Belajar dari Spirit Perubahan Udu Bersaudara



Sumiman Udu dan Hamirudin Udu ketika mengikuti Ujian Terbuka

Jika ada yang menanyakan siapakah gerangan orang yang paling bahagia pada saat ini, maka mungkin tidak berlebihan jika jawabannya adalah pak La Udu. Bagaimana tidak berbahagia, bahwa dalam hitungan bulan dua putra kesayangannya, Sumiman Udu dan adiknya Hamirudin Udu mampu  menyelesaikan studi jenjang doktoralnya masing-masing pada dua Perguruan Tinggi ternama. Sumiman Udu menyelesaikan program doktornya pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dengan disertasi “Tradisi Bhanti-Bhanti Wakatobi: Pementasan, Formula, dan Komposisi Skematiknya”, sedangkan Hamirudin Udu menyelesaikan studi doktornya di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana Bali dengan disertasi “Tradisi Lisan Kangkilo: Refleksi Paham Tasawuf dan Politik Kekuasaan di Kesultanan Buton”. Menariknya adalah penuntasan studi oleh dua saudara kandung tersebut hanya jeda bulan. Jika Sumiman Udu (kakak) selesai pada akhir bulan Juli, Hamirudin Udu (adik) selesai pada akhir bulan September 2016.
Pak La Udu, berasal dari Desa Longa, berperawakan agak tinggi (untuk ukuran orang Wakatobi), dan saya sendiri tidak begitu mengenalnya. Saya mengenal beliau ketika dipertemukan pada suatu acara safari Jumat ditahun 2014  bersama Bupati Wakatobi saat itu (Ir. Hugua) dan seluruh pimpinan SKPD. Ketika Hugua masih aktif sebagai Bupati Wakatobi, beliau mempunyai program “Bedah Masjid”. Untuk merealisasikan program keagamaan tersebut, setiap Jumat (ketika tidak keluar daerah) beliau melakukan safari, datang melaksanakan shalat jumat secara berjamaah di masjid-masjid yang masih membutuhkan bantuan perbaikan (rehabilitasi), saya sendiri saat itu mendapatkan tugas sebagai khotib Jumat. Seperti biasa, ketika selesai shalat Jumat, Ir. Hugua (sebagai Bupati) akan memberikan pengarahan, lalu memberikan bantuan secara suka rela untuk perbaikan masjid. Setelah selesai, giliran para Kepala SKPD dimintai sumbangannya satu persatu. Dalam waktu sekejab, dana untuk bantuan perbaikan masjid terkumpul. Tetapi, ada satu kejadian yang membuat saya terkagum pada sosok orang tua yang berada dalam jamaah. Segera setelah semua kepala SKPD menyampaikan jumlah sumbangannya, Bupati lalu bertanya, “sudah berapa yang terkumpul”? secara spontan orang tua itu menyebutkan jumlah dana yang terkumpul. Setelah dicatat dalam selembar kertas dan dihitung ulang, ternyata jumlah tersebut sesuai dengan apa yang disebutkan oleh orang tua tadi. Saya lalu bertanya pada teman yang duduk di samping saya, “siapa orang tua itu”? temanku lalu menjawab, “pak La Udu”. Saya pun berguman dalam hati, “ternyata temanku yang dua itu (Sumiman Udu dan Hamirudin Udu) mewarisi ‘gen matematika’ yang bagus. Bagaimanapun, mampu menangkap jumlah-jumlah atau angka-angka yang variatif secara cepat dan tepat yang bersumber dari banyak orang tanpa menggunakan alat hitung membutuhkan kemampuan diatas rata-rata. Saya menaruh hormat karena itu dilakukan oleh orang tua yang usianya  sudah tidak muda lagi, dimana sebagian orang sudah mulai pikun atau sudah mulai banyak lupa.
Kembali pada soal dua saudara kandung (Sumiman Udu dan Hamirudin Udu) yang dalam goresan ini disebut dengan Udu Bersaudara. Apa faktor yang dimiliki oleh Udu Bersaudara sehingga mampu menuntaskan jenjang pendidikan doktoralnya dalam usia yang masih muda? Tentu jawabannya bukan karena harta. Udu Bersaudara dilahirkan dari keluarga sederhana, kedua orang tuanya hanyalah nelayan dan bertani dengan bermodalkan sedikit kemampuan alami, kemampuan yang diperoleh dari pengalaman, bukan dari jenjang pendidikan formal. Bagi ‘Orang Longa’ melaut membutuhkan ketabahan dan kesabaran serta semangat yang tinggi. Desa Longa berada pada posisi tebing terjal bagian utara pulau wang-wangi, dan memunggungi laut banda (laut lepas). Sehingga hempasan ombak musim barat dan musim timur sangat terasa oleh pelaut-pelaut dari Desa Longa. Struktur tanah diwilayah Longa juga termasuk tandus, sehingga sangat tidak prospektif bagi profesi petani. Kegiatan bertani hanyalah sekedar memanfaatkan musim-musim tertentu untuk pemenuhan kebutuhan keluarga, seperti menanam jagung dan singkong. Aktivitas utama masyarakat adalah merantau ke berbagai daerah guna mengais rizki dirantau orang. Jawabannya juga bukan karena sarana pendidikan yang memadai. Ketika kecil, sarana pendidikan yang tersedia di Longa hanya ada SD (sekolah Dasar), sedangkan sarana pendidikan menengah (SMP dan SMA sederajat) belum tersedia. Bagi Udu Bersaudara, untuk mengikuti jenjang pendidikan menengah mereka harus menempuh perjalanan dengan jarak yang tidak dekat. SMP dan MTs serta SMA dan MA hanya ada di Ibukota Kecamatan (Wanci), sehingga Udu Bersaudara harus melakukan perjalanan (berjalan kaki) dengan jarak sekitar 17 km (jalur Patuno). Ada jalan pintas yang jaraknya sedikit lebih dekat, tetapi mengandung resiko karena harus mendaki gunung dan menuruni lembah (jalur Tindoi).
