Hikmah Jum'at
Ilustrasi Kursi Jabatan |
Dalam dua minggu belakangan, diskusi tentang jabatan seolah tidak
mengenal kata “the end”. Hal ini
terjadi karena beberapa daerah yang telah selesai melaksanakan hajatan pilkada
melakukan pelantikan pejabat struktural sebagai rangkaian dari langkah penataan
birokrasi. Struktur birokrasi yang menjadi penyokong utama pemerintahan pada
level daerah sedang dikonsolidasikan guna mewujudkan kinerja pemerintahan yang
lebih maksimal, lebih baik, dan lebih melayani. Dari cerita-cerita lepas pasca
pelantikan, diketahui bahwa ada yang mendapatkan jabatan baru yang lebih
tinggi, ada yang mendapatkan jabatan baru tetapi levelnya sama dengan jabatan
sebelumnya, dan ada yang dibebaskan dari jabatan alias non job. Dalam istilah
birokrasi, mendapatkan jabatan yang lebih tinggi dikenal dengan istilah promosi, mendapatkan jabatan baru tetapi
levelnya sama dengan jabatan sebelumnya berarti mutasi, dan tidak mendapatkan jabatan atau dibebaskan dari jabatan
di istilahkan dengan demosi.
Menariknya adalah pasca pelantikan respon aparatur sangat beragam. Ada
yang memasuki ruangan dengan wajah berseri-seri karena mendapatkan jabatan
baru, jabatan yang selama ini “di incar”, ada yang biasa saja karena tidak
memiliki jabatan baru atau karena telah bebas dari tanggung jawab, ada yang
dengan raut wajah sedikit kecewa karena promosi yang diharapkan tidak kunjung
sampai meskipun sudah menganggap diri layak mendapatkannya, dan ada juga yang
mulai jarang kelihatan berkantor dengan sebab yang tidak jelas. Bisa jadi,
respon yang diberikan sangat terkait dengan kebutuhan aktualisasi diri
sebagaimana konsep Abraham Maslow. Maslow adalah ahli psikologi humanistik yang
mengklasifikasi kebutuhan manusia menjadi lima tingkatan, yaitu; kebutuhan
fisiologi, kebutuhan rasa aman, kebutuhan kasih sayang, kebutuhan penghargaan,
dan kebutuhan aktualisasi diri (self
actualization). Aktualisasi diri adalah tingkatan kebutuhan yang paling
tinggi yaitu kebutuhan yang tidak melibatkan keseimbangan, tetapi melibatkan
keinginan yang terus menerus untuk memenuhi potensi. Maslow melukiskannya
sebagai hasrat untuk menjadi diri sepenuhnya sesuai kemampuan yang dimiliki,
menjadi apa saja menurut kompetensinya. Dalam dunia birokrasi, sebagian
aparatur menilai bahwa jabatan adalah wahana strategis guna merealisasikan
kebutuhan aktualisasi diri. Menampilkan kemampuan memimpin, unjuk diri sebagai
orang hebat, memperlihatkan kemampuan, akan sulit diwujudkan tanpa adanya
wahana. Dalam konteks inilah jabatan memiliki urgensi, dan karenanya perlu
dicari. Sehingga, tidak mengherankan jika ada diantara kita atau disekitar kita
sontak memperlihatkan sikap “aneh” ketika mendapatkan promosi, tidak
mendapatkan promosi, mendapatkan mutasi, atau bahkan mendapatkan demosi. Sikap
atau prilaku “aneh” yang diperlihatkan adalah bagian dari upaya self actualization. Tetapi, sebagian
kalangan justru menilai bahwa jabatan bukanlah hal yang penting, yang
terpenting adalah peran. Apa yang dapat diperankan dalam posisi kita sebagai apa.
Bagi kalangan ini, mereka akan menganggap bahwa apalah artinya jabatan yang
tinggi tetapi peran tidak maksimal, justru sebaliknya lebih baik menjadi staf
biasa atau eselon rendahan tetapi memiliki peran jauh lebih maksimal. Hebatnya
adalah mereka ini tidak pernah terpengaruh oleh urusan pelantikan, apakah
mendapatkan promosi, mutasi, atau demosi. Hal yang selalu mereka kedepankan
adalah bagaimana memperbaiki kinerja agar semakin berkualitas dan semakin
melayani.
Lalu, bagaimana tinjauan Islam tentang kepemilikan jabatan? Dalam
Al-Qur’an ada beberapa istilah yang meskipun tidak secara spesifik menguraikan
tentang jabatan, tetapi memiliki keterkaitan dengan kepemimpinan. Dalam surah
An-Nisa ayat 34, kita dapat menemukan istilah Al-‘Aqwam (arrijaalu qawwamuwna
‘ala nnisa’). Tetapi istilah ini lebih dimaknai sebagai pelindung bukan
pemimpin karena menerangkan tentang posisi laki-laki sebagai suami bagi
perempuan sebagai istri dalam keluarga. Istilah lain adalah khalifah sebagaimana dijelaskan pada
surah Al-Baqarah ayat 30. Tetapi konsep khalifah pada ayat ini lebih
mempertegas posisi manusia yang dihadirkan ke bumi untuk menjadi "pengganti"
Tuhan dalam mengatur dan memelihara bumi. Dengan demikian, konsep khalifah berlaku secara universal, tidak
secara spesifik. Istilah yang lebih mirip adalah ulil amri sebagaimana terdapat dalam surah An-Nisa’ ayat 46.
