Ilustrasi (kabar.salmanitb.com) |
Bagi kaum muslimin, Idul Adha bukan hanya menjadi momentum
penyempurnaan keislaman dengan menunaikan ibadah haji (bagi yang mampu), tapi
juga adalah kesempatan untuk mewujudkan kecintaan dan ketaatan kepada sang
khalik dengan jalan berkurban. Kewajiban ini diabadikan dalam Al-Qur’an surah
Al-Kautsar ayat 1-3 yang maknanya, “Sesungguhnya Kami telah memberikan
kepadamu nikmat yang banyak; Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan
berkorbanlah; Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus”.
Apa yang dikorbankan adalah hewan ternak (kambing, sapi, kerbau, domba, unta,
dll) yang memenuhi syarat telah berusia dewasa, sehat secara fisik, tidak
cacat, serta tidak kurus. Penemuhan syarat tersebut adalah hal mutlak untuk menegaskan
kadar keseriusan seseorang dalam melaksanakan ibadah kurban.
Perspektif Sejarah
Ibadah kurban bukanlah
ritual tanpa makna, bukan juga ibadah tanpa nilai. Ibadah kurban tidak dapat
dilepaskan dari kisah pengorbanan yang telah dilakoni oleh keluarga Nabi
Ibrahim AS dengan anaknya Nabi Ismail AS. Disebutkan dalam Al-Qur’an bahwa
ketika berhijrah meninggalkan kaumnya yang menyembah patung-patung berhala,
Nabi Ibrahim selalu berdo’a “Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku seorang
anak yang termasuk orang-orang yang shaleh” (ash-Shaffat:100). Pada
akhirnya Allah mengabulkan doanya dengan menganugerahkan kepadanya seorang anak
yang sangat sabar dan santun, yang diberi nama Ismail. Namun, setelah anak itu
tumbuh remaja, Allah memerintahkan kepada Ibrahim untuk menyembelih putra
kesayangannya itu. Perintah penyembelihan itu disampaikan oleh Allah melalui
mimpi (dijelaskan dalam Al-Qur’an surah ash-Shaffat : 102). Ketika mimpi itu
diterima dan dibenarkan, Ibrahim tidak bertindak otoriter kepada anaknya.
Ibrahim justru berlaku bijak dengan mengajak anaknya berdialog. Dalam dialog
itu, Ibrahim menyampaikan perintah Allah melalui mimpinya, lalu meminta
pendapat Ismail. Mendengar mimpi itu, Ismail tidak menolak. Sebagai anak yang
shaleh, Ismail ikut membenarkan mimpi itu, dan menyampaikan kepada sang ayah
untuk segera mengerjakan apa yang diperintahkan Allah kepadanya.
Dalam suasana yang
sangat haru dan tegang, ketika Ibrahim hendak menunaikan perintah itu, Allah
mengganti Ismail dengan seekor kibas besar yang dibawa oleh malaikat, seperti
yang dinyatakan dalam al-Qur’an Surah Ash-Shaffat ayat 104-111, “Dan Kami
panggillah dia: "Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi
itu sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang
berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor
sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di
kalangan orang-orang yang datang kemudian. (yaitu)"Kesejahteraan
dilimpahkan atas Ibrahim". Demikianlah Kami memberi balasan kepada
orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang
beriman”.
Tindak lanjut dari kisah
pengorbanan Ibrahim, Allah SWT mensyariatkan umat Islam bagi yang mampu untuk
melaksanakan kurban setahun sekali pada hari raya idul adha. Berkurban adalah
menyembelih hewan ternak dengan syarat-syarat yang telah ditentukan. Bagi
Ibrahim, Ismail adalah hartanya yang paling berharga, paling mahal, paling
dicintai, dan paling segalanya. Mengapa justru harta yang paling berharga yang
harus dikorbankan? Allah ingin menyampaikan kepada Ibrahim bahwa kecintaan
kepada hal-hal duniawi adalah semu, semua pasti akan berakhir. Apapun yang
menjadi kecintaan dan kebanggaan kita di dunia tidak akan dibawa mati. Maka
yang harus utama adalah kecintaan kepada Allah. Hewan ternak yang kita
korbankan adalah simbolisasi harta yang paling kita cintai. Itulah sebabnya,
hewan kurban disyaratkan harus telah dewasa, sehat jasmani, tidak cacat, dan
tidak kurus. Ibadah kurban, yang dinilai adalah ketulusan niatnya, keikhlasan
menghambakan diri kepada sang pencipta. Jika belum dewasa, kurang sehat, cacat,
serta kurus, maka akan nampak ketidak ikhlasan kita dalam berkurban. Dengan
demikian, watak universal ibadah kurban terletak pada dimensi pembebasannya, pembebasan
melawan dominasi, melawan keangkuhan, melawan keserakahan, serta pembebasan
melawan kecintaan pada dunia yang berlebihan.
