Mengapa Ahok di Tolak?



www.dakwatuna.com

Nampaknya, Ahok akan semakin jumawa dengan masa depannya menjadi Gubernur DKI Jakarta untuk periode kedua. Kekhawatirannya selama ini akan keputusan PDIP menjatuhkan pilihan ke figur lain ternyata tidak terwujud. Partai yang oleh pendiri sekaligus pimpinan tertinggi menyebutnya sebagai partai “Wong Cilik” tersebut telah bersepakat untuk kembali mengusung calon gubernur dan wakil gubernur petahana, yaitu Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dan wakilnya Djarot Saiful Hidayat pada pilgub DKI 2017. Keputusan ini memang menjadi dilema bagi PDIP, pada satu sisi ada target untuk memenangkan pilgub Jakarta dan jawaban yang paling optimis adalah mengusung kembali Ahok yang saat ini elektabilitasnya semakin tinggi. Bagi PDI Perjuangan, memenangkan pemilihan gubernur DKI adalah langkah awal memenangkan Pemilu 2019, dan hal ini sudah terbukti ketika memenangkan pilgub DKI 2012 dengan mengusung Jokowi-Ahok, lalu memenangkan pemilihan legislatif dan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2014. Tetapi, pada sisi yang lain PDIP tidak ingin di cap sebagai partai yang tidak berpihak pada “Wong Cilik”. Bagaimanapun kebijakan-kebijan Ahok selama menjadi gubernur yang tidak menguntungkan rakyat kecil, akan menjadi bumerang bagi PDIP jika kembali mengusung Ahok. PDIP akan sulit mengelak dari justifikasi publik sebagai partai yang pro-konglomerasi, alias “tidak pro wong cilik”. Kenyataan bahwa hingga saat ini gerakan penolakan terhadap Ahok sebagai calon gubernur DKI Jakarta belum juga berakhir.

Mengapa Ahok ditolak? Pertanyaan ini penting, karena sepengetahuan saya belum pernah ada calon gubernur yang tingkat penokannya begitu tinggi seperti halnya Ahok. Bahkan dapat dikatakan bahwa tingginya tingkat elektabilitas Ahok berbanding lurus dengan tingkat resistensinya. Ada banyak gubernur yang kembali mencalonkan diri (untuk periode kedua) di banyak daerah, tetapi tidak mengalami penolakan yang begitu kuat dari masyarakat sebagaimana yang dialami oleh Ahok di Jakarta. Jika jawabannya adalah karena Ahok non-muslim, maka kita berarti telah meragukan Indonesia sebagai negara dengan tingkat pluralitas yang sangat tinggi tetapi mempunyai tingkat toleransi yang di apresiasi oleh banyak negara. Dalam hal hubungan antar dan inter pemeluk umat beragama, Indonesia diakui sebagai negara yang paling menjungjung tinggi toleransi. Sehingga menjadi tidak logis jika penolakan masyarakat terhadap Ahok disebabkan oleh faktor keyakinan.

