Ilustrasi |
Pada suatu
kesempatan, Maarif Institute merilis hasil survei yang dilakukan pada Desember
2015, menunjukkan bahwa benih radikalisme di kalangan remaja Indonesia dalam
tahap menghawatirkan. Survei dilakukan terhadap 98 pelajar SMA yang mengikuti
Jambore Maarif Institute. Pertanyaan yang diajukan kepada pelajar adalah “Bersediakah
anda melakukan penyerangan terhadap orang lain atau kelompok yang menghina
islam?” Hasilnya, 40,82 responden menjawab “sangat bersedia”. Adapun
responden yang menjawab “tidak bersedia” 12,24 persen dan “kurang bersedia”
sebanyak 25,51 persen. Pada poin pertanyaan, “Menurut anda, apakah hukum
yang berlaku di Indonesia adalah hukum kafir?”, sebanyak 1,02 persen
menjawab “setuju” dan 65,31 persen menjawab “tidak setuju”. Adapun jawaban
“kurang setuju” dilontarkan oleh 20, 41 persen responden. Soal sistem tata
negara Islam di Indonesia, responden juga ditanya mengenai apakah mereka setuju
dengan sebagian umat Islam yang ingin mendirikan negara Islam di Indonesia.
Hasilnya adalah 19,39 persen menyatakan “setuju”, dan 3,06 persen menyatakan
“sangat setuju”. Adapun 34,69 persen menjawab “tidak setuju” dan 37,76 persen
menjawab “kurang setuju”. Terkait ISIS, para pelajar ditanya, apakah anda
sangat bersedia, kurang bersedia, atau tidak bersedia bila diajak untuk ikut
berperang ke Irak dan Suriah oleh ISIS?” sebanyak 3,06 persen menjawab
“bersedia”, dan 83,86 persen menjawab “tidak bersedia”. Para responden juga ditanya
pendapatnya tentang bom bunuh diri. Sebesar 6,12 persen menyatakan setuju bahwa
pengeboman yang dilakukan Amrozi cs merupakan perintah agama. Sementara 79,59
persen menjawab tidak setuju. Ketika ditanya, “Bersediakah anda bila diajak
untuk melakukan bom bunuh diri?”, sebesar 5,10 persen menjawab “kurang setuju”
dan 90,82 persen menjawab tidak setuju.
Direktur
eksekutif Maarif Institute Fajar Riza Ul Haq menyebutkan, angka hasil survei
mungkin terbilang kecil. Akan tetapi, menurutnya tetap merupakan suatu ancaman.
Dikatakan bahwa “angka-angka hasil survei terbilang kecil, dibawah 50 persen.
Tetapi kemunculan angka itu tidak disangka, dan bisa dibilang sebagai fenomena
minoritas yang mengancam. Ada dua hal yang menjadi sorotan. Pertama, para
responden merupakan aktivis di sekolahnya, baik di OSIS atau pimpinan
ekstrakurikuler rohani Islam. Dengan demikian mereka pasti punya pengaruh ke
siswa lain. Kedua, seluruh responden merupakan remaja yang masih dalam masa
perkembangan. Artinya, bukan tidak mungkin radikalisme yang tertanam sejak
remaja mampu berbuah hal negatif di waktu mendatang (Kompas.com; Rabu, 2 Maret
2016).
Mengapa
muncul fenomena radikalisme agama di kalangan pelajar? Pertanyaan ini penting
untuk diajukan mengingat bahwa salah satu manfaat dihadirkannya sekolah adalah
mewujudkan keteraturan sosial. Tanpa hadirnya sekolah dalam masyarakat,
keteraturan dan ketertiban akan sulit diwujudkan. Peran sekolah adalah mewakili
orang tua atau keluarga dalam mendidik anak. Hal ini berarti bahwa sekolah berfungsi
untuk mendidik anak agar mempunyai bekal pengetahuan, sikap, dan kecakapan atau
keterampilan sebagai bekalnya dalam mengarungi kehidupan dalam masyarakat
setelah anak itu mencapai kedewasaan. Dengan demikian, munculnya paham
radikalisme agama di kalangan pelajar tidak dapat dipisahkan dari peran
sekolah. Sekolah dapat dianggap belum mampu memberikan pemahaman keagamaan
secara inklusif kepada peserta didik. Pengetahuan keagamaan yang diajarkan
masih bersifat tekstual dan dogmatis sehingga berakibat pada munculnya
pemahaman yang radikal. Bisa jadi faktor pertama yang menjadi penyebabnya
adalah muatan atau isi mata pelajaran agama yang mengandung indoktrinasi tentang
sektarianisme, penghasutan, dan lain sebagainya. Ada muatan dalam buku
pelajaran Agama yang belum sepatutnya diajarkan kepada peserta didik. Jihad,
kisah-kisah tentang perang, ajakan untuk membela Agama, dan mati syahid adalah
beberapa muatan yang lebih tepat jika diajarkan pada jenjang perguruan tinggi
karena membutuhkan penalaran dan penafsiran yang lebih kontekstual, tidak
sekedar tekstual. Jika materi-materi seperti ini mulai diajarkan kepada peserta
didik di sekolah dasar atau menengah, maka tanpa sadar mereka telah ditanamkan
bibit pemahaman radikal. Langkah yang dapat dilakukan untuk membendung
tumbuhnya paham radikalisme agama yang diakibatkan oleh faktor pertama ini
adalah melakukan penyederhanaan konten mata pelajaran agama. Kandungan mata
pelajaran agama disederhanakan, dan disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik
dengan tetap mengacu pada standar isi mata pelajaran agama. Dengan langkah ini,
materi-materi yang mengandung ajakan untuk berjihad, melakukan kekerasan atas
nama agama, kisah-kisah tentang perang dapat di pending untuk diajarkan,
di eliminasi dan atau tidak diajarkan kepada peserta didik.
