Menyoal Keresahan JK tentang Mutu Pendidikan di Indonesia



Ilustrasi

Pada suatu kesempatan Wapres Jusuf Kalla (JK), "Curhat" soal guru dan kualitas pendidikan di Indonesia. Menurutnya, anggaran untuk pendidikan di Indonesia presentasenya termasuk yang paling besar, yakni hingga 20 persen dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja negara (APBN), namun kenyatannya pendidikan di Indonesia belum begitu maju dibandingkan negara-negara tetangga. "Pertanyaannya kenapa biaya begitu besar tidak bisa mengangkat mutu?" ujar JK dalam sambutannya di acara Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia (KONASPI) VIII, di Grand Sahid Jaya Hotel, Jakarta Pusat, Rabu (KR, 12/9/2016). 

Keresahan JK mengenai kualitas pendidikan di Indonesia tentu tanpa dasar. Ada empat fakta yang diajukan terkait dengan keresahan tersebut. Pertama, meningkatnya jumlah persentasi anggaran pendidikan dalam APBN. Dana yang dialokasikan untuk pendidikan tidak lagi sedikit, namun kenyataannya jumlah anggaran yang banyak tersebut tidak berpengaruh secara signifikan terhadap peningkatan kualitas pendidikan. Kedua, tingkat kesejahteraan guru. Persoalan ini juga seringkali dijadikan sebagai alasan mengapa kualitas pendidikan tidak juga membaik. Alasannya adalah tingkat kesejahteraan guru masih rendah, sehingga banyak tenaga guru yang ‘nyambi’ alias mencari pekerjaan tambahan guna memenuhi tuntutan kebutuhan hidup. Tetapi faktanya, ketika kesejahteraan guru sudah dipenuhi melalui pemberian tunjangan profesi, kualitas pendidikan juga belum membaik. Ketiga, alasan lain adalah beban tugas atau kewajiban mengajar guru dianggap masih berat. Padahal jika kita melihat selisih perbandingan guru dan murid di Indonesia, perbandingannya adalah 1:18, berbeda sedikit dari Jepang yang perbandingannya 1:17. Dengan selisih perbandingan guru dan murid yang hanya sedikit, semestinya kualitas pendidikan antara kedua negara tidak berbeda jauh. Faktanya, perbandingan kualitasnya sangat jauh. Keempat, banyaknya jumlah murid sehingga sulit dikelola, padahal menurut JK alasan tersebut juga sudah tidak tepat, karena Tiongkok yang jumlah penduduknya lima kali lipat dari Indonesia terbukti pendidikannya lebih maju. Lalu, mengapa kualitas pendidikan kesannya masih “berjalan lambat”?

Membicarakan kualitas pendidikan bukanlah persoalan gampang, karena pendidikan adalah sebuah sistem sehingga banyak faktor yang terkait dengannya. Secara mikro, kualitas pendidikan sangat ditentukan oleh input, proses, dan output. Bagaimana kualitas siswa beserta seluruh faktor yang melatarinya, bagaimana kualitas proses beserta seluruh perangkat yang mempengaruhinya, serta bagaimana kualitas lulusan dengan segala tantangan yang dihadapinya. Sedangkan secara makro, kualitas pendidikan sangat ditentukan oleh persoalan kebijakan politik, sosial, ekonomi, dan budaya suatu negara. Maju dan berkembangnya suatu masyarakat, kuat dan lemahnya sistem ekonomi, stabil atau tidaknya sistem politik, termasuk budaya masyarakat dan kepastian hukum juga mempengaruhi kualitas pendidikan. Artinya, membicarakan kualitas pendidikan dengan menitikberatkan pada membicarakan jumlah anggaran, peningkatan kesejahteraan guru, dan beban mengajar, hanyalah beberapa aspek dari sekian banyak aspek yang mempengaruhi. Membicarakan kualitas pendidikan berarti menyoroti keseluruhan sistem yang mempunyai urgensi dalam peningkatan kualitas pendidikan itu sendiri dan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia.

