Lima Langkah Membangun SDM Wakatobi


Ilustrasi Menajemen SDM (Dicopy dari anneahira.com).

Sejak selesainya seremoni pelantikan, yang dilanjutkan dengan deklarasi Kabupaten Maritim,’nakhoda baru’ Wakatobi terus melakukan berbagai langkah pembangunan. Mulai dari konsolidasi birokrasi, penataan struktur pemerintahan, penuntasan RPJMD, penyusunan APBN-P, dan sejumlah rutinitas birokrasi lainnya. Bersamaan dengan itu, alarm tentang kewajiban pemenuhan janji politik terus “dibunyikan” melalui media sosial. Nampaknya, media sosial telah merubah cara pandang para aktifis maupun pegiat sosial dalam mengingatkan para penentu kebijakan tentang janji politiknya. Jika dahulu, sarana menagih janji yang paling strategis adalah melalui pressure dengan melakukan gerakan demonstrasi, cara tersebut justru dinilai sudah tidak efektif. Selain butuh energi, biaya, waktu, juga sangat rentan berhadapan dengan persoalan hukum. Saat ini, langkah tepat dan cepat justru melalui media sosial, karena hanya dengan membuat ‘status’ dalam waktu sekejap uraian kata tersebut akan tersebar ke seluruh akun pengguna media sosial tanpa mengenal batasan ruang dan waktu. Langsung mengena, langsung diketahui oleh masyarakat luas, dan tidak bisa dihindari.
Salah satu janji politik yang seringkali dijadikan pengingat adalah ‘penempatan dokter spesialis di setiap pulau dan pemberian beasiswa studi (S1, S2 & S3)’ bagi mahasiswa Wakatobi. Pada konteks ini, pemerintah daerah harus lebih arif dan bijaksana dalam meresponi tuntutan pemenuhan janji politik. Adanya pengingat, tuntutan, atau apapun istilahnya merupakan gambaran bahwa masyarakat Wakatobi begitu penaruh harapan besar pada pemerintahan baru akan perubahan nasibnya terutama dalam pelayanan kesehatan yang maksimal serta peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM). Tetapi, pemerintah daerah harus lebih jeli dalam melihat prioritas pembangunan daerah. Postur APBD yang terbatas, serta kebutuhan anggaran yang tidak sedikit untuk penyediaan dokter spesialis serta beasiswa studi, menuntut pemerintah daerah harus cerdas dalam menentukan strategi pengembangan SDM. Melupakan janji bukan langkah yang bijak, tidak hanya terkait dengan kepercayaan masyarakat dan masa depan kepemimpinan penguasa, tetapi juga terkait dengan persoalan karakter. Masyarakat Wakatobi terkenal dengan prinsip hidupnya yang dibangun atas filosofi Gau Satoto, yang bermakna satunya kata dengan perbuatan. Melupakan janji berarti mengingkari filosofi hidup, dan ini adalah bentuk pembelajaran yang kurang ‘elok’.
Dengan demikian, melunasi janji politik adalah sebuah keniscayaan, tetapi prosesnya harus bertahap, tidak kun fayakun. Mengembangkan SDM tentu membutuhkan anggaran yang banyak karena itu harus disesuaikan dengan ketersediaan anggaran dalam APBD (anggaran pendapatan dan belanja daerah). Struktur APBD terdiri dari pendapatan, belanja, dan pembiayaan. Pendapatan bersumber dari PAD (pendapatan asli daerah), dana transfer dan lain-lain pendapatan yang sah. Dari keseluruhan sumber pendapatan tersebut ada yang penggunaanya prioritas atau tidak boleh mendahulukan yang lain (misalnya belanja pegawai, dana desa, DAK yang peruntukannya sudah jelas dan harus sesuai juknis, alokasi dana untuk ADD, dan lain-lain). Dengan banyaknya kegiatan yang sifatnya prioritas, maka pemerintah daerah akan semakin kesulitan merencanakan anggaran untuk pembiayaan peningkatan SDM (beasiswa S1/S2/S3 dan dokter spesialis). Namun, jika pemerintah daerah mempunyai keseriusan dalam membenahi kualitas SDM yang dimiliki, maka diperlukan beberapa langkah terobosan.
