Ilustrasi |
Salah satu urusan yang banyak mendapatkan perhatian dalam Al-Qur’an
adalah waktu. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya Surat dalam Al-Qur’an yang
menerangkannya, bahkan kebanyakan diantaranya diuraikan dalam bentuk ayat-ayat sumpah
(aqsam). Dalam Ulumul Qur’an, aqsam diartikan sebagai ungkapan yang
dipakai guna memberikan penegasan atau pengukuhan suatu pesan dengan
menggunakan kata-kata sumpah. Hal ini misalnya dapat dilihat bahwa, ketika
Allah menegaskan tentang pentingnya waktu menjelang sore, maka Allah
menjelaskannya dalam surah Al-Ashr;
ketika menjelaskan tentang waktu dimana matahari sudah mulai beranjak naik,
maka Allah menjelaskannya dalam surah Ad-Duha,
waktu malam dijelaskan dalam surah Al-Lail,
waktu pagi dijelaskan dalam surah Al-Fajr,
dan masih banyak lagi.
Penjelasan dalam Al-Qur’an dalam bentuk ayat-ayat aqsam dapat dikatakan sebagai cara Allah mengingatkan kita tentang
pentingnya mengelola waktu. Waktu adalah urusan yang tidak pernah kenal
kompromi, dia akan terus berjalan mengikuti alurnya yang telah digariskan. Kemampuan
kita mengelola waktu dengan baik akan memberikan banyak manfaat, dan kelalaian
kita akan menghadirkan penyesalan. Ditegaskan bahwa “Demi masa. Sungguh manusia itu berada dalam kerugian, kecuali
orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati
untuk kenenaran, dan saling menasihati untuk kesabaran” (Qs. Al-Ashr; 1-3).
Pada surah ini, Allah bersumpah atas nama waktu, dan waktu yang ditunjuk adalah
ashar. Posisi ashar adalah waktu
luang pada siang hari, tetapi menjelang akhir (magrib). Dengan demikian, ashar
adalah the last time, kesempatan
untuk menggunakannya masih ada tetapi kelengahan sedikit saja, akan segera
beranjak masuk pada magrib. Artinya, ruang kesempatan akan segera berakhir dan
tidak akan kembali lagi. Secara umum, manusia berada dalam kerugian dalam
pemanfaatan waktu. Tetapi, ada tiga kategori manusia yang menjadi pengecualian.
Pertama, orang yang beriman dan
mengerjakan kebajikan. Kata iman, senantiasa bergandengan dengan amal shaleh
atau amal kebajikan. Hal ini misalnya dapat dilihat bahwa banyak ayat-ayat
Al-Qur’an yang menyebutnya secara bersamaan. Alladziyna aamanuw wa ‘amilushalihaati…(yaitu orang-orang yang
beriman dan beramal kebajikan…). Mengapa demikian? Karena iman dan amal adalah
dua kata yang berbeda tetapi tidak dapat dipisahkan. Iman adalah abstrak yang
hanya akan konkrit apabila ada amal. Dalam ajaran Islam, iman yang sebenarnya
akan dicapai dengan tiga langkah, yaitu, (1) keteguhan dalam hati, (2) pengucapan
dengan lisan, dan (3) pembuktian dalam perbuatan. Keyakinan kita akan adanya
Tuhan harus dibuatkan persaksian (syahadat)
lalu dibuktikan dengan amal kebajikan. Dengan demikian, amal kebajikan akan
menjadi indikator keberimanan kita yang sebenarnya. Apabila kita sudah
menyatakan diri beriman, menyatakan diri sebagai orang yang beragama, tetapi
perbuatan kita masih jauh dari nilai-nilai agama, berarti masih banyak yang
harus dibenahi terkait dengan keberimanan dan keberagamaan kita. Tuhan telah
mengingatkan kita bahwa “dan diantara
manusia ada yang berkata, “kami beriman kepada Allah dan hari akhir,” padahal
sesungguhnya mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman. Mereka menipu Allah
dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanyalah menipu diri sendiri tanpa
mereka sadari” (Qs. Al Baqarah; 8-9).
Kedua, orang yang saling
menasihati dalam kebenaran. Dalam ajaran agama, kebenaran tidak cukup hanya
diatur melalui logika dan kemauan pribadi. Kebenaran bersifat objektif, universal
dan bersumber dari Tuhan yang disampaikan melalui wahyu. Maka dalam konteks
beragama, sumber kebenaran berada dalam masing-masing kitab suci yang menjadi
pegangan setiap pemeluk agama. Tetapi dalam konteks berbangsa dan bernegara,
ada peraturan yang menjadi kesepakatan bersama yang harus dipedomani oleh
setiap warga negara, misalnya; Pancasila, UUD, KUHP, KUHAP, dan lain-lain. Sedangkan
dalam konteks bermasyarakat ada aturan-aturan adat yang mengikat dan harus
senantiasa dipedomani. Semua aturan-aturan tersebut harus di junjung tinggi
karena menjadi sumber kebenaran. Agar kita tidak menjadi orang yang merugi
seiring dengan terus berjalannya waktu, maka tugas kita adalah saling
menasihati, saling mengingatkan untuk senantiasa taat pada aturan yang berlaku,
baik aturan agama, aturan negara, maupun aturan adat. Dalam salah satu ayat
Al-Qur’an, Allah memerintahkan, “dan tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan
taqwa, dan janganlah kamu tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan
bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya (Qs.
Al-Maidah: 2).
Ketiga, orang yang saling menasihati
untuk kesabaran. Proses menjalani hidup tidak selalu berjalan sesuai dengan harapan,
selalu saja ada rintangan, ada ujian yang menjadikan kita harus melakukan usaha
dengan jalan yang tidak mudah. Ujian sejatinya bukanlah hukuman, tetapi adalah
janji tuhan untuk mengetahui kualitas keimanan hamba-hamba-Nya. Sebagaimana
dijelaskan dalam surah Al-Baqarah: 155-157; “dan kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan,
kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada
orang-orang yang sabar. Yaitu orang-orang yang apabila ditimpah musibah, mereka
berkata “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un”. Merekalah yang memperoleh ampunan dan rahmat dari Tuhannya, dan
merekalah orang-orang yang mendapat petunjuk”. Sabar berarti menahan diri
dari segala ujian yang dialami baik dalam bentuk kesenangan atau kesulitan. Bagi
yang mendapatkan ujian dengan harta yang banyak, maka harus sabar
menggunakannya pada jalan kebaikan’ sebaliknya bagi yang diuji dengan
kemiskinan maka harus sabar mencari rizki dengan jalan di ridhai. Bagi yang
diberikan ujian dengan sehat, maka harus sabar menggunakan kesehatannya untuk
kebaikan, sedangkan yang diberikan ujian dengan sakit, tentu harus sabar
menjalani pengobatan melalui jalan yang tidak bertentangan dengan ajaran agama;
dan lain sebagainya.
Konsistensi dalam memenuhi ketiga hal tersebut dapat menjadikan kita
sebagai kelompok yang tidak akan merugi karena pergeseran waktu yang terus berjalan
tanpa kenal kompromi. Semoga kita senantiasa menjadi orang-orang yang beriman
dan beramal kebajikan, serta saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran. Wallahu a’lam bish-shawab.
Belum ada tanggapan untuk "Hikmah Jum'at: Cara Tuhan Mengingatkan Pentingnya Waktu"
Posting Komentar