Ilustrasi Jabatan Kepala Sekolah (www.goriau.com) |
Mengapa dunia
sekolah selalu nampak seperti “gadis cantik” setiap kali menjelang pemilihan
kepala daerah (pilkada)? Bisa jadi
karena posisinya yang menampung orang banyak, lalu dianggap sebagai “kantong-kantong”
suara potensial dan perlu dimanfaatkan oleh penentu kebijakan atau aktor-aktor
politik guna mendulang suara. Atau bisa jadi karena fungsinya yaitu menjadi
wadah menumbuhkan generasi cerdas, sehingga mengendalikan sekolah dapat menjadi
langkah strategis guna membangun image positif kepada masyarakat luas
melalui institusi sekolah. Bagaimanapun, membangun citra positif dalam politik
bukan perkara gampang, perlu wadah yang tepat dan strategis sehingga masyarakat
dapat percaya dengan citra yang dibangun. Jika salah menentukan wadah, maka
bisa saja yang terbangun adalah sebaliknya. Dalam konteks inilah sekolah selalu
menjadi menarik setiap menjelang sampai selesainya pilkada.
Situasi ini
menempatkan kepala sekolah pada situasi yang sangat dilematis. Pada satu sisi
dia harus memperlihatkan loyalitasnya kepada atasannya (Kepala Dinas dan Bupati),
sementara Bupati sendiri adalah aktor politik yang sudah tentu tidak bebas dari
kepentingan politik. Pada sisi yang lain kepala sekolah tidak bisa menghindar
dari ajakan, janji promosi, atau ancaman mutasi bahkan non job jika
tidak ikut membantu pemenangan figur politik tertentu. Dalam situasi menjelang
pilkada, istilah “netral” atau bahkan “profesional” tidak berlaku. Kata yang
berlaku adalah “mendukung” atau “tidak mendukung”, sementara tugas kepala
sekolah tidak masuk pada ranah itu. Kepala sekolah adalah guru (pendidik
profesional) yang diberikan tugas tambahan. Sehingga tugas utama kepala sekolah
adalah mendidik anak secara profesional sekaligus menjadi penanggung jawab
berlangsungnya proses belajar mengajar pada satuan pendidikan yang dipimpinnya.
Kesalahan yang sering terjadi adalah kepala sekolah tidak maksimal melaksanakan
tugas profesionalismenya, kepala sekolah tanpa sadar telah terjebak masuk pada
kerja-kerja politik praktis. Bisa juga karena aktor politik bersama tim
suksesnya salah memaknai tugas profesional kepala sekolah, sehingga dianggap
tidak mendukung langkah-langkah pemenangan. Akibatnya adalah terjadilah mutasi
besar-besaran sebelum dan sesudah pilkada (terutama setelah pelantikan Bupati
terpilih). Bagi kepala sekolah yang dianggap tidak maksimal melaksanakan tugas
profesionalnya, dan bahkan tanpa sadar telah terjebak masuk pada kerja-kerja
politik praktis, mutasi atau pembebasan dari jabatan (non job) adalah
imbalan yang setimpal. Tetapi, bagi kepala sekolah yang dimutasi, diganti dan
dijadikan guru biasa hanya karena aktor politik bersama tim suksesnya salah
memaknai tugas profesional kepala sekolah, maka ini sungguh sangat
memprihatinkan. Dunia sekolah akan kehilangan spirit profesionalismenya, dan
yang berperan besar terhadap situasi ini adalah Kepala daerah sendiri. Proses
pemutasian dan pembebasan dari jabatan kepala sekolah tidak akan memberi efek
jera, tetapi hanya akan menjadi “lingkaran setan”. Para kepala sekolah yang
menjadi korban mutasi, serta guru-guru profesional yang telah memenuhi syarat
menjadi kepala sekolah pada gilirannya hanya akan menunggu momentum pilkada,
lalu menjadi tim sukses supaya setelah menang dapat dilantik kembali atau
dipromosi menjadi kepala sekolah.
Situasi ini
tentu harus segera diakhiri. Upaya membawa dunia sekolah ke ranah politik
praktis adalah langkah yang tidak bijak. Bukan hanya bagi kemajuan
sekolah, masa depan karir kepala sekolah dan dewan guru, tetapi juga bagi masa
depan anak-anak yang sedang mengenyam pendidikan di sekolah. Jika pemerintah
daerah sepakat, maka sudah saatnya promosi kepala sekolah dilakukan melalui merit
system, suatu mekanisme promosi jabatan yang didasarkan pada tiga
hal, yaitu kompetensi (competence), kinerja (performance), dan
prestasi (achievement). Untuk mengetahui kemampuan yang dimiliki oleh
seorang calon kepala sekolah pada tiga aspek tersebut, maka perlu dilakukan
serangkaian penilaian (assessment). Penilaian kompetensi untuk mengukur
potensi yang dimiliki oleh calon pejabat dengan jabatan yang akan diemban;
penilaian kinerja agar penentu kebijakan memiliki referensi yang cukup tentang
kemampuan kerja dan dedikasi seorang calon kepala sekolah; dan penilaian prestasi
untuk mengetahui sejumlah ‘hasil positif’ yang telah ditorehkan oleh seorang
calon pejabat selama menggeluti dunia profesional. Ketiga penilaian ini wajib
dilakukan untuk mendapatkan promosi ‘orang yang tepat ditempatkan pada posisi
yang tepat’ yang dalam istilah manajemennya disebut dengan the right man on
the right place. Untuk mewujudkan langkah ini maka pemerintah daerah perlu
membentuk tim penilai yang terdiri dari orang-orang yang kapabel, independen,
dan profesional. Tim inilah yang akan bekerja melakukan penilaian, mulai dari tahap
perencanaan (menetapkan jadwal, syarat-syarat peserta, termasuk waktu dan tempat
pelaksanaan penilaian), tahap pelaksanaan (penilaian tertulis, interview,
penilaian portofolio, penilaian kesehatan, dan penilaian psikologis), sampai
dengan penetapan nama-nama calon kepala sekolah yang memenuhi syarat dengan
perolehana nilai terbaik. Dalam konteks ini, tim penilai perlu menetapkan
standar nilai minimal yang harus dicapai oleh setiap peserta tes. Hasil assessment
akan meneguhkan para figur yang ‘layak’ dan ‘tidak layak’ menjadi kepala
sekolah.
Dengan
langkah ini, tidak akan ada lagi kepala sekolah atau calon kepala sekolah yang
terjebak ikut menjadi tim sukses pada setiap momentum pilkada; demikian juga
tidak akan ada lagi kepala sekolah yang disalah persepsikan mendukung figur
tertentu. Apa yang akan dilakukan oleh kepala sekolah dan atau calon kepala
sekolah adalah bekerja secara profesional dan berdedikasi guna menghasilkan
prestasi. Sehingga kedepan, tidak akan ada lagi pelantikan kepala sekolah
secara masal menjelang pilkada, dan tidak akan ada lagi pemutasian kepala
sekolah secara sporadis pasca pilkada. Mengapa? Karena promosi, mutasi, dan
demosi kepala sekolah lebih ditentukan oleh hasil assessment yang berbasis pada
kompetensi, kinerja, dan prestasi. Wallahu a’lam bish-shawab.
Belum ada tanggapan untuk "Merit System untuk Menata Dunia Persekolahan "
Posting Komentar