Nilai Edukasi
Berkurban adalah peristiwa simbolis yang sarat dengan muatan
hikmah. Ibrahim bisa jadi adalah kita yang sibuk dan larut mengejar kecintaan
pada urusan duniawi. Ada yang sibuk mengejar pangkat atau kedudukan lalu bangga
karena telah memilikinya, ada yang mengejar materi lalu berlaku pamer setelah berkelebihan,
ada yang bangga karena dekat dengan penguasa lalu sibuk menebar ancaman mutasi
bagi koleganya, ada juga yang sibuk membranding diri dengan segala macam
pencitraan guna mengejar popularitas. Semua itu adalah aspek duniawi yang pada
hakikatnya adalah semu, tidak kekal. Dengan demikian, semua orang dapat saja
berperan sebagai Ibrahim yang memiliki Ismail. Ismail yang kita miliki dapat saja
berwujud sebagai anak yang kita sayangi, isteri yang cantik, harta benda yang melimpah,
rumah yang mewah, amal usaha yang banyak, pangkat, jabatan, dan kedudukan yang
tinggi. Singkat kata, segala apa yang kita cintai, yang kita dambakan, yang
kita bangga-banggakan, yang kita kejar-kejar dengan rela mempertaruhkan semua
yang kita miliki, bahkan harus menyogok sekalipun adalah “Ismail” bagi kita. Ismail-Ismail
yang kita miliki itu, kadang membuat kita terlena dan terbuai oleh gemerlapnya
kehidupan duniawi yang menyebabkan kita berani melanggar ketentuan moral, etika
dan agama. Pada situasi demikian, kita pun lupa mengingat Tuhan.
Berkurban mengajak kita berperan sebagai Ibrahim untuk dapat
menaklukkan Ismail-Ismail itu. Sehingga dalam hidup ini, tidak ada yang lebih
penting dan lebih membanggakan selain taqarrub ilallah, mendekatkan diri
kepada Allah. Anak dan istri yang selalu kita banggakan, pangkat dan jabatan
yang tinggi, harta yang melimpah, usaha yang sukses, adalah “Ismail-Ismail yang
kita miliki. Ibadah Kurban mengajak kita untuk melawan hegemoni kecintaan kita
kepada aspek-aspek materi tersebut, dan pada saat yang sama kita diajak untuk
membangkitkan kecintaan kepada aspek yang wujudnya tidak nampak tetapi secara
substansi ada dan selalu ada. Ismail adalah materi, wujudnya ada namun akan
berakhir kembali kepada penciptanya. Sedangkan pencipta Ismail adalah zat yang
selalu ada meskipun tidak nampak secara kasat mata, dia kekal, abadi. Berkurban
dengan demikian mengajak kita untuk tidak terpedaya pada hubbuddunya
yang berlebihan sehingga lupa bertaqarrub kepada Allah.
Menyembelih hewan kurban adalah tindakan untuk menundukan kecenderungan-kecenderungan
hewani yang masih bercokol dalam diri kita. Kecenderungan-kecenderungan ini
muncul karena dorongan hawa nafsu dalam diri kita yang disebut dengan nafsu
amarah dan nafsu lawwamah. Kedua nafsu inilah yang selalu mendorong
manusia untuk melakukan hal-hal yang jahat dan keji sebagaimana prilaku
binatang. Berkurban adalah ikhtiar untuk menghilangkan kedua nafsu tersebut
sekaligus mengingatkan bahwa jalan menuju kebahagiaan membutuhkan pengobanan. Namun
yang dikorbankan bukan manusia, juga bukan nilai-nilai kemanusiaan. Yang
dikorbankan adalah binatang, yang sempurna lagi tidak cacat, sebagai indikasi
agar sifat-sifat kebinatangan yang sering bercokol pada diri kita harus singkirkan
serta dibuang jauh-jauh. Pada konteks ini, kepintaran menjadi
penting jika digunakan untuk melakukan pencerahan, pangkat dan kedudukan menjadi
urgen jika digunakan untuk memberdayakan, kekuasaan menjadi wajib jika
digunakan untuk mensejahterakan. Tetapi justru tidak bernilai jika kepintaran
hanya digunakan untuk membodohi, kedudukan hanya digunakan untuk menzalimi, dan
kekuasaan hanya digunakan untuk mewujudkan ambisi keserakahan. Allah
mengingatkan bahwa “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat
mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat
mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu
mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira
kepada orang-orang yang berbuat kebajikan (QS Al-Hajj; 37).
Berkurban karenanya yang diperlukan adalah ketulusan dalam niat
dan keikhlasan dalam ibadah. Nawaitu berkurban betul-betul untuk menghilangkan
nafsu-nafsu kebinatangan yang masih bercokol dalam diri kita yang seringkali
menjadi penghalang dalam mendekatkan diri kepada Allah. Disamping itu harus ada
keikhlasan, sehingga uang yang digunakan untuk membeli hewan kurban betul-betul
dari hasil usaha yang halalan-thayyiban. Semoga kita dapat memetik
hikmah. Wallahu a’lam bish-shawab
Numana, 20 Agustus 2018
Belum ada tanggapan untuk "NILAI EDUKASI IBADAH KURBAN "
Posting Komentar