Dikatakan bahwa “hai orang-rang yang
beriman taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul dan ulil amri kalian”.
Sebagian besar para ulama mengatakan bahwa mereka yang dikatakan sebagai ulil amri adalah para pemimpin atau
pemerintah. Dengan sebuah penekanan bahwa kewajiban untuk menaati mereka selama
bukan dalam hal kemaksiatan. Dengan merujuk pada defenisi ini, maka dapat kita
katakan bahwa para pemangku jabatan dalam struktur birokrasi mulai dari eselon
paling rendah sampai paling tinggi adalah pemimpin atau pemerintah.
Dalam ajaran Islam, semua
yang kita miliki adalah ujian. Apakah harta, pangkat dan kedudukan, jabatan, kekayaaan,
semuanya akan dimintai pertanggungjawabannya. Menjadi pemimpin adalah ujian,
apakah kita mampu mewujudkan kepemimpinan yang melayani atau dilayani, berada
pada jalur yang benar atau melenceng ke jalur yang salah. Itulah sebabnya Allah
memerintahkan agar amanat itu diserahkan kepada yang memiliki kemampuan.
Dikatakan bahwa “sesungguhnya Allah
memerintahkan kamu untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya,
dan apabila kamu menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkannya
dengan adil” (Qs An-Nisa’ : 58). Selanjutnya dikatakan bahwa “…hendaklah kamu menjadi orang-orang yang
selalu mengakkan kebenaran Allah, menjadi saksi dengan adil, dan janganlah kamu
membenci suatu kaum yang menyebabkan kamu tidak berbuat adil. Berlaku adillah
karena adil itu lebih dekat dengan taqwa” (Qs Al-Maidah : 8). Uraian ayat tersebut
menegaskan bahwa ada tiga aspek penting yang sangat ditekankan terkait dengan
kepemilikan jabatan, yaitu; pertama, agar jabatan harus serahkan kepada yang
berhak; kedua, agar yang memiliki jabatan harus senantiasa menegakkan
kebenaran; dan ketiga harus senantiasa menerapkan keadilan.
Dengan demikian, diserahi
jabatan berarti memegang amanah. Ada setumpuk tugas dan kewajiban yang melekat
dengan jabatan yang diemban yang kelak akan dipertanggung jawabkan. Apakah
dengan jabatan yang dimiliki, kita menjadi lebih bangga diri atau semakin
rendah hati, mau berbagi atau bekerja sendiri, lebih terbuka atau makin
tertutup, jauh dengan maksiat atau justru mendekatinya. Semuanya sangat
tergantung pada cara kita memandang jabatan. Yang pasti bahwa, semakin tinggi
level jabatan yang diemban, maka tanggung jawab juga semakin besar dan berarti
bahwa konsekuensi hukumnya juga semakin besar. Faktanya bahwa, sangat jarang
dijumpai ada staf yang menjadi tersangka, kebanyakan yang menjadi tersangka
adalah yang mempunyai jabatan. Sebaliknya, tidak mendapatkan jabatan atau
dibebaskan dari jabatan berarti lepas dari tanggung jawab. Non job berarti
bebas dari kemungkinan menjadi tersangka karena penyalahgunaan wewenang sebagai
konsekuensi dari kepemilikan jabatan.
Belum mendapatkan promosi
atau mendapatkan demosi bukanlah hal yang harus dikecewakan, apakah lagi
menjadikan kita semakin malas bekerja. Bedanya menjadi pejabat dengan staf
adalah jika menjadi pejabat berarti sedikit memiliki beban kerja tetapi banyak
memikul tanggung jawab, sedangkan menjadi staf banyak memiliki beban kerja dan
sedikit memikul tanggung jawab. Belum mendapatkan promosi berarti masih harus
bersabar dan memperbaiki kualitas kerja. Jabatan tidak harus dibanggakan,
dikecewakan, apakah lagi dikejar. Kita harus memiliki suatu keyakinan bahwa,
setiap orang ada zamannya, dan setiap zaman ada orangnya. Yang belum menjabat
hanyalah menanti kapan akan menjabat, dan yang menjabat juga menanti kapan akan
berhenti menjabat. Semua hanyalah persoalan waktu, yang pasti bahwa “kullukum raa’in wa kullukum mas’uwlum ‘an
ra’iyyatih” (tiap-tiap kamu adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung
jawaban). Wallahu a’lam bish-shawab.
Belum ada tanggapan untuk "Jabatan; Haruskah dikejar atau ditunggu?"
Posting Komentar