Potensi Pungli di Sekolah



Ilustrasi (dicopy dari okezone)

Pada suatu forum diskusi publik bertemakan ‘Mencegah dan Melawan Korupsi di Bidang Pendidikan’, Peneliti dari Pusat Studi Kajian Anti-Korupsi (Pukat) UGM, memetakan ada sekitar 59 jenis potensi praktik pungutan liar (pungli) yang rentan terjadi di sekolah. Beberapa potensi diantaranya adalah; tarikan iur tes IQ, tes kesehatan, buku tata tertib sekolah, uang Masa Orientasi Siswa (MOS), uang tarikan Guru Tidak Tetap (GTT), uang tahunan, uang pengambilan ijazah, uang bimbingan belajar (bimbel), dana sosial, iur study tour dan sebagainya. Sementara itu, rolling pegawai atau mutasi merupakan langkah efektif untuk meminimalisir korupsi dan meluasnya praktik pungli di segala sektor, termasuk sektor pendidikan. Dikatakan oleh Hifdhil Alim (peneliti dari Pukat UGM) bahwa “idealnya, guru dan tenaga pengajar kalau mau naik jabatan harus siap dimutasi terlebih dahulu. Saat ini, mutasi atau rolling merupakan suatu punishment pada pegawai, padahal seharusnya mutasi merupakan syarat wajib bagi seorang pegawai menuju jenjang karir yang lebih tinggi” (KR, 2/11/2016).
Pada kebanyakan dari kita, potensi pungli sebagaimana yang diuraikan oleh peneliti Pukat UGM tersebut dianggap lumrah, apalagi biasanya pungli disekolah ‘kadarnya’ sedikit, baik dari aspek kuantitas maupun kualitas. Sedikit dalam aspek kuantitas karena tidak dilakukan setiap saat, tetapi hanya pada momen-momen tertentu saja, dan sedikit dalam kualitas karena jumlah pungutan masih bisa ditoleransi dan tidak memberatkan. Tetapi, ketika saya mencoba masuk untuk mengakses data jumlah sekolah di seluruh Indonesia, maka saya pun kaget dan berkesimpulan bahwa ternyata persoalan ini sangat serius, tidak bisa dianggap sepele. Data referensi pendidikan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menunjukkan bahwa jumlah Sekolah/Madrasah (negeri dan swasta) seluruh Indonesia adalah sebagai berikut: SD/MI  berjumlah 174,315 unit; SMP/MTs berjumlah 56,586 unit; dan SMA/MA berjumlah 21,966 unit; dan SMK berjumlah 13,583 unit. Dengan demikian, jumlah keseluruhan Sekolah/Madrasah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah adalah 266,450 unit. Jika total jumlah sekolah dikalikan dengan nilai Rp. 5.000,- maka akan terkumpul jumlah Rp. 1.332.250.000,- (satu milyar, tiga ratus tiga puluh dua juta, dua ratus lima puluh ribu rupiah). Tentu jumlah ini luar biasa karena baru dikalikan dengan jumlah sekolah. Bagaimana kalau dikalikan dengan jumlah siswa? Hasilnya sudah pasti mencapai angka puluhan bahkan ratusan triliun rupiah. Tentu, tidak semua sekolah/madrasah melakukan praktek pungli. Akan tetapi data ini, dapat menjadi alarm atau pengingat bagi semua penyelenggara sekolah bahwa persoalan pungli bukanlah persoalan sepele, tetapi adalah persoalan krusial karena berpotensi merugikan keuangan negara dalam jumlah yang tidak sedikit.
Dalam paradigma humanisme, pendidikan bertujuan untuk memanusiakan manusia. Ada situasi dimana manusia sudah melenceng dari fitrahnya, sudah melupakan kesejatian dirinya, oleh karena itu pendidikan dibutuhkan hadir untuk mengembalikan manusia kembali kepada fitrahnya. Sehingga ketika terjadi praktek pungli di sekolah, maka pendidikan sudah berubah fungsi, bukan lagi ‘humanisasi’ tetapi justru menjadi ‘dehumanisasi’. Lalu, mengapa praktek pungli di sekolah masih terjadi? Bisa jadi penyebabnya adalah kultur sekolah, budaya sekolah masih tertutup. Sumber-sumber anggaran sekolah, baik yang bersumber dari dana rutin, dana BOS, dana BSM, serta dana bantuan lain-lain belum diketahui oleh komunitas sekolah, belum di umumkan pada papan informasi sekolah. Sumber-sumber anggaran sekolah hanya diketahui oleh Kepala Sekolah dan Bendahara, dan atau beberapa pihak saja. Padahal, banyaknya kegiatan di sekolah, terutama kegiatan pembinaan kesiswaan yang bersifat ektra kurikuler tentu membutuhkan anggaran operasional. Jika