Dengan demikian, langkah awal yang harus disorot adalah kebijakan pendidikan. Apakah kebijakan pendidikan ditempatkan sebagai “tulang punggung” pembangunan nasional atau hanya sekedar sebagai pelengkap pembangunan nasional. Dalam membicarakan pendidikan, kita seringkali menjadikan  Jepang sebagai rujukan, tetapi kita lupa bahwa negeri Sakura itu menjadikan pendidikan sebagai tulang punggung pembangunan nasional sejak bangkit dari keterpurukan setelah kalah dalam perang dunia II. Kita juga sering membandingkan negeri ini dengan Finlandia, negeri kecil yang sangat maju di dataran eropa, tetapi kita lupa bahwa negeri Skandinavia itu menempatkan pendidikan dibawah tanggung jawab dan koordinasi langsung Presiden. Pemerintah menetapkan ‘blue print’ pendidikan dan dikelola dibawah pengawasan langsung presiden. Dengan demikian, titik tumpu pembangunan pendidikan tidak pernah berubah meskipun menteri yang menangani mengalami pergantian. Di Indonesia, yang menjadi penanggung jawab langsung terhadap pengelolaan pendidikan adalah Menteri Pendidikan. Riskannya adalah posisi Menteri Pendidikan sangat menarik sehingga seringkali dijadikan sebagai alat “bargaining position” dalam setiap momentum suksesi kepemimpinan nasional. Akibatnya, setiap saat terjadi pergantian menteri, dan setiap saat pula terjadi perubahan kebijakan. Situasi inilah yang menjadikan pengelolaan pendidikan nasional seringkali mengalami  “gagal” fokus. Langkah kedua adalah dibutuhkan keberanian pemerintah menutup perguruan tinggi yang tidak memenuhi standar operasional. Hal ini diperlukan agar kualitas lulusan pendidikan tinggi dapat terkontrol, karena kelak akan menjadi sumber daya yang membina jenjang pendidikan dibawahnya (terutama PT penyelenggara tenaga pendidik dan kependidikan). Rendahnya kualitas perguruan tinggi penyelenggara tenaga pendidik dan kependidikan berkorelasi dengan rendahnya kualitas lulusan yang dihasilkannya, dan kelak ketika memasuki ranah pengabdian maka akan mempengaruhi kualitas sekolah serta kualitas lulusan tempatnya mengabdi. Pada akhirnya menjadi “lingkaran setan” yang akan memberi kontribusi besar dalam mewujudkan pendidikan yang unqualified.

Langkah ketiga adalah memperketat mekanisme penerimaan tenaga pendidik. Untuk hal ini, sebenarnya pemerintah telah melakukannya melalui computer based test (CBT). Tapi adanya mekanisme seleksi wawancara yang diberlakukan oleh beberapa daerah (Kabupaten/Kota) dalam penerimaan CPNS menjadi ruang munculnya hasil seleksi yang subjektif dan mengabaikan hasil seleksi yang objektif. Pembatalan hasil CPNS pada beberapa daerah menjadi bukti bahwa pelaksanaan seleksi wawancara pasca CBT bukan menyelesaikan masalah, tapi justru menghadirkan masalah. Unsur subjektifitas penentu kebijakan di daerah terlalu dominan sehingga mengabaikan kualitas. Memperketat mekanisme penerimaan tenaga pendidik (guru) juga harus diberlakukan bagi guru non PNS khususnya guru tetap yayasan (GTY). Mengapa? Pada lembaga pendidikan yang berada dalam pengelolaan masyarakat (swasta), mekanisme penerimaan tenaga pendidik terkadang kurang diperhatikan, baik dalam hal keahlian, latar belakang pendidikan, kebutuhan sekolah, termasuk perbandingan jumlah siswa dengan guru. Misalnya; pada sekolah-sekolah tertentu kita menemukan jumlah guru jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah siswa yang akan diajar (guru berjumlah 23 orang sedangkan rombelnya hanya 3 kelas). Dengan menerapkan mekanisme seleksi yang bagus, maka ketersediaan tenaga pengajar akan disesuaikan dengan kebutuhan sekolah.

