Membicarakan ‘Anak Pulau’ seringkali kita lebih fokus pada apa yang
nampak saja, lalu kitapun lupa dengan aspek-aspek yang tidak nampak. Padahal,
sejatinya memahami mereka yang meninggali wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
di seantero nusantara, membutuhkan waktu untuk terlibat langsung dan mendalami
kehidupan mereka. Disitu, kita akan menemukan sejumlah kearifan yang seringkali
menjadi makna tersembunyi dari apa yang tidak tersembunyi. Munculnya stereotype bahwa suara anak pulau adalah
keras, perangai yang kasar, kulit yang ‘agak kelap’, dan lain-lain bisa jadi sebagai
akibat dari apa yang nampak dari personifikasi mereka. Lalu kita lupa bahwa
suara yang keras sebenarnya adalah bentukan alam, karena mereka tinggal
diwilayah pesisir dengan hembusan angin yang agak kencang; watak yang keras
serta kulit yang agak gelap juga adalah bentukan alam. Anak pulau, mengharuskan
mereka untuk menyeberangi dan mengarungi lautan, membendung arus, menantang
badai, menahan terik matahari dan menadah hujan. Gelombang yang tinggi dan hembusan
angin yang kencang adalah kekuatan mereka, sedangkan suara gemerisik ombak adalah
irama yang mengantarkan mereka ke tujuan. Dari proses rumit seperti inilah anak
pulau membangun eksistensinya, membentuk karakternya, serta merancang masa
depannya.
Salah satu aspek yang paling menonjol dari anak pulau adalah pengetahuan
bahari yang mereka miliki. Pengetahuan ini sangat lekat karena diperoleh
melalui pengalaman langsung (direct
experience). Bagi anak pulau, lautan adalah tempat hidup sekaligus tempat
mencari hidup. Agar mereka dapat hidup, mereka harus mampu menaklukan lautan,
dan untuk mencari hidup mereka memiliki seperangkat pengetahuan untuk memahami
setiap perubahan alam yang memudahkan mereka mendapatkan hasil laut (rezki)
yang melimpah. Seperti yang diperlihatkan oleh kelompok anak muda yang mendiami
wilayah pesisir bagian selatan pulau Wangi-Wangi. Mereka berasal dari Desa Liya
Togo, Kecamatan Wangi-Wangi Selatan Kabupaten Wakatobi. Bagaimana ceritanya?
Pada hari jumat (13/01/2017), bersama Kepala MTs Liya dan beberapa guru,
kami mengadakan bincang-bincang lepas di kantor MTs Liya (setelah siswa pulang
sekolah). Hasil diskusi bersepakat untuk bermalam minggu di Pulau Sumanga,
berangkat sabtu sore dan balik minggu sore. Menurut pertimbangan salah seorang
guru, malam minggu adalah waktu yang tepat. Petimbangannya adalah; pertama, pada hari minggu ada pesta
kampung di Liya, sehingga kemungkinan besar banyak nelayan yang tidak melaut. Situasi
ini akan memudahkan kami bebas memasang jaring. Kedua, malam minggu adalah bulan ke delapan belas. Pada bulan ke
delapan belas, bulan akan nampak pada sekitar jam sembilan malam, sehingga
waktu sesudah magrib bisa dimanfaatkan untuk memasang jerat ketam kenari.
Setelah malam mulai terang, dapat digunakan untuk memasang jaring, mencari
kepiting, atau memancing. Ketiga, air
laut sedang meti pada waktu pagi. Situasi ini dapat dimanfaatkan untuk memasang
jaring ‘banto. Cara memasang jaring
model ‘banto adalah menghalau arus
balik ikan hingga terjerat oleh air laut yang meti. Anak-anak pulau memahami
bahwa pada saat air laut sedang pasang, ikan-ikan dari laut dalam akan naik ke
wilayah pesisir atau laut dangkal guna mencari makanan, dan akan kembali ke laut
dalam setelah air mulai bergerak surut. Waktu memasang jaring ‘banto adalah pada puncak air pasang,
sedangkan waktu untuk mulai menggeser jaring yang semula melintang menjadi
melingkar adalah ketika air laut sudah mulai dangkal. Ketika air laut sudah kering,
disinilah saat untuk menangkap ikan-ikan yang sudah terjerat. Disamping
terjerat oleh jaring yang telah mengurungnya, juga akan tertangkap karena air
laut sudah kering. Selain karena tiga alasan tersebut, tentu juga karena hari
minggu adalah waktu libur.