Memperhatikan ‘sepak terjang’ Ahok selama memimpin DKI, saya kemudian berkesimpulan bahwa ada dua faktor penyebab penolakan warga terhadap pencalonan Ahok sebagai Gubernur DKI. Pertama, penolakan muncul karena kebijakannya. Dengan tidak menutup mata atas keberhasilan yang raih selama memimpin DKI, nampaknya kebijakan penggusuran pemukiman warga miskin di beberapa wilayah (Kampung Luar Batang, Kalijodo, Kampung Pulo, dan lain-lain) dianggap betul-betul melukai hati masyarakat miskin Jakarta. Berdasarkan data LBH Jakarta, selama bulan Januari hingga Agustus 2015, terdapat 3.433 kepala keluarga dan 433 unit usaha yang menjadi korban penggusuran paksa yang berada di 30 titik di wilayah DKI Jakarta (Viva News; Jumat, 20 November 2015). Selain penggusuran, juga ada kebijakan reklamasi yang juga sangat merugikan nelayan dan menguntungkan pengembang. Kebijakan tersebut dianggap semakin melukai masyarakat miskin karena selain dilakukan secara paksa juga dengan solusi yang tidak jelas. Efek dari kebijakan paksa Ahok adalah banyak warga miskin yang kehilangan tempat tinggal, dan kehilangan pekerjaan tetap. Arogansi Ahok kemudian disempurnakan dengan adanya kebijakan penggusuran masjid, pelarangan takbir keliling, dan pelarangan penyembelihan hewan qurban di SDN-SDN dan dekat rumah. Pada konteks ini, justru pihak yang tersudut dianggap tidak toleran adalah Ahok sendiri. Untuk penggusuran masjid, sejatinya dibuatkan pengganti sehingga masyarakat tetap mempunyai tempat ibadah meskipun masjidnya telah digusur, tapi jika tidak ada pengganti atau dibangunkan masjid baru maka sudah pasti akan membuat kaum muslim kecewa. Dan ini akan sama responnya dengan umat Kristen, Hindu, Budha, dan penganut agama lain jika rumah ibadahnya di gusur oleh penguasa. Begitu juga dengan pelarangan takbir keliling, alasan yang diajukan sang Gubernur nampaknya sangat klise, yaitu menciptakan kemacetan. Ahok nampaknya lupa, bahwa persoalan kemacetan di Jakarta bukan karena takbiran, faktanya setiap hari bahkan setiap waktu selalu ada kemacetan di Jakarta padahal tidak ada takbiran. Demikian halnya dengan alasan penyembelihan hewan qurban di SDN-SDN dan dekat rumah agar tidak memunculkan traumatik. Nampaknya Ahok juga lupa bahwa selama Jakarta berdiri selalu sekolah-sekolah yang melaksanakan penyembelihan hewan qurban setiap hari raya Idul Adha, tetapi tidak pernah ditemukan ada penyakit yang mewabah disebabkan oleh darah hewan qurban atau traumatik pada anak, anak-anak justru menyaksikan penyembelihan hewan qurban. Pada konteks ini juga, Ahok terlalu gegabah menilai tradisi keberagamaan umat lain yang tidak sama dengan keyakinannya. Ahok ceroboh karena menilai “ukuran baju orang lain” dengan “baju yang beliau pakai”.

Kedua, penolakan muncul karena komunikasinya. Bagi sebagian kalangan, Ahok mungkin dianggap terlalu tegas. Dan bukti dari ketegasan tersebut adalah keberaniannya melakukan penggusuran, reklamasi, pemutasian pejabat struktural, dan lain sebagainya. Tapi oleh sebagian kalangan, Ahok dianggap terlalu kasar. Gaya komunikasi, cara menyampaikan pesan, dan cara menanggapi kritikan terkadang dianggap sangat jauh dari etika kesantunan serta tidak memperhatikan perasaan orang lain. Raut wajah yang ditampilkan terkadang nampak emosional, sering marah-marah, dengan bahasa yang dikeluarkan sering membuat telinga ‘memerah’ bagi yang mendengarnya. Tak kurang dari perwakilan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah pernah melaporkan Ahok ke Polda Metro Jaya karena tudingan munafik dalam persoalan penolakan legalisasi tempat prostitusi di Jakarta. Banyaknya korban penggusuran, dan banyaknya pihak yang dirugikan karena reklamasi, seandainya dikomunikasikan dengan baik dan santun, tentu rasa kecewa warga tidak akan terlalu mendalam. Tetapi karena dilakukan secara paksa dan tanpa kompromi serta bahasa komunikasi yang tidak menyentuh, akhirnya warga betul-betul merasa terintimidasi. Dalam mindset masyarakat miskin, pemimpin adalah yang melindungi dan mengayomi, tetapi apa yang dihadirkan oleh Ahok adalah kebalikannya.

Kini, PDIP telah memutuskan untuk mengusung pasangan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dan wakilnya Djarot Saiful Hidayat pada pilgub DKI 2017. Tentu, peluang menang sangat terbuka, apalagi PDIP tidak sendirian tapi dibantu dengan kekuatan Golkar, Nasdem dan Hanura. Tetapi kekuatan pengusung Ahok harus ekstra waspada, karena pengalaman pilgub 2012 justru menempatkan kandidat incumbent sebagai pihak yang kalah. Disamping itu, banyaknya warga miskin yang tidak diuntungkan oleh kebijakan penggusuran dan reklamasi tentu tidak akan tinggal diam, paling minimal adalah mereka akan berdoa untuk kekalahan Ahok, dan doanya orang-orang yang terzalimi biasanya sangat makbul. Wallahu a’lam bish-shawab.



Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Mengapa Ahok di Tolak?"

Posting Komentar