta diri merespon berbagai peristiwa dengan cara-cara yang baik secara moral. Dengan membangun karakter, peserta didik akan memiliki kemandirian serta kemampuan dalam menangkal berbagai pengaruh lingkungan yang bernilai negatif. Karakter yang akan dikembangkan disekolah dapat digali dari nilai-nilai kearifan budaya yang sangat dekat dengan kultur peserta didik. Kedua, membangun kompetensi. Merupakan seperangkat pengetahuan dan keterampilan yang harus dimiliki dan diaktualisasikan dalam dunia kerja. Istilah lain dari kompetensi adalah ke-bisa-an atau abless. Membangun kompetensi dalam dunia sekolah berarti memberikan kemampuan dan ketrampilan (seperti; ketrampilan berbahasa asing, computer, dll) kepada peserta didik sebagai bekal memasuki dunia kerja. Dengan demikian, output sekolah disiapkan untuk berkompetisi merebut dunia kerja, bukan untuk menambah pengangguran. Ketiga, membangun budaya. Membangun budaya di sekolah berarti membangun ide-ide, gagasan, nilai dan norma, aturan, dan sebagainya yang bersifat abstrak. Kultur dibangun dengan pendekatan edukasi, bukan indoktrinasi. Sehingga seluruh komponen sekolah merasa bertanggung untuk merealisasikan ide-ide, gagasan, nilai dan norma tersebut tanpa merasa terpaksa. Wujud dari budaya yang terbangun adalah organisasi belajar yang hasilnya adalah prestasi belajar.

Mewujudkan ketiga hal tersebut adalah tantangan bersama, bukan hanya pemerintah. Dibutuhkan kesadaran bahwa efek dari MEA akan dirasakan langsung oleh seluruh masyarakat. Oleh karena itu, tanggung jawab untuk berpartisipasi dan mempersiapkan diri menjadi milik bersama. Wallahu a’lam bish-shawab

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "MEA dan Tantangan Baru Dunia Sekolah"

Posting Komentar