anggaran tersedia dalam dana rutin sekolah dan dikelola secara transparan maka sudah tentu tidak akan ada pungutan. Tetapi, jika pengelolaan dana rutin atau operasional tidak transparan sementara pengelolaan kegiatan ektra kurikuler membutuhkan dana operasional, maka pilihan terakhir bagi guru Pembina adalah melakukan pungutan. Aspek lain yang menjadi penyebab terjadinya pungli di sekolah adalah mentalitas sumber daya manusia (SDM). Di sekolah, ada Kepala Sekolah, Guru atau tenaga pendidik, tenaga kependidikan, dan siswa atau peserta didik. Masing-masing mempunyai tugas dan perannya masing-masing, yang menunjukan bahwa SDM di sekolah mempunyai ‘power’ untuk mempengaruhi orang lain. Kepala Sekolah mempunyai ‘power’ untuk mempengaruhi guru, dan guru mempunyai ‘power’ untuk mempengaruhi siswa, begitupula tenaga kependidikan mempunyai ‘power’ untuk mempengaruhi siswa, dan siswa (terutama yang senior atau yang menjadi pengurus OSIS dan MPK) mempunyai ‘power’ untuk mempengaruhi siswa lainnya. Jika mentalitas dari masing-masing subjek tidak baik, maka kepemilikan ‘power’ akan menjadi potensi melakukan pungli. Bisa juga yang menjadi sebab adanya pungli di sekolah adalah kurangnya pengawasan, yang dalam instilah manajemen disebut dengan pengendalian (controlling), baik yang sifatnya internal maupun ekstrenal. Dalam hal ini, yang paling berperan dalam pengendalian internal adalah Kepala Sekolah dan dewan guru, sedangkan yang berperan dalam pengendalian eksternal adalah Pengawas Sekolah, Komite Sekolah, Dewan Pendidikan, Dinas Pendidikan setempat, maupun institusi pengawas keuangan lainnya. Kurangnya pengendalian dari beberapa pihak tersebut akan menjadi ruang terjadinya pungli di sekolah.
Mencegah dan atau menghilangkan praktek pungli di sekolah sebenarnya sederhana saja. Hal terpenting adalah adanya komitmen bersama semua warga sekolah untuk tidak melakukan praktek pungli. Seberapa banyak aturan yang diberlakukan dan seberapa ketat mekanisme pengawasan di sekolah, jika semua komunitas sekolah belum berkomitmen untuk menghilangkan pungli maka sudah tentu akan rumit dicegah atau dihilangkan. Oleh karena itu, yang harus diutamakan adalah ada niatan dan kemauan yang sungguh-sungguh untuk tidak melakukan pungli dalam bentuk dan kondisi apapun. Sebagai tindak lanjut dari adanya niatan dan kemauan yang sungguh-sungguh tersebut, maka komunitas sekolah harus berani membangun budaya transparansi. Wujudnya adalah semua anggaran yang masuk ke sekolah maupun yang keluar dari sekolah harus diketahui oleh semua komunitas sekolah, baik kepala sekolah, dewan guru, tenaga kependidikan, komite sekolah, maupun peserta didik. Konsekuensinya adalah semua komunitas sekolah harus terlibat aktif dalam penyusunan, pelaksanaan, dan pelaporan penggunaan anggaran sekolah. Langkah selanjutnya adalah membangun budaya integritas. Berintegritas berarti berkepribadian jujur, dapat dipercaya dan karenanya menjadi teladan. Terjadinya praktek pungli adalah karena adanya ketidak jujuran, di dorong oleh hasrat manipulatif demi pemenuhan kebutuhan sesaat. Jika ini dilakukan oleh kepala sekolah atau guru, maka tanpa sadar telah memberikan pengetahuan yang tidak baik untuk pembentukan integritas siswa. Langkah terakhir adalah memperkuat sistem pengendalian internal maupun eksternal. Di internal sekolah, kepala sekolah, guru, tenaga administrasi, maupun siswa saling mengawasi untuk tidak melakukan praktek pungli, demikian juga secara eksternal sekolah harus membuka diri untuk senantiasa di kontrol oleh pihak pengawas, komite sekolah, dewan pendidikan,  dinas pendidikan setempat, maupun lembaga pengawas keuangan seperti Inspektorat, BPKP, dan BPK.
Dengan beberapa langkah tersebut, maka secara perlahan tapi pasti praktek pungli di sekolah dapat dicegah atau dihilangkan. Wallahu a’lam bish-shawab

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Potensi Pungli di Sekolah"

Posting Komentar