Ilustrasi |
71 tahun sudah usia kementerian agama (3 januari 1946-3 januari 2017).
Ini berarti bahwa peranannya dalam menyukseskan pembangunan spiritual keagamaan
sudah tidak perlu diragukan lagi. Mulai dari urusan madarasah, pondok
pesantren, pendidikan agama pada sekolah, urusan haji, urusan NCTR
(nilah-cerai-talak-rujuk), mengawal kerukunan umat beragama, adalah sebagian
kecil dari banyaknya urusan kementerian agama. Kementerian Agama sendiri
hadir sebagai penjelmaan cita-cita dan kepribadian bangsa Indonesia yang
religius. Eksistensi Kementerian Agama merefleksikan adanya intervensi negara untuk
memberikan jaminan terhadap kehidupan beragama dan kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya dan untuk beribadat sesuai keyakinan yang
dianutnya. Tanpa hadirnya negara, jaminan atas pelaksanaan ibadah menurut agama
dan keyakinan sangat di khawatirkan, mengingat bahwa bangsa ini tidak hanya
mengakui satu agama, tetapi banyak agama dengan ragam kultur dan bahasa yang melatari
masyarakatnya.
Ditengah
perjalanannya hingga mencapai usia 71 tahun, tentu bukanlah perjalanan yang
mudah, tetapi justru penuh dengan tantangan dengan berbagai isu yang menghadang.
Isu-isu tersebut, secara kasat dapat dianggap sebagai bentuk “teguran” agar
kinerja aparatur kementerian agama semakin di maksimalkan. Tetapi, jika
ditelisik lebih mendalam maka ada dua isu krusial yang dapat berpotensi atau
bahkan mengarah pada pembubaran kementerian agama. Pertama, isu pelimpahan pengelolaan pendidikan Islam ke kementerian
pendidikan dan kebudayaan. Aset terbesar yang dimiliki oleh kementerian agama
adalah pendidikan Islam; mulai dari pendidikan usia dini, pendidikan dasar,
pendidikan menengah, hingga pendidikan tinggi. Belum termasuk pondok pesantren,
madrasah diniyah, majelis Taklim, TPQ, dan sebagainya. Semua aset tersebut adalah
potensi yang luar biasa yang semakin meneguhkan eksistensi kementerian agama
sebagai institusi yang ikut serta mewujudkan cita-cita kemerdekaan, yaitu mencerdaskan
kehidupan bangsa. Namun demikian, sebagian kalangan menganggap bahwa hadirnya
kementerian agama dalam penyelenggaraan pendidikan (Pendidikan Islam)
menjadikan pengelolaan sistem pendidikan nasional menjadi dualisme. Pada satu
sisi ada pendidikan umum yang dikelola oleh kementerian pendidikan dan
kebudayaan, dan pada sisi yang lain ada pendidikan Islam yang dikelola oleh
kementerian agama. Maka kalangan tertentu menuntut agar dualisme manajemen
pendidikan nasional dihilangkan. Caranya adalah menyerahkan pengelolaan
pendidikan Islam kepada Kementerian pendidikan dan kebudayaan. Dengan cara
tersebut, selain untuk memangkas dualisme, mempermudah pelayanan, memudahkan kontrol
atas kualitas dan penjaminan mutu, juga untuk menjadikan pendidikan Islam
semakin maju sebagaimana sekolah-sekolah dalam pengelolaan kementerian
pendidikan dan kebudayaan.
Kedua,
isu swastanisasi pengelolaan haji. Setiap musim haji, ada saja persoalan yang
menyangkut teknis pengurusan haji yang mendapatkan sorotan publik. Mulai dari
masalah pemberangkatan, logistik, pemondokan, transportasi, dan lain-lain. Yang
sedikit aneh adalah munculnya isu ketidakpuasan dalam penanganan haji bersamaan
dengan adanya tuntutan agar manajemen haji di serahkan ke pihak swasta.
