Ilustrasi (Copy dari www. google.com) |
Usai sudah aksi demonstrasi “sejuta umat” jilid II
guna menyikap kasus dugaan penistaan Agama yang dilakukan oleh Basuki Tjahaya
Purnama alias Ahok. Aksi yang diperkirakan dihadiri oleh lebih dari satu juta
umat tersebut berjalan tertib dan santun, serta berakhir damai. Kalaupun pada
akhir aksi sempat terjadi ketegangan antara pihak aparat keamanan dengan
beberapa oknum demonstran, tetapi ketegangan tersebut dapat segera teratasi.
Artinya, kekhawatiran masyarakat akan terjadinya kerusuhan bernuansa SARA
sehubungan dengan aksi tersebut tidak terjadi. Yang dikecewakan oleh publik
adalah pada Jokowi yang justru tidak menemui para demonstran, beliau justru
lebih mementingkan untuk meninjau proyek kereta di Bandara Soekarno-Hatta
(republika.co.id). Masyarakat lalu bertanya, “ada apa dengan Jokowi”? Mengapa
Jokowi lebih mementingkan peninjauan proyek yang sebenarnya dapat dilakukan
oleh Menteri Perhubungan atau ditunda peninjauannya dihari lain? Bukankah
informasi pelaksanaan aksi sudah dipublish jauh hari, sehingga Presiden
pun sudah tahu akan rencana kegiatan tersebut? Dalam konteks ini, kesan yang muncul
adalah Jokowi “menghindar” untuk bertemu langsung dengan para demonstran.
Semula melakukan pertemuan khusus dengan Ketua Umum
Gerindra, Prabowo Subianto di kediamannya (Hambalang Bogor), lalu esok harinya
(1/11/2016) Presiden Jokowi kembali mengadakan pertemuan dengan tiga pimpinan
ormas keagamaan, yaitu Ketua MUI KH. Ma’ruf Amin, Ketua PB NU KH. Said Aqil
Siradj, dan Ketua PP Muhamadiyah, Dr. Haedar Nasir. Setelah itu kembali
mengadakan pertemuan dengan mengundang sejumlah tokoh dan ormas keagamaan di
Istana Negara. Dari sejumlah rangkaian langkah tersebut, nampak bahwa Jokowi
sangat serius menanggapi rencana demonstrasi besar-besaran yang dilakukan pada (4-11)
kemarin. Tetapi, saya menilai bahwa keseriusan yang ditampakkan oleh Jokowi
adalah bukan pada penyelesaian dugaan kasus penistaan Agama, tetapi pada
kekhawatiran akan terjadinya kerusuhan di Ibukota. Meskipun Jokowi paham, bahwa
demostrasi besar-besaran tersebut adalah dalam rangka menuntut penuntasan dugaan
kasus penistaan Agama. Paling tidak bahwa ada dua fakta yang dapat dijadikan
rujukan. Fakta pertama, dari hasil pertemuan dengan Ketua Umum Gerindra di
Hambalang, hasil pertemuan Ketua MUI, Ketua PB NU, dan Ketua PP Muhamadiyah,
serta pertemuan dengan sejumlah tokoh dan ormas keagamaan di Istana Negara,
aspek yang menjadi penekanan adalah “boleh berdemontrasi tetapi harus damai”,
bukan pada larangan berdemonstrasi dan juga bukan pada penegasan percepatan
penanganan kasus sebagaimana yang diharapkan oleh massa. Fakta kedua, ormas
keagamaan yang paling getol menuntut penuntasan dugaan kasus penistaan Agama
sekaligus sebagai inisiator gerakan demonstrasi justru tidak diundang. Ormas-ormas
yang diundang ke Istana adalah yang dianggap lebih moderat dalam menanggapi dugaan
kasus penistaan Agama yang dilakukan oleh Ahok.
Mengapa Jokowi “terbawa” masuk dalam pusaran dugaan kasus
penistaan agama? Bukankah oknum yang diduga melakukan tindakan penistaan Agama
adalah Ahok? Sehingga dengan demikian, polemik ini cukup melibatkan umat Islam
(sebagian) sebagai pihak yang menuntut, Ahok sebagai pihak yang dituntut, dan
Kepolisian sebagai pihak yang menangani tuntutan (perkara). Nampaknya, pihak
penuntut memandang bahwa kunci sukses penyelesaian polemik ini sangat
tergantung pada Presiden. Pada beberapa kasus, Ahok dianggap “kebal hukum”
sehingga tanpa adanya penegasan dari Presiden, maka mustahil masalah dapat
diselesaikan. Dalam konteks ini yang diharapkan oleh kelompok penuntut adalah
adanya pernyataan atau penegasan dari Presiden yang ditujukan kepada pihak
Kepolisian agar kasus tersebut segera dituntaskan secara adil dan transparan.