Tiba waktu berangkat (sabtu, 14/05/2017), rombongan yang berangkat hanya
dua perahu dari semula direncanakan lima perahu. Satu perahu berangkat lebih dahulu,
untuk memasang jaring sebagai persiapan makan malam, sedangkan selebihnya
berangkat belakangan sambil menunggu dipelabuhan mengantisipasi ada teman yang
terlambat atau datang belakangan, lalu kemudian menyusul menjelang magrib. Ada
dua puluh jaring yang kami bawa, delapan milik La Sudi sedangkan dua belas lagi
milik La Rama. Setelah sampai di Pulau Sumanga, salah seorang teman yang sudah
lebih dulu sampai, menyampaikan bahwa mereka sudah selesai pasang jaring. Sebut
saja namanya La Ane, menjelaskan bahwa cara pasangnya adalah model lanto, yaitu teknik memasang jaring di
wilayah laut bagian dalam dengan maksud menghalau pergerakan ikan dari laut
dalam ke wilayah lamun atau sebaliknya dari wilayah lamun ke laut dalam. Posisi
jaring tidak melingkar, tetapi dipasang lurus mengikuti tubir-tubir karang laut
dalam. Selanjutnya dijelaskan bahwa model ini sekaligus menguji apakah ikan
akan banyak yang naik atau tidak. Dikatakan bahwa, jika hanya dengan memasang
delapan jaring kita bisa mendapatkan ikan banyak, maka berarti besok tidak
perlu memasang jaring ‘banto. Karena
ada dua puluh jaring yang dibawa, maka ‘anak pulau’ ini sangat yakin bahwa kami
bisa dapat ikan yang banyak. Ba’da magrib kami membuat api unggun, selain untuk
menghangatkan suasana yang semakin dingin dengan terpaan angin malam, juga
sebagai persiapan membakar ikan untuk santap malam.
Jam Sembilan malam, tiba saatnya membuka jaring. Satu orang berperan
sebagai pengendali perahu, satu menarik jaring dari perahu dan satunya lagi
menertibkan jaring di dalam perahu. Setelah sampai di pantai, kami lalu secara
beramai-ramai membuka ikan-ikan yang terjerat di jaring. Hasilnya, lumayan
banyak, karena setelah kami bakar dan jadikan santap malam, ternyata ikan-ikan
itu tidak habis. Pada saat itu, tiba-tiba salah seorang dari anak-anak pulau
ini mendekat lalu membisik, “pak guru, tidak perlu kita pasang jaring ‘banto, cukup kita lanto saja. Insya Allah, banyak ikan malam ini pak guru”. Saya lalu
bertanya, yakin? “Sangat yakin, cuaca yang teduh, pergerakan arus yang bagus, dua
puluh jaring yang akan kita pasang, dan hasil delapan jaring yang sudah
terpasang menjadi dasar keyakinan saya pak guru”, La Ato menjawab. Saya kembali
bertanya, apa hubungannya dengan arus? Ato menjelaskan bahwa, “biasanya,
pergerakan arus yang tidak beraturan membuat ikan lebih banyak berteduh di
terumbu karang, pada posisi seperti ini kita akan kesulitan mendapatkan ikan.
Tetapi jika pergerakan arus baik atau searah, maka ikan akan berkeliaran
mencari makan, sehingga akan memudahkan kita untuk menangkapnya melalui
jaring”. Malam ini pergerakan arus sangat bagus, sehingga Insya Allah kita akan
mendapatkan ikan yang banyak” , tutup Ato.
Sekitar jam sepuluh malam, saatnya membuat ketupat. Selain karena
perbekalan sudah mulai menipis, perbekalan lain yang kami bawa hanya beras,
sementara panci yang kami bawa tidak memungkinkan untuk menanak nasi. Solusi
terbaik adalah membuat ketupat. Jadilah La Sudi memanjat janur malam hari, lalu
membuat wadah ketupatnya. La Fitri membantu mencuci beras dan membantu mengisi
ketupat, sedangkan yang lainnya mengambil kayu bakar serta menyiapkan perapian.
La Rama lalu bercerita, “pak guru, syukur kita datang bermalam pada musim barat
pak guru. Seandainya musim timur, saya tidak berani datang, saya tobat. Saya
tidak mampu dengan banyaknya nyamuk.
Waktu itu pak guru, supaya saya bisa tidur, saya tanam diriku di pasir, lalu
wajahku saya tutup dengan sarung. Kalau tidak begitu, saya tidak akan bisa
tidur sampai pagi. Nyamuknya luar biasa”. Cerita tersebut juga dibenarkan oleh La
Sudi dan La Adam. Masing-masing lalu menceritakan pegalamannya di Pulau
Sumanga, mulai dari urusan memancing, mengambil kayu bakar, menyulum, mencari
teripang, dan lain-lain. Rasa kantuk tidak terasa, selain karena banyaknya
cerita pengalaman masing-masing, juga karena di iringi lantunan musik klasik
Malaysia yang menjadi lagu favorit mereka. Suasana semakin riuh, ketika sampai
pada lagu;
Dinginya angin, malam ini membasuh
tubuhku
Namun tidak dapat dinginkan
hatiku yang kau hangatkan
Terasa ketabahan keyakinanku
ini dengan sikapmu
Sementara aku ini insan
kekurangan senangnya kau mainkan…
Siapalah aku ini untuk
meminta buih yang memutih
Menjadi permadani seperti
mana yang tertulis dalam novel cinta
Juga mustahil bagiku
menggapai bintang dilangit menjadikan lentera
Syarat untuk milikimu semua
itu sungguh aku tiada mampu….