Pertama, mendorong pendirian perguruan tinggi (PT). Perguruan Tinggi adalah center of excellent, dan kontribusinya terhadap pengembangan SDM tidak dapat diragukan lagi. Dalam hal ini kita dapat mengambil contoh dari Yogyakarta, Malang, dan Bogor. Tersedianya sumber daya manusia dengan kualitas yang baik, tidak dapat dipisahkan dari peran perguruan tinggi yang ada diketiga daerah tersebut. Atau, kalaupun mencontoh Yogyakarta, Malang, dan Bogor dianggap tidak imbang dengan Wakatobi yang belum lama berdiri, maka kita dapat mencontoh Buton dengan adanya Unidayan, Kolaka dengan adanya USN, dan Konawe dengan adanya Unilaki. Hadirnya beberapa berguruan tinggi tersebut disadari atau tidak telah ikut berperan meningkatkan kualitas SDM di daerah. Mendorong pendirian perguruan tinggi, berarti pemerintah daerah telah berupaya membuka akses peningkatan SDM, tetapi dengan sumber pembiayaan yang tidak membebani anggaran daerah.
Kedua, menjalin kerjasama dengan penyelenggara beasiswa. Suatu ketika, saya bertemu dengan seorang pemuda yang setelah berkenalan saya ketahui bernama Harun, berasal dari Maluku Utara. Menurut pengakuannya, beliau mendapatkan beasiswa dari LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan) tanpa seleksi. Saya sedikit heran karena yang saya pahami penerima beasiswa LPDP harus mengikuti serangkaian tes sebelum dinyatakan berhak menerima bantuan pendidikan secara penuh. Ternyata, menurut pengakuan Harun dia hanya direkomendasikan dari kampusnya untuk mengikuti seleksi masuk pascasarjana (S2) di UNY (Universitas Negeri Yogyakarta). Harun adalah mahasiswa lulusan terbaik ketika wisuda sehingga mendapatkan rekomendasi tersebut. Setelah proses kuliah berjalan, Harun lalu dihubungi oleh pengurus dan menginformasikan bahwa dia sudah ditetapkan menjadi penerima beasiswa LPDP. Ketika saya tanyakan prosesnya, Harun menjawab bahwa “kampus ada kerjasama dengan LPDP”. Beda lagi dengan Cahyadin, pemuda Bima ini saya bertemu di Masjid. Setelah lama cerita, saya ketahui bahwa beliau sedang mengikuti kursus intensif bahasa Inggris sebagai persiapan penerima beasiswa LPDP dari Kementerian Keuangan. Sedangkan Jumadin (Guru SMP Satap Oihu) saat ini sedang mengikuti kuliah Pascasarjana di Universitas Negeri Malang (UM) setelah memperoleh beasiswa GTK dari Kemendikbud. Bedanya dengan Harun adalah, Cahyadin dan Jumadin dinyatakan lulus setelah mengikuti tahapan seleksi. Dan masih ada beberapa teman yang berasal dari berbagai daerah, melanjutkan studi dengan beasiswa dari lembaga yang berbeda, entah dari Dikti, Dikbud, Kemenag, dan lembaga penyandang lainnya. Dari pengalaman ini, saya kemudian berkesimpulan bahwa meningkatkan kualitas SDM di daerah (khususnya melalui pendidikan S2/S3), tidak harus membebani APBD. Pemerintah daerah cukup membangun jalinan kerja sama dengan lembaga penyelenggaran beasiswa, lalu mendiseminasikannya kepada seluruh masyarakat terutama pada kader-kader potensial yang dimiliki oleh daerah.