Langkah terahkir adalah memperbaiki kualitas pengajaran dan pembinaan pada tingkat satuan pendidikan. Dalam kegiatan pengajaran siswa harus ditempatkan sebagai individu yang memiliki potensi, sehingga fungsi pengajaran adalah menumbuhkan dan mengembangkan potensi yang dimilikinya; sedangkan pembinaan harus dipandang sebagai upaya mengarahkan individu menjadi dewasa. Dengan demikian, tugas guru adalah menjadi stimulator, agar siswa dapat tumbuh dan berkembang menuju kedewasaan tetapi tidak melalui indoktrinasi. Dalam konteks ini diperlukan tiga langkah pembaharuan, yang oleh Yudi latif (2015: 293) di istilahkan dengan dimensi mitos, logos, dan etos. Pertama, pembaharuan dalam mitos. Di ruang-ruang kelas, seringkali mitos menjadi acuan dalam pembinaan. Terkadang ada anggapan bahwa “siswa dari kampung A malas-malas”, “anak dari kampung B bodoh-bodoh”, “anak dari kampung C cerdas-cerdas”, dan lain sebagainya. Pemahaman seperti ini sudah tentu adalah mitos, yang kebenarannya sulit dipertanggungjawabkan. Karena itu, mitos yang berkembang di sekolah harus dirubah, bahwa “semua siswa adalah memiliki bakat”, tugas pendidik adalah bagaimana mengembangkan dan mengoptimalkan bakat yang dimiliki. Kedua, pembaharuan dalam logos. Dalam bahasa Yunani, logos berarti ilmu pengetahuan. Di sekolah, dikotomisasi ilmu pengetahuan sudah mulai ditanamkan melalui penjurusan (IPA, IPS, Bahasa, dan Agama). Akibatnya, muncul rasa ego diantara peserta didik dengan menempatkan pengetahuan tertentu lebih hebat, lebih bernilai, lebih menjanjikan, dibanding pengetahuan lainnya. Siswa IPA lebih pintar dari pada siswa IPS atau Bahasa, dan siswa IPS atau Bahasa lebih pintar dari pada siswa Agama, siswa Agama lebih berakhlak dari pada siswa IPS, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, keterpaduan dan keterkaitan ilmu pengetahuan yang di istilahkan oleh Amin Abdullah dengan ‘integratif-interkonektif’ perlu dipahamkan kepda peserta didik. Ketiga, pembaharuan dalam etos. Terkadang kita merasakan bahwa etos siswa dalam belajar dan etos guru dalam mengajar semakin berkurang. Perpustakaan semakin sunyi, metode mengajar monoton, meteri pelajaran sarat dengan cerita romantika masa lalu. Oleh karena itu, etos belajar bagi siswa dan etos mengajar bagi guru perlu pembaharuan. Etos adalah spirit yang akan mengejawantah dalam tindakan dan berbuah prestasi. Kita dapat mencontoh dengan etos nenek moyang bangsa ini yang mampu mengarungi ruang samudera, menghadang gelombang, menempah badai, lalu melakukan penaklukan, demi menggapai cita-cita.

Tentu, tidak semua kondisi yang disebutkan adalah berlaku sama pada setiap sekolah. Ada sekolah yang sudah sangat maju, karena itu perlu dipertahankan, ada yang kategori sedang berkembang sehingga perlu dimaksimalkan lagi, dan ada sekolah yang tidak berkembang sehingga diperlukan penanganan yang serius. Jika beberapa hal yang telah diuraikan dapat diwujudkan, maka Insya Allah mutu pendidikan kita akan semakin meningkat. Wallahu a’lam bish-shawab.

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Menyoal Keresahan JK tentang Mutu Pendidikan di Indonesia"

Posting Komentar