Ilustrasi Aksi Damai 212 |
Usai sudah aksi (bela Islam) super damai 212, tapi
cerita heroik diseputar pelaksanaan aksi super damai yang dihadiri oleh jutaan
umat muslim tersebut belum juga usai. Aksi super damai itu sendiri adalah masih
kelanjutan dari aksi damai I dan II sebelumnya, yaitu gerakan mengawal fatwa
MUI guna menuntut percepatan penanganan kasus penistaan Agama yang dilakukan
oleh Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok. Secara umum, gerakan ini menuai pro dan
kontra. Kelompok yang pro mempunyai argumentsi bahwa penistaan agama adalah
kasus yang sangat krusial terkait dengan masa depan keberlangsungan kerukunan
umat beragama di negeri tercinta ini. Oleh karena itu, siapapun yang melakukan
penistaan agama (terlepas apa suku dan agamanya) harus dituntut secara hukum
dan harus bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Membiarkan
pelaku tindakan penistaan agama tanpa adanya sanksi sama halnya menyulut
disharmoni dalam kehidupan umat beragama. Kita tidak bisa membayangkan,
bagaimana jadinya negeri ini, jika semua pemeluk agama dengan mudahnya
melecehkan ajaran agama lain tanpa dikenakan sanksi apapun. Sedangkan kelompok
yang kontra menganggap bahwa aksi super damai 212 dan dua aksi sebelumnya
adalah gerakan radikal yang intoleran dan politis. Bagi saya, logika ini sangat
ironis. Mengapa? Pertama, yang melakukan pelecehan agama adalah Ahok,
karena melakukan pengutipan surat Al-Maidah ayat 51, sementara yang
bersangkutan adalah bukan penganut agama Islam. Dengan demikian, sangat wajar
jika umat Islam menuntut agar oknum yang melecehkan agamanya diberikan sanksi
sesuai ketentuan hukum yang berlaku, sehingga ada efek jera dan pembelajaran
bagi yang lain. Dalam konteks ini, menuntut penegakkan hukum bagi tersangka
penistaan agama adalah wajar, justru yang tidak wajar adalah jika tersangka
penistaan agama harus dilindungi. Kedua, aksi penuntutan atas kasus
penistaan agama sangat politis, karena Ahok adalah calon gubernur. Argumentasi ini
juga saya anggap ironis, dan memprihatinkan karena ada upaya pemutarbalikan
fakta. Penuntut Ahok dianggap politis, dan pembela ahok dianggap tidak politis.
Padahal justru sebaliknya, yang politis itu adalah pembela Ahok karena melihat
konteks penistaan agama dalam hubungannya dengan pilgub DKI, sedangkan penuntut
Ahok tidak politis karena melihat kasus penistaan agama sesuai dengan
konteksnya. Kasus penistaan agama dilakukan menjelang pilkada DKI sehingga
harus segera dituntaskan. Dengan demikian, menjadi sangat jelas siapa yang
toleran dan intoleran, dan kelompok mana yang politis dan tidak politis dalam
kasus yang mendera Ahok.
Kembali pada aksi heroik seputar pelaksanaan aksi
super damai 212. Banyak peristiwa yang terjadi diluar kemampuan logika biasa. Memang
dalam urusan agama, ada hal-hal yang mampu dicerna secara nalar tetapi ada yang
tidak, disinilah ranahnya iman. Diceritakan bahwa pada aksi tersebut, ada peserta
yang berjalan kaki dari Ciamis ke Jakarta, gara-gara jasa transportasi yang
semula sudah sepekat tiba-tiba membatalkan secara sepihak. Tentu menjadi
pertanyaan, karena yang namanya jasa transportasi tugasnya adalah mencari
penumpang untuk diantarkan pada tujuan demi meraup keuntungan. Anehnya, ada
penumpang dari Ciamis ke Jakarta yang jumlahnya ribuan orang justru diabaikan
dan dilakukan pembatalan secara sepihak. Seolah tidak mau terhalang oleh jasa
transportasi, kaum muslimin memutuskan untuk berjalan kaki. Ini sangat luar
biasa, karena jarak antara Ciamis menuju Jakarta adalah lebih-kurang 300 km. Menempuh
jarak 10 km dengan jalan kaki sudah pasti mengalami keletihan yang luar biasa,
bagaimana dengan 100 km, 200 km, atau bahkan hampir 300 km? Hebatnya lagi
adalah, setelah sampai di Jakarta jammah tersebut langsung bergabung dengan
jamaah lainnya yang telah lebih dulu sampai di Monas. Secara logika, tentu
sesuatu yang hampir tidak dipercaya, tetapi ini menjadi fakta. Disinilah ghirah
Islam bersemayam, bahwa setiap muslim yang betul-betul meyakini kebenaran
agamanya, maka pasti dia akan bersungguh-sungguh (ber-mujahada), akan
berjihad dengan harta, jiwa, dan raganya di jalan Allah. Melaksanakan ibadah
ritual (shalat, puasa, zakat, dan lain-lain) adalah rutinitas, setiap waktu
dapat dilaksanakan, tetapi berjihad (asal kata; jahada, yujahidu, jihadun)
membela Agama Allah adalah momentum langka. Pada konteks inilah kaum muslinim
berlomba-lomba untuk mengambil peran, sehingga jangankan 300 km, lebih dari
itupun kaum muslimin pasti mempunyai kemampuan karena adanya ghirah jihad
yang tertanam dalam jiwa dan raganya.
