Ilustrasi |
Wakatobi
kini telah memasuki usia ke-15 semenjak berpisah dari induknya Kabupaten Buton
pada tanggal 18 Desember 2003 lalu. Jika usia ini kita bawa pada ranah
perkembangan anak sebagaimana konsep Piaget, maka perkembangan Wakatobi kini telah
memasuki tahap operasional formal (umur 11/12-18 tahun). Ciri pokok
perkembangan anak pada tahap ini adalah mampu berpikir abstrak dan logis dengan
menggunakan pola pikir “kemungkinan”. Model berpikir ilmiah dengan tipe hipothetico-deductive
dan inductive sudah mulai dimiliki anak, dengan kemampuan menarik
kesimpulan, menafsirkan dan mengembangkan hipotesa. Ada tiga cara kerja anak
pada usia ini, yaitu bekerja secara efektif dan sistematis, menganalisis secara
kombinasi dan proporsional, serta menarik kesimpulan. Tetapi, Wakatobi bukanlah
subyek aktif sehingga dapat diharapkan berpikir dan bertindak sebagaimana anak
usia tahap operasional formal. Wakatobi sejatinya adalah “perahu” sehingga yang
diharapkan adalah awak perahulah yang akan berpikir dan bertindak sebagaimana konsep
Piaget. Sebagai perahu, Wakatobi memiliki juragan, sawi, dan koki,
ketiga personil inilah yang diharapkan dapat bekerja secara efektif dan
sistematis serta berpikir secara proporsional untuk membawa Wakatobi melangkah
maju lebih jauh ke depan. Tentu, harus ada kesadaran bahwa kemajuan yang
dicapai Wakatobi hari ini bukanlah sesuatu yang terjadi secara kebetulan, juga
tidak diperankan oleh hanya sekelompok orang saja, tetapi ada banyak aktor dan
faktor yang terlibat di dalamnya. Pada konteks inilah pentingnya menatap Wakatobi
melalui tiga sudut pandang.
Sudut Pandang
Masa Lalu
Dalam perspektif masa
lalu (historis), Wakatobi yang kita
kenal saat ini dapat kita ketahui melalui tiga istilah. Pertama, liwuto pasi yang
artinya pulau karang. Istilah ini digunakan pada masa kesultanan Buton untuk
menyebut empat pulau yang berjejer membentang di bagian timur pulau Buton. Pada
awalnya disebut dengan Liwuto Patanguuna
(Bahasa Wolio) atau pulau empat, kemudian dipopulerkan dengan liwuto pasi (Hamid, AR; 2015). Kedua, Barata Kaledupa. Dalam Bahasa Wolio,
istilah barata berarti pengikat atau
ikatan pada perahu yang bercadik ganda. Ikatan yang mempertemukan antara cadik
perahu dengan badan perahu disebut barata.
Penggunaan istilah barata terkait
dengan sistem pertahanan Kesultanan Buton yang diibaratkan dengan perahu
bercadik. Barata Kahedupa dan barata Kulisusu adalah penyeimbang atau
sistem pertahanan pada bagian timur, sedangkan barata Tiworo dan Muna adalah sistem pertahanan yang menjaga
keseimbangan Kesultanan Buton pada bagian barat. Hal ini sangat terkait dengan
posisi Buton yang tidak pernah luput dari pengaruh Kesultanan Ternate dari arah
timur dan pengaruh Kesultanan Gowa diarah barat. Mengenai hal ini, Suzanto
Zuhdi (2010) menyebut posisi Gowa terhadap Buton berada di arah haluan (rope), sedangkan posisi Ternate berada
di arah buritan (wana). Disebut barata Kahedupa, karena pusat
pemerintahan berada di kahedupa yang wilayahnya mencakup pulau Tomia, Binongko,
Wangi-Wangi.
Ketiga, Kepulauan Tukang Besi. Istilah ini digunakan pada masa penjajahan Belanda. Penamaan tukang besi berkaitan dengan tradisi pandai besi masyarakatnya sejak dahulu yang diturunkan secara turun temurun hingga kini. Dalam suatu kunjungan, seorang berkebangsaan Belanda bernama Hoger di Pulau Binongko, menyaksikan masyarakatnya pandai membuat alat-alat dari besi. Sepanjang perjalanannya dipulau itu, Hoger mendengar bunyi-bunyi patukan besi oleh pandai besi yang sedang mengolah besi menjadi beragam alat kebutuhan sehari-hari, utamanya parang dan pisau dalam berbagai ragam dan rias serta ukuran. Seakan ada pertunjukan yang sedang berlangsung. Suasana seperti itu berlangsung hampir sepanjang hari, pagi hingga sore, dan bahkan ada pula yang melakukan aktivitas itu hingga malam hari. Atas dasar itulah, daerah yang dikunjungi Hoger ini diberi nama Toekang Besi Eilanden. Fakta lain dapat pula dijumpai dalam sebuah peta yang dibuat pada paruh kedua abad ke-19 oleh Ligvoet yang dimuat dalam Beschrijving en Geschiedenis van Boeton, gugusan pulau-pulau ini dinamakan Toekang Besi Eilanden.