Faktor kedua adalah guru atau tenaga
pendidik. Kemampuan guru dalam memaknai dan menginterpretasi teks-teks ajaran
agama sedikit banyak akan mempengaruhi pemahaman siswa. Pada jenjang pendidikan
dasar dan menengah, posisi guru sebagai “yang di gugu” dan “yang di
tiru” masih sangat dominan. Sehingga apa yang disampaikan,
dijelaskan dan ditafsirkan oleh guru akan diserap oleh siswa secara utuh. Jika
pemahaman yang dihadirkan oleh guru bersifat moderat maka pengetahuan siswa
akan menjadi moderat, jika pengetahuan yang diberikan oleh guru bersifat
liberal maka pengetahuan siswa akan menjadi liberal, begitu pula jika
pengetahuan yang diajarkan bersifat dogmatis, maka pengetahuan siswa akan bersifat
radikal. Mungkin saja materi pelajaran agama yang diajarkan sudah sesuai dengan
perkembangan dan kebutuhan peserta didik, tetapi cara guru menyampaikan materi
dalam kegiatan pembelajaran akan mempengaruhi mindset maupun aplikasi
keberagamaan peserta didik. Dalam kajian kurikulum, doktrin yang dilakukan oleh
guru kepada peserta didik dalam kegiatan pembelajaran dikategorikan sebagai
kurikulum tersembunyi (hidden curriculum). Desain kurikulum ini tidak
tertulis, berada dalam cara pandang guru, tetapi seringkali mempunyai nilai
efektivitas yang tinggi dibandingkan dengan kurikulum yang tertulis (written
curriculum). Untuk membendung tumbuhnya paham radikalisme yang disebabkan
oleh doktrinasi guru, langkah yang dapat dilakukan adalah menerapkan
pembelajaran bertim (team teching). Mata pelajaran agama sebaiknya
jangan diajarkan oleh satu orang guru saja, tetapi diajarkan oleh dua atau tiga
orang guru dalam setiap pembelajaran. Dengan langkah ini, selain mengurangi
ruang indoktinasi dari guru ke siswa (karena tidak sendiri), juga menghadirkan
pendekatan pembelajaran yang lebih aktif, dinamis, dialogis, dan bermakna (meaningful).
Dalam pelaksanaan pembelajaran bertim, pembagian tugas masing-masing guru
(dalam tim) dalam setiap tahapan pembelajaran dibuat secara rinci. Wawasan,
pengalaman, dan metode masing-masing guru dalam menguraikan materi juga
berbeda, sehingga siswa disuguhkan pengetahuan keagamaan dalam berbagai sudut
pandang. Hasilnya adalah tumbuhnya pengetahuan keagamaan yang lebih moderat.
Lingkungan adalah
faktor ketiga yang mempengaruhi tumbuhnya paham radikalisme di kalangan
pelajar. Dalam konteks ini adalah lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat.
Lingkungan sekolah belum mampu dimanfaatkan untuk menumbuhkan pemahaman
keagamaan yang sejuk pada peserta didik. Dalam lingkungan sekolah, ada masjid
atau mushala, dan ada perpustakaan sekolah yang tentunya memiliki berbagai
referensi yang dapat menambah wawasan keagamaan siswa. Tetapi, masjid atau
mushala hanya sekedar menjadi tempat praktek ibadah ritual, sedangkan
perpustakaan hanya menjadi tempat membaca atau sekedar mencari referensi untuk
keperluan tugas sekolah. Pada saat yang sama lingkungan luar (Lembaga atau
Ormas Keagamaan) justru mampu menyajikan kajian-kajian keagamaan yang menarik
dan dibutuhkan oleh peserta didik. Pendekatan kajian yang ditampilkan lebih
dialogis sehingga lebih menarik minat siswa. Oleh karena itu, langkah yang
dapat dilakukan sekolah adalah memanfaatkan masjid atau mushola sebagai laboratorium agama. Masjid atau mushala jangan sekedar dijadikan tempat shalat,
tapi sebagai tempat membedah persoalan-persoalan keagamaan baik secara tekstual
maupun secara kontekstual, baik secara teoritis maupun secara aplikatif. Perpustakaan
sekolah juga dapat dijadikan tempat kajian keagamaan dan membedah buku-buku
keagamaan. Dengan langkah ini, pemahaman keagamaan peserta didik akan tumbuh
lebih komprehensif pada satu sisi, sekaligus menutup pengaruh kajian-kajian
keagamaan yang bersifat eksternal pada sisi yang lain. Wallahu a’lam
bish-shawab
Belum ada tanggapan untuk "Membendung Arus Radikalisme Agama di Kalangan Pelajar"
Posting Komentar