Pada posisi ini, Jokowi diperhadapkan dengan sebuah dilema. Pada satu sisi, figur
yang diminta pertanggung jawabannya atas dugaan penistaan agama adalah Ahok
yang saat ini menjadi calon gubernur DKI Jakarta melalui usungan PDI-P, Golkar,
Nasdem, dan Hanura. Sebenarnya, penyelesaian masalahnya sangat sederhana. Cukup
Presiden melakukan konferensi pers atau melakukan pidato yang intinya adalah
“meminta kepolisian untuk mengusut secara tuntas dugaan kasus penistaan agama tersebut
secara jujur, adil, dan terbuka”. Dengan melakukan pidato atau konferensi pers,
maka pihak-pihak yang menuntut akan merasa puas, sembari menunggu penyelesaian
kasus melalui jalur hukum. Dilemanya adalah, jika Ahok menjadi terperiksa
apakah lagi tersangka, maka Ahok berarti telah diperhadapkan dengan persoalan
hukum, dan kemungkinan besar akan berpengaruh pada elektabilitas Ahok, sesuatu
yang sangat tidak di inginkan oleh Jokowi. Sebagai kader PDI-P dan juga
terpilih menjadi Presiden melalui usungan PDI-P, tentu Jokowi sangat
menginginkan agar figur yang terpilih menjadi gubernur DKI Jakarta adalah figur
usungan PDI-P. Dengan demikian, mendorong percepatan penuntasan dugaan kasus
yang melibatkan Ahok adalah langkah yang tidak strategis untuk pemenangan Ahok.
Jika Ahok kembali terpilih, maka ini akan mempermudah langkah Jokowi menjadi
Presiden untuk periode kedua. Tetapi jika Ahok kalah, maka langkah Jokowi tidak
akan mudah, karena baik Anies Baswedan maupun Agus Harimurti Yudhoyono
(siapapun yang terpilih) adalah figur potensial yang akan menjadi saingannya
dalam perebutan kursi Presiden periode mendatang. Benar dan tidaknya hipotesis
ini, tentu Jokowi sangat paham karena pernah mengalaminya ketika menjadi
Gubernur DKI Jakarta lalu menjadi Presiden. Tetapi, jika Jokowi memilih menghindar
dan mengangggap seolah-olah dugaan kasus penistaan agama adalah hal biasa, atau
dianggap tidak pernah terjadi, maka dilemanya adalah sang Presiden akan
berhadapan dengan kemarahan umat muslim yang entah berapa banyak jumlahnya, dan
entah kapan akan berakhir. Tentu situasi ini tidak menguntungkan terutama untuk
perjalanan kepemimpinannya yang baru memasuki tahun ketiga dan masih ada
kepentingan untuk menjadi Presiden untuk periode selanjutnya. Umat Islam di
negeri ini adalah mayoritas, ini harus menjadi perhatian Jokowi. Meskipun pada
ranah politik praktis, suara partai-partai Islam tidak selalu paralel dengan
jumlah umat Islam yang mayoritas, tetapi kasus penistaan agama adalah persoalan
lain dan sangat sensitif. Ajaran Islam sangat menekankan sinergisitas antara
keyakinan, perkataan, dan perbuatan. Sehingga adanya oknum-oknum yang melakukan
penghinaan atau pelecehan atas agama dan keyakinannya akan menjadi ruang jihad
dalam beragam ekspresi guna membela kemurnian agamanya. Dalam Islam, jihad
adalah puncak penghambaan mahluk atas Khaliknya, sehingga wujudnya bisa bi amwalihim
(dengan harta mereka) dan bi anfusihim (dengan jiwa mereka). Dengan demikian,
tidak mengherankan jika umat Islam sangat reaktif ketika mengetahui bahwa
Al-Qur’an yang menjadi sumber ajaran Agama dan keyakinannya dilecehkan.
Pada akhirnya, kita berharap bahwa persoalan dugaan kasus
penistaan agama yang disangkakan pada Ahok dapat dilihat murni sebagai
persoalan hukum. Dengan demikian, proses hukumnya segera berjalan dan menemui
kejelasan. Kita sepakat bahwa Indonesia yang kita cintai ini adalah negara
hukum, sehingga tidak boleh ada warga negara yang kebal hukum, semua warga
negara yang melanggar hukum harus diproses sesuai prosedur hukum yang berlaku.
Kepada Presiden, kita berharap bahwa demontrasi dengan jumlah massa yang banyak
tidak dianggap sebagai bentuk pembangkangan umat Islam terhadap kepemimpinan
saat ini, tetapi adalah bentuk kecintaan umat Islam terhadap Jokowi sehingga
begitu menaruh harapan bahwa oknum yang diduga melecehkan agama yang
diyakininya dapat diproses secara hukum. Kepada Umat Islam, dua kali gerakan
demonstrasi menuntut proses hukum atas Ahok rasanya sudah cukup, masih banyak
agenda-agenda keIndonesiaan dan keIslaman yang perlu disikapi. Dan kepada Ahok,
semoga ini menjadi pelajaran sehingga tutur kata bisa lebih terjaga. “Tafsirkanlah
kandungan makna ayat-ayat dari kitab agamamu, biarkan kami umat Islam
menafsirkan atau memaknai sendiri kandungan makna dari ayat-ayat kitab agama
kami”. Dengan begitu, maka tolerasni antar umat beragama akan berjalan dengan
baik. Wallahu a’lam bish-shawab.
Belum ada tanggapan untuk "Dilema Jokowi dalam Pusaran Dugaan Kasus Penistaan Agama"
Posting Komentar