Ketiga, membangun perpustakaan daerah yang representatif. Perpustakaan yang dimaksud bukan gedung sekolah, bukan ruang belajar yang dibuatkan rak-rak buku lalu diisikan buku sebanyak-banyaknya, setelah itu dibuatkan plang papan nama “Perpustakaan Daerah”. Perpustakaan daerah yang dimaksud adalah “gudang ilmu pengetahuan”, sarana menumbuhkan minat baca masyarakat, tempat mencari berbagai referensi (buku, jurnal, majalah, proseding, dll), tempat membaca berita online, tempat mengetik, tempat berdiskusi, tempat seminar, tempat pelatihan, workshop, dan lain sebagainya. Konsekuensinya adalah perpustakaan daerah harus di desain semenarik mungkin dengan sarana yang memadai yang akan mendukung aktivitas belajar masyarakat. Dalam hal ini, pemerintah daerah dapat belajar dari model pengelolaan perpustakaan Kota Yogyakarta. Lokasinya termasuk sempit dengan gedung yang sederhana berlantai dua. Koleksi buku ada di lantai satu, sedangkan koleksi novel, jurnal, dan referensi lainnya di lantai dua. Halaman kantor, selain untuk tempat pakir kendaraan, juga di desain dua model tempat duduk bagi pengunjung, ada yang model lurus, dan ada yang model melingkar. Dibagian belakang ada mushola sedangkan dibagian samping ada warung angkringan. Setiap masyarakat (siswa, mahasiswa, umum) yang berkunjung, setelah mengisi daftar hadir lalu diberikan kode wifi gratis dan memilih tempat duduk apakah di dalam atau di luar. Masyarakat disiapkan waktu dari jam delapan pagi sampai jam delapan malam (jika di dalam), tetapi jika memilih tempat duduk luar disiapkan waktu sampai jam 12 malam. Karena koneksi internet bagus, ada mushola, ada angkringan, referensi tersedia, suasana aman, maka masyarakat jadi betah berlama-lama di perpustakaan. Setiap hari, perpustakaan tidak pernah sunyi dari pengunjung, bahkan tidak sedikit masyarakat yang menjadikannya sebagai tempat wisata belajar.
Keempat, membangun asrama mahasiswa. Salah satu kendala utama masyarakat melanjutkan studi di luar daerah adalah tempat tinggal. Untuk biaya makan masih memungkinkan untuk memilih yang mampu dijangkau, sedangkan untuk harga buku masih ada alternatif dengan foto copy atau mencari tempat-tampat penjualan buku murah. Tetapi tempat tinggal adalah sesuatu yang sangat urgen dan tidak bisa ditunda. Dalam konteks inilah pentingnya dibangun asrama mahasiswa. Dengan adanya asrama, mahasiswa tidak akan merasa sendirian, ada teman berbagi, membangun hidup berkelompok, dan mahasiswa dibiasakan dalam pergumulan lintas budaya dan karakter dalam suasana yang akademis. Untuk merealisasikan langkah keempat ini, ada tiga daerah yang dapat menjadi prioritas yaitu Yogyakarta, Malang, dan Makassar. Yogyakarta dan Malang adalah kota pelajar, biaya hidup masih relatif murah, perguruan tinggi (negeri dan swasta) dengan kualitas tinggi, banyak pilihan program studi, dan iklim akademiknya ‘membelajarkan’. Sedangkan Makassar dipilih karena terhitung masih dekat dengan Wakatobi tetapi memiliki sejumlah perguruan tinggi berkualitas dengan pilihan program studi yang variatif.
Kelima, memberikan kemudahan dalam pemberian izin belajar. Apakah SDM Wakatobi sudah merasa puas dengan kemampuan yang dimiliki sekarang? Jawabannya tidak. Dalam beberapa diskusi saya kemudian memahami bahwa banyak yang memiliki hasrat melanjutkan studi, tetapi mengalami kendala dalam hal biaya dan izin. Ada juga yang secara finansial mempunyai kemampuan, tetapi malas berurusan dengan segala macam urusan administrasi yang menjadi syarat mendapatkan izin belajar. Akan sangat baik jika pemberian izin studi dipermudah tetapi harus disertai dengan adanya komitmen dari yang akan diberikan izin atau tugas belajar, bahwa selesai studi harus kembali mengabdi kepada daerah, bukan justru meminta mutasi ke daerah lain.
Jika lima langkah ini dapat diwujudkan, maka Insya Allah sumber daya manusia (SDM) Kabupaten Wakatobi akan semakin baik. Dan dengan demikian, janji politik yang pernah diungkapkan pada saat kampanye tidak lagi menjadi beban, karena lambat laun dan pasti akan terlunasi. Wallahu a’lam bish-shawab.

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Lima Langkah Membangun SDM Wakatobi "

Posting Komentar