Nampaknya, penggunaan tiga term dalam penamaan Wakatobi pada masa lalu, lebih disebabkan oleh faktor letak geografisnya, peran yang dimainkan pada masa kesultanan, dan skill yang dimiliki oleh penduduknya. Faktor geografis misalnya dapat kita lihat pada penggunaan istilah Liwuto pasi, faktor peran nampak pada posisinya sebagai penanggung jawab keamanan laut pada wilayah bagian timur kesultanan, sedangkan faktor skill terkait dengan kemahiran masyarakatnya (terutama di Binongko) dalam mengolah bahan baku besi menjadi berbagai peralatan yang dibutuhkan dalam masyarakat. Dengan demikian, term Wakatobi pada masa lampau lebih ‘dibentuk’ oleh masyarakat luar (the outsider), bukan oleh masyarakat Wakatobi sendiri (the insiders).
Ketiga, Kepulauan Tukang Besi. Istilah ini digunakan pada masa penjajahan Belanda. Penamaan tukang besi berkaitan dengan tradisi pandai besi masyarakatnya sejak dahulu yang diturunkan secara turun temurun hingga kini. Dalam suatu kunjungan, seorang berkebangsaan Belanda bernama Hoger di Pulau Binongko, menyaksikan masyarakatnya pandai membuat alat-alat dari besi. Sepanjang perjalanannya dipulau itu, Hoger mendengar bunyi-bunyi patukan besi oleh pandai besi yang sedang mengolah besi menjadi beragam alat kebutuhan sehari-hari, utamanya parang dan pisau dalam berbagai ragam dan rias serta ukuran. Seakan ada pertunjukan yang sedang berlangsung. Suasana seperti itu berlangsung hampir sepanjang hari, pagi hingga sore, dan bahkan ada pula yang melakukan aktivitas itu hingga malam hari. Atas dasar itulah, daerah yang dikunjungi Hoger ini diberi nama Toekang Besi Eilanden. Fakta lain dapat pula dijumpai dalam sebuah peta yang dibuat pada paruh kedua abad ke-19 oleh Ligvoet yang dimuat dalam Beschrijving en Geschiedenis van Boeton, gugusan pulau-pulau ini dinamakan Toekang Besi Eilanden.
Nampaknya, penggunaan tiga term dalam penamaan Wakatobi pada masa lalu, lebih disebabkan oleh faktor letak geografisnya, peran yang dimainkan pada masa kesultanan, dan skill yang dimiliki oleh penduduknya. Faktor geografis misalnya dapat kita lihat pada penggunaan istilah Liwuto pasi, faktor peran nampak pada posisinya sebagai penanggung jawab keamanan laut pada wilayah bagian timur kesultanan, sedangkan faktor skill terkait dengan kemahiran masyarakatnya (terutama di Binongko) dalam mengolah bahan baku besi menjadi berbagai peralatan yang dibutuhkan dalam masyarakat. Dengan demikian, term Wakatobi pada masa lampau lebih ‘dibentuk’ oleh masyarakat luar (the outsider), bukan oleh masyarakat Wakatobi sendiri (the insiders).
Sudut Pandang Masa Kini
Pada masa kini, gugusan pulau-pulau karang yang semula di
istilahkan dengan liwuto pasi ini, lebih
familiar dengan istilah Wakatobi. Penamaan ini terutama ketika menjadi otonom
(mekar) dari induknya Kabupaten Buton lima belas (15) tahun yang lalu. Istilah
Wakatobi sendiri merupakan singkatan nama dari empat pulau utama, yaitu;
Wangi-wangi (Wa), Kaledupa (Ka), Tomia (To), dan Binongko (Bi).