Cerita lain yang tidak kalah harunya adalah seorang
ibu yang membawa 500 nasi kotak untuk dipersembahkan kepada peserta aksi super
damai 212. Setelah sampai dilokasi, lalu nasi kotaknya dibagikan kepada seluruh
jamaah. Dia lalu menyadari bahwa nasi kotak persediaannya tidak cukup. Dengan cepat
sang Ibu bergegas mendatangi semua warung makan di seputaran Monas, HI, Jalan
Thamrin, dan Jalan Sudirman, ternyata semua sudah habis laku terjual. Sang ibu
inipun menangis dan menyesali dirinya, mengapa tidak menyiapkan nasi lebih
banyak lagi? uang yang masih tersedia di sakunya ternyata tidak dapat digunakan
untuk bersedekah bagi jamaah yang saat itu sedang membutuhkan. Bagi sang Ibu,
momentum langka yang terbentang dihadapannya untuk berbagi, untuk berikhlas,
untuk bersedekah dengan harta yang dimiliki, tidak mampu digunakan secara
maksimal. Pada cerita ini ghirah Islam hadir dalam wujud keikhlasan, siapapun
yang meyakini kebenaran agamanya secara sungguh-sungguh maka dia akan berbuat
secara ikhlas tanpa mengharapkan pujian dan imbalan apapun.
Beda lagi dengan cerita penjual bakpao yang
rutinitasnya adalah mendorong gerobak jualannya berkeliling diseantero Kota Jakarta.
Entah berapa puluh kilometer jalan yang dilewati setiap hari dan berapa keuntungan
yang didapatkan dalam sebuah bakpao yang terjual. Syukur kalau semua jualannya
habis terjual, jika tidak maka jumlah keuntungannya akan terkurangi oleh bakpao
yang tidak laku yang harus dimakan atau dijual gratis dari pada basi. Tetapi,
pada hari pelaksanaan aksi super damai 212 penjual bakpao yang satu ini tidak
mau berkeliling menjajakan jualannya. Dia memilih untuk mengratiskan jualannya
bagi peserta demo, dia dengan senang hati menyampaikan kepada seluruh jamaah
untuk datang menikmati bakpaonya tanpa harus membayar. Tidak tanggung-tanggung,
gerobaknya dibawa mendekat jamaah dengan tulisan “gratis”, tulisan yang
seumur-umurnya menjual tidak pernah melekat di gerobak kesayangannya itu. Bagi orang
berduit mungkin akan bertanya, “berapa sih harga bakpao dalam satu gerobak”? tapi
bagi penjual bakpao, ini adalah wujud pengorbanan dan keikhlasan yang luar
biasa. Dan inilah batas kemampuan penjual bakpao untuk berkorban di jalan
Allah, seandainya dia memiliki kemampuan lebih dari itu maka sudah pasti
pengorbanannya akan jauh lebih banyak. Disinilah ghirah Islam bersemayam, bahwa
dalam berkorban, Allah tidak akan melihat sedikit dan banyaknya, tapi yang akan
dilihat adalah nilai keikhlasannya kita. Sedikit yang ikhlas jauh lebih
bernilai, dari pada banyak dengan pamrih.
Dan masih banyak lagi kisah heroik, yang membuat para
jamaah dan seluruh masyarakat terkagum-kagum. Semua jenis bantuan datang menghampiri
para jamaah. Sepanjang trotoar jalan yang dilewati oleh para pejalan kaki penuh
dengan aneka minuman, makanan, dan kebutuhan lainnya yang disediakan untuk para
jamaah. Begitu pula semua trotoar di seputaran monas, jalan Thamrin, jalan
Sudirman, dan sekitarnya dipenuhi makanan dan minuman yang diperuntukan bagi
peserta aksi super damai 212. Tidak ada taman yang rusak, tidak ada sampah yang
berserakan, selesai aksi super damai lokasi langsung bersih dan teratur. Kaum muslimin
betul-betul menunjukkan solidaritasnya, toleransinya, dan rasa persaudaraan
yang luar biasa. Momentum 212 telah menampakkan wajah Islam yang sebenarnya. Wajah
Islam yang teduh, yang damai, yang suka bertoleransi, yang menjungjung tinggi
supremasi hukum, dan yang mencintai NKRI. Semuanya terjadi karena ghirah Islam,
yaitu bersungguh-sungguh (jahada/jihad), membantu tanpa pamrih (ikhlas),
suka membantu (ta’awun), dan memberikan contoh yang baik (uswah)
demi mewujudkan rahmatan lil’alamin. Wallahu a’lam bish-shawab
Belum ada tanggapan untuk "GHIRAH ISLAM DALAM AKSI DAMAI 212"
Posting Komentar