Ilustrasi |
Wowine Festival 2017, itulah nama
yang dipilih untuk kegiatan yang diprakarsai oleh sekelompok kaum muda bersama
Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Kabupaten Wakatobi. Wowine sebenarnya adalah singkatan dari Wonderful of Wakatobi Generation, namun dalam konteks bahasa lokal,
wowine bermakna perempuan. Pemilihan term wowine
untuk nama sebuah festival menunjukkan kecemerlangan mindset kaum muda yang menjadi kreator kegiatan. Pada aspek
implementatif, event mampu memenuhi
ekspektasi publik terkait adanya ruang pengembangan minat dan bakat serta kreatifitas
bagi generasi muda Wakatobi. Hal ini misalnya dapat dilihat dari antusiasme
kaum muda ikut serta dengan berbagai peran. Ada yang bernyanyi, memainkan alat
musik, qasidah, menari, dan membaca puisi. Disamping itu, wowine festival juga menjadi ruang hiburan sekaligus sebagai wadah
peningkatan ekonomi warga. Lihatlah bagaimana antusias warga menyaksikan
berbagai hiburan yang disajikan, dan lihat pula aneka jajanan yang ditawarkan warga
disepanjang marina (jalan by pass), tempat dimana kegiatan berlangsung. Ada
yang menjual makanan tradisional, membuka kedai kopi, menjual aneka gorengan,
hingga aneka permainan anak. Sudah tentu kegiatan semacam ini jauh lebih
berarti ketimbang hanyut dalam isu “ekonomi lesu” dan atau “daya beli
masyarakat menurun” tanpa ada langkah konkrit sebagai solusi. Saya
membayangkan, seandainya semua SKPD ikut berpartisipasi maka sudah pasti
kegiatannya jauh lebih wonderful
sebagaimana topik yang diangkat.
Pada aspek penyadaran, Wowine Festival telah menjadi wadah menumbuhkan
kesadaran warga tentang ketangguhan perempuan-perempuan pesisir. Wowine Wakatobi ditakdirkan untuk
mendiami wilayah pesisir dan laut, menantang ombak dan badai, hidup diatas batu
karang, bertani diatas tanah yang tandus, dan senantiasa diperhadapkan dengan
perpisahan yang entah berapa jauh dan berapa lama. Suami-suami mereka adalah
pelayar, setiap saat layar dibentangkan, tali temali perahu dikencangkan entah
mengarah ke barat-timur atau utara-selatan. Kembalinya pun tidak menentu,
tergantung pada nasib yang memihak dan kemampuan mereka menaklukan angin, topan
dan badai yang senantiasa menghadang. Proses pergumulan mereka dengan kehidupan
yang tidak mudah itu, lalu terbentuklah sejuta “pesona” yang menjadi ciri khas
perempuan pesisir.
Lihatlah kisah perempuan paru baya, sebutlah namanya Habibah (nama samaran),
setiap pagi dini hari dia mendorong gerobaknya, dia tidak peduli dengan
hembusan angin dingin yang menusuk. Tatapannya tajam menatap kedepan, urat-urat
ditangannya sudah mulai nampak, dengan bedak tradisional yang senantiasa
menghiasi wajahnya. Didalam gerobaknya hanya ada parang, palu, dan linggis
serta sedikit perbekalan. Hendak kemana ibu Habibah? Setiap hari ibu yang
memiliki dua anak gadis itu berangkat ke kebun, linggis dan palu yang dibawanya
adalah alat untuk menggali dan memecahkan bongkahan-bongkahan batu lalu dikumpulkannya
untuk dijual pada warga yang membutuhkan. Dari harga batu itulah ia memenuhi
kebutuhan pangannya, serta membiayai dua orang anaknya yang sedang bersekolah. Habibah
sebenarnya tidak sendirian karena ada suaminya, tetapi sang suami sedang berlayar.
Perahu yang digunakan dalam berlayar masih menggunakan perahu tradisional yang
bagi masyarakat Wakatobi menyebutnya dengan Lambo.
Kekuatan utama pelayaran adalah angin sehingga masa pelayaran selalu tidak
menentu. Apakah Habibah tidak rindu pada suaminya? Sudah tentu kerinduan juga
dialami oleh Habibah sebagaimana kerinduan yang dialami oleh wanita normal
lainnya. Tetapi Habibah sangat pandai mengelola rindunya, dia tidak membuat
puisi atau membuat cacatan harian dalam diary, dia juga tidak mengurung diri di
kamar untuk menampakkan kerinduannya. Mendorong gerobak, menggali dan
memecahkan bongkahan batu lalu mengumpulkannya adalah cara bijak Habibah mengelola
rindunya, sedangkan parang yang senantiasa dibawanya adalah security untuk menjaga kehormatannya.