Penggabungan dari empat singkatan nama masing-masing pulau tersebut membentuk
kata Wakatobi. Semula, kurang begitu dikenal. Hal ini disebabkan oleh karena, selama
ratusan tahun lamanya berada dibawah bayang-bayang kebesaran Kesultanan Buton,
dan selama puluhan tahun berada dibawah kebesaran nama Kabupaten Buton.
Menatap Wakatobi masa kini dapat dimulai dengan melihat perubahan
visi pembangunan daerah dari “terwujudnya surga nyata bawah laut” ke “terwujudnya
kabupaten maritim”. Visi pertama melihat potensi sumber daya alam Wakatobi
sebagai aset yang sangat bernilai untuk memajukan sektor pariwisata, terutama
wisata bahari. Hal ini kemudian dibuktikan dengan upaya yang serius dan
menjadikan sektor pariwisata sebagai sektor andalan daerah. Program promosi dan
sosialisasi mengenai potensi wisata terus digalakan secara masif dan
terstruktur hingga ke mancanegara. Puncaknya adalah pada akhir tahun 2015 lalu,
Wakatobi ditetapkan masuk menjadi top ten destinasi pariwisata
Indonesia. Visi kedua sedikit mengalami pergeseran, Wakatobi dilihat sebagai
daerah yang memiliki sejumlah potensi pada sektor kemaritiman. Pada konteks
ini, potensi keindahan bawah laut yang semula menjadi primadona justru dilihat
sebagai bagian integral dari potensi kemaritiman itu. Memaksimalkan potensi
kemaritiman berarti memajukan tiga sektor andalan daerah sekaligus, yakni potensi
kelautan dan perikanan, potensi pelayaran dan perdagangan maritim, serta
potensi pariwisata bahari. Hal ini sangat logis mengingat bahwa, Wakatobi berada pada posisi silang bahari nusantara. Posisi ini sangat
strategis karena menghubungkan jalur perdagangan barat khususnya daerah Jawa,
Bali, dan Nusa Tenggara dengan jalur timur, yaitu daerah Maluku, Maluku Utara,
dan Papua; serta menghubungkan jalur perdagangan luar negeri, khususnya Timur
Leste dan Australia di bagian utara, dan Kepulauan Sulu Filipina dan Kepulauan Palau
di bagian selatan. Posisi Wakatobi semakin lengkap karena berada pada
persinggungan dengan Laut Banda, sehingga memiliki sumber daya laut yang melimpah.
Pada konteks ini, ada banyak potensi bahari yang dapat dikembangkan; potensi
perikanan tangkap dan potensi perikanan budidaya, teripang, rumput laut,
lobster, kepiting, dan lain sebagainya.
Upaya pemanfaatan potensi kemaritiman kini
terus digalakan, salah satu bukti konkrit dari upaya tersebut adalah
pelaksanaan symposium kemaritiman pada akhir 2017 lalu, dengan memilih topik “membangun
skenario Laut Banda sebagai ruang sejahtera bersama”. Semua daerah-daerah yang bersinggungan
langsung dengan Laut Banda diundang untuk “duduk bersama” guna mendiskusikan langkah
pemanfaatan potensi Laut Banda sehingga menghadirkan kesejahteraan masyarakat.
Langkah selanjutnya adalah persiapan pembangunan pelabuhan penyeberangan untuk
menghubungkan Pulau Wangi-Wangi, kaledupa, hingga Tomia, dan Binongko. Sarana
dan prasarana pada sektor kelautan dan perikanan juga terus dibenahi dan
dimaksimalkan, demikian halnya dengan infrastruktur pada sektor pariwisata.
Tentu, mengukur keberhasilan ikhtiar tersebut bukanlah sekarang, butuh waktu lima
hingga sepuluh tahun kedepan untuk membuktikanya.
