Ilustrasi Peringatan Maulid (di copy dari Ihaiyo.com) |
Sudah menjadi ritual tahunan, bahwa setiap tanggal 12 rabi’ul awal dalam penanggalan
hijriyah, akan dilaksanakan peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Masyarakat
nusantara menyebutnya dengan Maulid, dalam
terminologi Jawa dikenal dengan Muludan,
sedangkan masyarakat Buton (Wakatobi) mengenalnya dengan istilah Maluju atau Maludhu. Secara etimologi, kata maulid berasal dari Bahasa Arab yang
artinya sama dengan milad atau hari
kelahiran. Istilah ini digunakan karena merujuk pada hari lahirnya Nabi
Muhammad SAW. Jika merujuk pada Al-Qur’an dan Al-Hadist, kita tidak akan
menemukan adanya ayat atau hadist yang menjelaskan tentang wajibnya
melaksanakan maulid; demikian pula jika kita sandarkan pada apa yang pernah
dilaksanakan oleh Rasulullah Muhammad SAW semasa berdakwah baik di Mekkah maupun
Madinah serta pada masa kepemimpinan Khulafaur
Rasyidin (Abu Bakar As-Siddiq, Umad bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali
bin Abi Thalib), maka kita juga akan mendapatkan bahwa ritual tersebut tidak
pernah dilaksanakan. Bisa jadi, hal inilah yang menjadi landasan sebagian kalangan
dari kaum muslimin mengatakan bahwa ritual maulid adalah bid’ah (ibadah yang di ada-adakan). Argumentasi ini semakin menguat
karena pada setiap pelaksanaan maulid terdapat sejumlah cerita-cerita mistis (mitos)
yang kemudian ikut mempengaruhi bagaimana ritual maulid dilakukan. Hal ini
misalnya dapat dilihat dari adanya serangkaian ritual serta ragam menu yang ‘wajib’
diadakan. Ada suatu keyakinan bahwa jika sebagian dari seluruh rangkaian ritual
tidak terpenuhi, dan sebagian dari menu wajib itu tidak disajikan maka akan
mengurangi nilai kesakralan ritual maulid.
Tetapi ada banyak kaum muslimin yang meskipun tradisi ini diakui sebagai bid’ah, namun tetap melaksanakan
peringatan maulid. Bagi mereka, konsep bid’ah
dapat dilihat dalam dua perspektif. Pertama adalah, bid’ah sayyi-ah yakni ritual keagamaan yang tidak mempunyai dalil naqli yang kuat (tidak ada dalam
Al-Qur’an dan Al-Hadist), tidak pernah di praktekkan oleh Rasulullah SAW, dan
tidak mempunyai manfaat. Jenis bid’ah
ini harus ditinggalkan. Kedua adalah bid’ah
hasanah, yaitu tradisi keberagamaan yang meskipun tidak ditemukan dasarnya
dalam Al-Qur’an dan Al-Hadist serta tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah
SAW, tetapi mempunyai banyak sisi manfaat. Dengan demikian, yang menjadi
rujukan adalah dalil aqli (dalil
akal). Jenis bid’ah seperti ini,
meskipun tidak wajib tetapi sangat dianjurkan, demi untuk mengambil hikmah serta
melestarikan khasanah budaya Islam. Dalam konteks ini, tradisi maulid, muludan, maluju atau apapun
istilahnya berada pada kategori ini.
Ada ulama mengatakan bahwa peringatan maulid Nabi Muhammad SAW pertama
kali dilakukan oleh Raja Ibril yang bernama Muzhaffaruddin Al-Kaukabari pada
awal abad ke 7 Hijriyah. Ibril adalah salah satu tempat yang saat ini masuk dalam
wilayah Irak. Namun sebagian juga mengatakan bahwa orang pertama yang
memperingati maulid nabi adalah Sultan
Salahuddin Al-Ayyubi. Kegiatan itu sengaja diadakan dengan maksud memberikan
semangat juang kepada kaum muslimin yang sedang berperang melawan tantara salib
ketika menaklukan Konstantinopel.