Ternyata salah satu teman, baru saja patah hati. Cinta yang dirajut
sekian lama dengan cewek pujaan hatinya asal pualu Binongko harus kandas karena
tidak di restui oleh orang tuanya. Bapaknya sebenarnya tidak masalah, tetapi
bagi ibunya hanya ada satu kata yang menjadi pilihan, tidak. Maka kandaslah
hubungan itu.
Jam 2 malam, ketupat selesai dimasak. Kini saatnya memasang jaring untuk
persiapan sarapan pagi. Tetap pilihannya adalah model lanto, dan kali ini jaring yang dipasang berjumlah dua puluh. Rama
kemudian bercanda, satu jaring satu ekor saja, berarti ada dua puluh ekor yang
terperangkap, apalagi kalau lebih. Insya Allah, kita akan mendapatkan ikan yang
banyak. Spontan yang lain menjawab, Amin. Kali ini, giliran Rama, Masi, dan Ato
yang memasang jaring. Yang lainnya stand
by di posko, dengan sejuta cerita dan iringan musik yang tiada henti.
Setelah kembali dari memasang jaring, gilirannya istirahat. Ada yang tertidur
di ayunan, ada yang hanya membentangkan daun kelapa lalu tidur disamping
perapian, ada yang tidur diatas pasir, dan ada yang tidur di gubuk-gubuk kecil
yang sengaja dibuat untuk tempat berteduh. Bagi anak pulau, tidur di alam
terbuka seperti ini adalah hal biasa karena sudah menjadi dunianya, termasuk
ketika harus tidur diatas perahu beratapkan langit sekalipun tidak menjadi
masalah.
Tiba waktu subuh, semua terbangun. Setelah menunaikan shalat subuh, kami
langsung berbagi tugas. Saya, bersama Masi dan Ato bertugas mengambil jaring
(bahasa lokalnya adalah folu) yang di lanto; Ane dan Rama, bertugas
mengambil air minum di pulau seberang, sedangkan yang lainnya menyiapkan api.
Saya sendiri bertugas mengendalikan perahu dari belakang, Ato mengarahkan
tempat pemasangan (lanto) jaring, dan
Masi menarik jaring ke perahu. Karena Masi berdiri ditengah perahu, maka sayapun
dapat menyaksikan banyaknya ikan-ikan yang terjerat pada jaring yang kami lanto. Setelah sampai di pantai, dan
persiapan membuka ikan-ikan yang bersarang di jaring, tiba-tiba Ane penarik
perahu dan menggayuhnya ke arah tanjung bagian utara. Disana ada sekumpulan
bakau, setelah sampai ia lalu membentangkan jaring dibantu oleh dua orang
anggota. Setelah dibentangkan dari arah barat dan timur, jaring lalu di seret
menyisir wilayah yang lebih dangkal. Dan ternyata, ikan bobara kecil dengan
jumlah yang sangat banyak, sudah terjerat semua di mata jaring. Setelah jaring
diangkat ke perahu, dia langsung kembali. Kami sementara membuka ikan yang
bersarang di jaring yang kami pasang jam dua malam sebelumnya. Saya sendiri
heran, Ane hanya membutuhkan waktu sekitar lima belas menit untuk melakukan
“eksekusi”. Ikan bobara itu sangat banyak, dan Ane menagkapnya sangat cepat.
Dia lalu bercerita, “saya tidak dapat semua secara maksimal, karena ukuran
jaring yang saya bawa agak kecil, seandainya saya bawa jaring yang ukurannya
lebih besar, maka pasti ikannya lebih banyak lagi”. Saya kemudian tersadar,
bahwa inilah salah satu sisi menariknya anak pulau. Mereka mampu menentukan
tempat ikan atau perkumpulan ikan hanya dengan melihat pergerakan air laut.
Apakah ada ikan atau tidak dan ikannya besar atau kecil, anak pulau cukup
melihat pergerakan air laut. Mereka dapat membedakan arus yang terbentuk karena
pergerakan ikan dengan arus biasa maupun gelombang.
Jadilah ikan sangat melimpah pagi itu. Sebagian dibakar, namun ada juga
yang dibuat perangi, makanan khas
anak pulau yaitu daging ikan di cincang lalu diberikan Lombok dan air perasan
jeruk nipis. Ikannya masak bukan karena panas, tapi masak karena ditaburi air
perasan jeruk nipis dalam jumlah yang banyak. Rasanya enak dan gurih, ada
kecut-kecut pedisnya, anak pulau sangat menyukai makanan ini. Sebenarnya,
perencanaan sebelumnya adalah, setelah sarapan pagi kami akan memanfaatkan
waktu untuk mencari kerang-kerang. Karena pagi itu meti sangat besar. Tapi
karena semua kekenyangan, terlalu banyak makan ikan, maka kami putuskan untuk
kembali, dan mengakhiri petualangan di Pulau Sumanga, sembari berencana untuk
kembali datang di lain waktu untuk ‘banto,
menyulum, mencari kerang-kerang, mencari kepiting atau memancing. Wallahu a’lam bish-shawab.
Belum ada tanggapan untuk "Sisi Menarik Anak Pulau"
Posting Komentar