Sudut
Pandang Masa Depan
Bagaimana wajah Wakatobi di masa depan? Jawabannya,
“Wakatobi di masa
depan menjadi Kabupaten Maritim yang unggul dan berdaya saing”. Paling tidak,
hal ini nampak pada visi kepemimpinan baru saat ini. Tentang apakah visi ini
akan terealisasi secara maksimal atau tidak, semuanya sangat tergantung pada
kinerja pemerintahan daerah. Tetapi, sebagai pijakan awal dalam perwujudan “negeri
maritim”, teori Mahan (1890) dapat dijadikan acuan. Mahan merumuskan enam
elemen pendukung suatu negara dapat berkembang menjadi negara maritim. Enam
elemen tersebut dibagi menjadi dua bagian. Tiga elemen pertama berkaitan dengan
kondisi alam, yakni; (1) posisi geografi, (2) kondisi wilayah, serta (3) luas
wilayah teritorial. Sedangkan tiga elemen lainnya menyangkut penduduk, yaitu;
(1) jumlah penduduk; (2) karakter/kebijakan nasional; dan (3) kebijakan
pemerintah. Selanjutnya dikatakan bahwa ada dua kekuatan laut untuk membangun
sebuah negara maritim, dengan daya jangkau wilayah operasi yang berbeda, namun
tujuannya sama untuk mengamankan kepentingan ekonomi negara maritim. Kekuatan
laut yang dimaksud adalah naval power
dan sea power. Naval Power adalah armada laut kerajaan/negara yang dioperasikan di
kawasan laut dalam batas wilayah teritorial suatu negara; sedangkan Sea Power ialah bentuk penguasaan
wilayah laut dengan menggunakan armada laut yang tangguh, yang dipertuntukkan
pada kawasan laut yang strategis, terutama untuk menjamin kelancaran pelayaran
dan perdagangan luar negeri (Hamid, AR, 2015: 23-27).
Jika teori Mahan dibawa dalam konteks perwujudan Wakatobi
sebagai kabupaten maritim, maka enam elemen sebagaimana yang disyaratkan telah
dipenuhi. Posisi geografis Wakatobi yang berada pada silang perdagangan
nusantara, kondisi wilayahnya yang sebagian besar adalah lautan yang kemudian
berpengaruh pada luas wilayah teritorialnya merupakan potensi utama yang
dimiliki oleh Wakatobi. Demikian halnya dengan penduduk yang sebagian besar
mengorientasikan hidupnya pada sektor pelayaran dan perdagangan maritim. Elemen
yang perlu dimaksimalkan saat ini adalah kebijakan pemerintah daerah bagaimana
menumbuhkan industri yang berkaitan dengan kebutuhan dan produksi barang untuk
menjamin keberlangsungan perdagangan maritim. Pada konteks ini keterampilan
pandai besi sebagai identitas utama masyarakat Wakatobi dapat dimaksimalkan. Demikian
pula kebijakan pada sektor kelautan dan perikanan masih banyak yang perlu
perhatian, seperti wilayah penangkapan dan pengelolaan hasil laut, pemberdayaan
nelayan, perikanan budidaya, pembangunan tempat pelelangan ikan (TPI), pembangunan
pabrik es dan balai benih, dan lain sebagainya. Sedangkan pada aspek
transportasi laut, pembenahan dan pengelolan pelabuhan, serta penambahan dan pengaturan
rute pelayaran juga sangat mendesak untuk dilakukan. Jika elemen-elemen tersebut
dapat dimaksimalkan, maka tidak mustahil bahwa dalam jangka waktu lima tahun
kedepan “buah” dari Kabupten Maritim akan dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat
Wakatobi.
Bagaimana dengan pariwisata? Nampaknya, ikhtiar memajukan sektor pariwisata masih
membutuhkan kerja ekstra. Jika hanya mengandalkan potensi pariwisata bahari,
daerah-daerah lain semacam Buton Tengah, Baubau, Buton, Muna dan Muna Barat,
serta Konawe Utara dan Konawe Kepulauan kini sedang memaksimalkan potensi wisata
bahari yang mereka miliki. Belum lagi daerah-daerah luar Sultra semacam Raja
Ampat, Labuan Bajo, Berau, Kep. Morotai, Kep. Anambas, dan lain sebagainya. Wakatobi
karenanya, meski menunjukkan potensi khas yang dimiliki dan tidak dimiliki oleh
daerah lain. Wisata bahari mesti dipadukan dengan wisata kuliner dan wisata
alam serta budaya. Problemnya adalah biaya hidup di Wakatobi tergolong mahal,
mulai dari harga makanan, penginapan, dan jasa transportasi. Pada konteks ini,
pengembangan pariwisata tidak boleh berjalan sendiri, meski berjalan beriringan
dengan sektor lain terutama kelautan dan perikanan, serta pelayaran/perhubungan
dan perdagangan maritim. Akhirnya, selamat ulang tahun Wakatobi yang ke-15. Teruslah bersinar
menuju Kabupaten Maritim yang Unggul dan Berdaya Saing. Wallahu a’lam bish-shawab.
Numana, 18-12-18
Belum ada tanggapan untuk "MENATAP WAKATOBI MELALUI TIGA SUDUT PANDANG (Refleksi hari ulang tahun ke-15)"
Posting Komentar