Di Indonesia, peringatan maulid nabi tidak hanya menyangkut peristiwa yang
mempunyai dimensi kesejarahan, tetapi juga menyangkut dimensi kesakralan. Dimensi
kesakralan tersebut sangat erat hubungannya dengan sosok Nabi Muhammad yang
diyakini oleh kaum muslimin sebagai pembawa rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil’alamin). Nabi Muhammad SAW
diyakini sebagai sosok paripurna yang dalam ajaran tasawuf di istilahkan dengan
insan kamil. Karena kesempurnaannya,
lalu beliau diberi gelas Al-Amin (orang
yang dapat dipercaya), dan karena kesempurnaannya pula, kemudian menjadi uswatun hasanah (contoh/teladan yang
baik). Dengan demikian, apa yang harus dirubah dalam peringatan maulid nabi
adalah dimensi mitosnya. Cerita-cerita sakral yang menyelimuti sekitar
pelaksanaan maulid yang “mengharuskan” adanya serangkaian ritual tertentu serta
menu “wajib” yang disajikan dalam bentuk Liwo
(Wakatobi) atau Kandea (Buton) mesti
dirubah. Apakah lagi bahwa jika serangkaian ritual serta menu dalam peringatan
maulid tersebut sifatnya memberatkan. Mungkin ada sebagian kaum muslimin yang
kemampuan ekonominya sederhana, sehingga tidak mampu menyiapkan segala
kebutuhan terkait dengan ritual maulid. Apa yang harus dikedepankan adalah
menyerap logos (ilmu pengetahuan),
karena peristiwa maulid mempunyai muatan hikmah. Ada banyak nilai-nilai
pengetahuan yang mesti dikaji dari peristiwa maulid; mulai dari bagaimana Nabi
Muhammad dibesarkan dalam kandungan oleh ibunya, bagaimana proses kelahirannya,
apa hikmah menjadi anak yatim piatu, siapa yang membesarkan, bagaimana peranan
Halimah as Sa’Diyah, bagaimana peranan kakeknya Abdul Muthalib dan pamannya Abu
Thalib, bagaimana kultur Mekkah ketika Muhammad kecil dibesarkan, dan lain
sebagainya. Kajian mengenai sejumlah pertanyaan yang berkaitan dengan kelahiran
nabi akan memberikan wawasan dan pengetahuan baru yang sangat berarti.
Setelah menyerap logos (ilmu
pengetahuan), maka langkah selanjutnya adalah membangun etos, yaitu semangat keberagamaan yang kuat. Tentu spiritnya adalah
mencontoh apa yang telah dipraktekan oleh Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian,
memperingati maulid nabi tidak sekedar melakukan refleksi sejarah, juga tidak berhenti
sampai menyerap hikmah dibalik semua peristiwa yang dialami oleh nabi, tetapi
maulid hendaknya menjadi wadah memperkokoh ukhuwah islamiyah serta membangun komitmen
untuk melaksanakan ajaran Islam sebagaimana yang telah di contohkan oleh
Rasulullah Muhammad SAW. Dalam beribadah, Rasulullah adalah orang yang paling khusyuk, sehingga terkadang kakinya
membengkak karena terlalu lama berdiri ketika shalat sendiri di rumah; ketika
shalat berjamaah di masjid dan menjadi imam, maka beliau pasti akan membaca
surat-surat pendek, ketika shalat sendiri di rumah maka pasti akan membaca
surat yang panjang, beliau adalah orang yang paling rajin bertaubat, padahal
orang yang paling pertama diterima taubatnya adalah beliau; juga yang paling
pemaaf, paling ramah, paling santun, paling dermawan, dan lain sebagainya. Tentu,
meneladaninya secara totalitas bukanlah persoalan gampang, apalagi kita adalah
manusia biasa yang tidak luput dari kehilafan.
Semoga maulid nabi kali ini, dapat menjadi momentum untuk merubah mitos agar ritual
maulid tidak membebani, menjadi wahana menyerap ilmu pengetahuan serta
membangun etos keberagamaan. Wallahu a’lam
bish-shawab
Belum ada tanggapan untuk "Merubah Mitos, Menyerap Logos, Membangun Etos (Refleksi Maulid Nabi Muhammad SAW 1438 H)"
Posting Komentar