Ketidakpercayaan atas kapasitas kementerian agama dalam pengelolaan haji
sengaja dihembuskan oleh pihak-pihak tertentu untuk menjadi dasar tuntutan dilakukannya
swastanisasi pengurusan haji. Kementerian agama sengaja dianggap tidak kapabel
dan profesional dalam mengurus haji sehingga harus diserahkan kepada pihak
swasta yang dianggap lebih profesional. Sebenarnya, isu ini sudah tidak relevan karena
pengalaman penyelenggaraan haji oleh swasta pada tahun 70-an justru tidak
semakin membaik. Bahkan kekhawatiran yang muncul jika dilakukan swastanisasi
adalah adanya komersialisasi haji, dan bahkan dikhawatirkan terjadinya eksploitasi
umat dalam pelaksanaan ibadah. Namun, isu ini selalu saja dihembuskan karena
memang targetnya adalah agar pengelolaan haji tidak lagi menjadi kewenangan
kementerian agama. Nampaknya, jumlah penduduk muslim Indonesia yang sangat
banyak, mendapatkan kuota haji terbanyak dari pemerintah Arab Saudi, serta
biaya haji yang tidak sedikit, dilihat sebagai peluang bisnis yang sangat
menjanjikan.
Kedua
isu tersebut saya anggap krusial karena terkait dengan eksistensi kementerian
agama. Jika pengelolaan pendidikan Islam dan urusan Haji lepas dari kewenangan
kementerian agama, maka tidak mustahil bahwa itu akan menjadi pintu masuk untuk
“pelucutan” kewenangan lainnya. Jika pengelolaan pendidikan Islam dengan aset
yang sangat banyak, dan urusan haji dengan jumlah anggaran yang tidak sedikit
lepas dari kementerian agama, maka sudah pasti bahwa urusan lain-lain yang
“kadarnya” tidak sebanding akan segera menyusul. Saat ini, pemberhentian penerapan pendidikan agama di sekolah sudah mulai disuarakan, kolom agama dalam
KTP sudah mulai dipermasalahkan oleh kelompok tertentu, bahkan kedepan bisa
saja urusan nikah sudah akan menjadi urusan privat dan penanganannya diserahkan
kepada pemuka agama masing-masing, sedangkan pencatatannya akan diserahkan pada
Catatan Sipil; urusan produk halal akan diserahkan kepada kementerian
kesehatan; urusan penyuluhan diserahkan kepada kementerian kominfo; urusan
keluarga sakinah diserahkan kepada BKKBN; urusan zakat dan wakaf diserahkan
kepada kementerian keuangan, dan lain sebagainya. Pada akhirnya, semua
kewenangan kementerian agama akan lepas satu persatu dan ending-nya adalah akan dibubarkan karena sudah tidak mempunyai
kewenangan lagi.
Tentu,
situasi ini sangat kita tidak diharapkan. Aparatur kementerian agama karenanya
memikul beban berat untuk menjaga eksistensi kementerian agama. Menguatnya isu
pelimpahan pengelolaan pendidikan Islam kepada kemendikbud dan urusan haji
kepada pihak swasta sebenarnya berdasar pada kinerja yang belum memuaskan. Oleh
karena itu, tugas aparatur kementerian agama adalah bagaimana memaksimalkan
kinerja sehingga masyarakat dapat merasa terlayani dengan baik. Dengan demikian, masyarakat akan betul-betul merasakan nilai urgensi hadirnya kementerian agama. Pada konteks
inilah pentingnya implementasi spirit ikhlas beramal. Ikhlas beramal jangan
hanya menjadi slogan, jangan hanya menjadi motto, jangan hanya mengisi ruang
kognisi, tetapi harus diterapkan secara aplikatif, terutama dalam manajemen
pendidikan Islam maupun dalam urusan haji. Pendidikan Islam harus semakin maju
dan berkualitas, begitupula urusan haji harus semakin profesional dan akuntabel. Jika kedua hal tersebut dapat diwujudkan, maka eksistensi kementerian agama akan tetap terjaga seiring dengan terjaganya eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Akhirnya, selamat hari amal bakti (HAB)
kementerian agama yang ke-71, semoga tetap ada, “semakin bersih dalam melayani” dan “lebih
dekat melayani umat”. Wallahu a’lam
bish-shawab
Belum ada tanggapan untuk "Dua Isu Krusial dan Ancaman Pembubaran Kementerian Agama (Refleksi Hari Jadi ke-71)"
Posting Komentar