Lalu, apa faktor kunci suksesnya Udu Bersaudara dalam menempuh pendidikan? jawabannya adalah spirit perubahan. Semangat perubahan, keinginan untuk merubah nasib, upaya untuk merubah diri menjadi lebih baik, adalah kekuatan utama yang dimiliki oleh Udu Bersaudara. Udu Bersaudara tidak memiliki saudara yang telah lebih dahulu mencapai sukses di bidang pendidikan, sehingga mereka tinggal menapaki jalan yang telah ‘dirambah’ oleh pendahulunya; juga tidak mempunyai saudara yang telah sukses menjadi pebisnis dan selalu siap menjadi “funding-nya” setiap membutuhkan biaya dalam menempuh pendidikan. Spirit perubahanlah yang menjadikan Udu Bersaudara tidak berhenti sampai SD, tetapi berani mengambil resiko melakukan perjalanan panjang setiap hari ke wilayah Ibukota (Wanci) demi melanjutkan pendidikan pada jenjang pendidikan menengah pertama (MTs) dan jenjang pendidikan menengah atas (MA/SMA). Sebuah pilihan sulit dan tidak sedikit yang menertawakan ketika pilihan itu diambil. Pada saat itu, pilihan bijak dan diambil oleh kebanyakan teman-teman sebayanya adalah merantau ke Malaysia atau Singapura karena ada rasa optimis bahwa hanya dalam waktu satu atau dua tahun mereka sudah bisa kembali dengan membawa motor Yamaha/Honda/Suzuki. Kembali dari perantauan lalu mengendarai motor Yamaha, Honda atau Suzuki adalah kebanggaan yang luar biasa saat itu. Melanjutkan pendidikan menengah di Ibukota membutuhkan waktu 6 (enam) tahun dan setelah itu belum bisa berbuat apa-apa. Tetapi, pilihan merantau ke Malaysia atau Singapura hanya butuh waktu satu atau dua tahun sudah bisa memetik hasil. Pada konteks ini Udu Bersaudara dihadapkan pada dua pilihan dilematis yaitu pragmatis atau idealis, dan Udu Bersaudara mengambil pilihan kedua meskipun menuai cibiran pada saat itu. Karena semangat perubahanlah sehingga Udu Bersaudara berani mengambil resiko meninggalkan kampung halaman menuju Kota Kendari untuk kembali melanjutkan pendidikan pada jenjang Sarjana. Pilihan kali ini lebih beresiko, medan yang akan diarungi bukan lagi dengan perjalanan kaki, tetapi harus dengan perjalanan laut; dan karena semangat perubahan pula yang mengantarkan Udu Bersaudara sampai ke Kota Yogyakarta dan Kota Denpasar guna menuntaskan jenjang pendidikan paling tinggi, yaitu program Pascasarjana (Magister dan Doktor).
Kini, proses panjang itu mereka telah lewati, Udu Bersaudara oleh dewan penguji pada almamaternya masing-masing dinyatakan berhak menyandang gelar doktor. Tentu, prosesnya tidak singkat tetapi penuh liku dengan suka dan duka. Karena semangat perubahanlah yang menjadikan mereka senantiasa tabah, kuat, sabar, ikhlas, terus berusaha, karena adanya landasan keyakinan bahwa, “Tuhan tidak akan merubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu sendiri yang merubahnya”. Mereka juga menyadari bahwa apa yang dilakukan adalah dalam rangka thalabul’ilmi, dan Tuhan pasti akan memudahkan jalannya orang-orang yang menuntut ilmu serta meninggikan derajatnya. Semangat perubahanlah yang menggerakan Udu Bersaudara untuk secara ikhlas berjalan kaki mendaki gunung menuruni lembah menuju Wanci dari Longa, semangat perubahanlah yang mendorong mereka berani merantau dan hidup “menderita” di Kota Lulo, dan karena semangat perubahan pula mereka rela berjalan kaki menelusuri lorong-lorong Kota Gudeg dan Kota Denpasar. Karena semangat perubahan, mereka rela menahan lapar, dahaga, capek, dan ngantuk demi menelusuri lembaran-lembaran ilmu pengetahuan. Bagi Udu Bersaudara, apa yang telah digapai adalah prestasi; bagi keluarga adalah prestise; tetapi bagi masyarakat, apa yang ditorehkan adalah hikmah. Ada pelajaran penting yang mesti diserap oleh semua generasi, bahwa menuntut ilmu setinggi mungkin tidak mesti dari keluarga kaya, tidak mesti dari  dari keluarga berpendidikan, tidak mesti dari keluarga pejabat, tidak mesti dari keluarga terpandang, dan lain sebagainya. Menempuh pendidikan hingga jenjang yang paling tinggi sekalipun, hanya butuh ‘semangat perubahan’ (spirit of change). Semoga generasi Wakatobi semakin banyak yang mengikuti jejak langkah Udu Bersaudara dalam mengenyam pendidikan. Wallahu a’lam bish-shawab.

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Belajar dari Spirit Perubahan Udu Bersaudara "

Posting Komentar