Kisah menarik lainnya adalah Huridah (nama samaran). Sejak masih muda,
dia sudah ditinggalkan oleh suaminya yang merantau di wilayah Larantuka, Nusa
Tenggara Timur. Niat awal ketika merantau adalah mencari ikan hiu, penyu, dan ikan
pari yang pada saat itu sangat laku di pasaran dengan harga yang cukup mahal. Tetapi,
sang suami setelah berangkat tidak pernah mengirim kabar, bahkan hingga puluhan
tahun masa perantauan. Sang istri tetap setia menunggu, sembari terus mendidik
dan membesarkan lima gadis cantik yang menjadi buah cintanya. Dia berkebun
menanam ubi dan jagung, melaut mencari ikan dan kerang-kerang, serta membuat
roti lalu menjualnya. Wanita cantik yang semula lembut itu sontak berubah
menjadi wanita tegar, dia tidak perduli lagi dengan perubahan kulit wajah yang
mulai berkerut dan hitam karena terpaan sinar matahari. Apa yang ada dalam
benaknya adalah mengumpulkan rejeki sebanyak-banyaknya untuk menafkahi dan
menyekolahkan anak-anaknya. Rutinitasnya mencampur, membakar, dan memotong roti
jualannya adalah cara mengobati rasa rindunya, sedangkan keberaniannya membuka
lahan untuk kebun serta mencari ikan dan mengumpulkan kerang-kerang adalah cara
menghilangkan kegundahan atas sikap suaminya yang tidak kunjung pulang. Huridah
sebenarnya bisa saja menikah, kecantikan yang dia miliki membuat banyak lelaki jatuh
hati padanya. Tetapi, Huridah memilih setia. Setia untuk suaminya dan setia
kepada anak-anaknya. Dia tidak tahu kapan suaminya, bapak dari anak-anaknya
akan kembali, dia hanya tahu bahwa suaminya pasti akan kembali.
Beda lagi dengan kisahnya Hadijah (juga nama samaran). Setelah melahirkan
anak keduanya, dia ditinggalkan oleh suaminya merantau ke Singapura. Pada masa
itu perantau ke ‘kampung’ Lee Kuan Yew itu memiliki tempat khusus di hati
masyarakat Wakatobi, jadilah orang Wakatobi berbondong-bondong merantau kesana.
Setelah sampai di negeri tujuan, sang suami yang biasa disapa Ongen (nama samaran)
tidak pernah mengirim kabar untuk keluarga. Aktifitasnya di Singapura menjadikannya
sangat sibuk hingga lupa dengan keluarga. Kabar dan uang belanja tidak pernah
dikirimnya, jika pun ada kabar itu hanya didengarkan oleh anak-anak dan
istrinya dari teman-teman perantau yang telah kembali ke kampung halaman. Hingga
puluhan tahun lamanya, sang pujaan hati kembali, ketika kedua buah hatinya
sudah tumbuh menjadi anak dewasa. Hadijah dan Ongen kembali berkumpul bersama
kedua putra-putrinya dalam satu keluarga. Selama suaminya merantau, Hadijah
menjual pakaian bekas di pasar guna membiayai kedua buah hatinya. Nampaknya,
menjual pakaian bekas bagi Hadijah berfungsi ganda, selain mencari nafkah juga
adalah cara untuk tidak tersandera oleh rasa rindunya.
Ketiga kisah diatas dapat menjadi representasi dari sekian banyak cerita
yang menggambarkan betapa pesona wowine
Wakatobi sangat mengagumkan. Kerinduan bagi mereka adalah spirit membangun
kemandirian, kehormatan adalah potensi menjadi lebih berani, sedangkan jarak
dan perpisahan adalah proses untuk menguji kesetiaan. Seorang peneliti ketika
sedang bersama dan berkesempatan menyampaikan beberapa kisah tentang pergumulan
kaum perempuan Wakatobi dalam menempa kehidupannya, beliau lalu mengatakan
bahwa “sejatinya, fiqih mawaris yang menjadi acuan didaerah ini adalah fiqih
modern, jangan fiqih klasik”. Beliau lalu melanjutkan bahwa jika rujukannya
adalah fiqih klasik maka bagian atau hak laki-laki, dua kali lebih banyak daripada
bagian perempuan. Namun jika fiqih modern, maka hak waris laki-laki dan
perempuan dapat disamakan, asumsinya adalah karena tanggung jawab pemenuhan
nafkah bagi keluarga dipikul bersama oleh suami dan istri. Sementara beban
mencari nafkah bagi suami selama perantauan tidak lebih berat dari beban yang
dipikul oleh istri selama ditinggalkan. Wallahu
a’lam bish-shawab
Belum ada tanggapan untuk "Wowine Festival: Mengungkap Sejuta Pesona Perempuan Pesisir"
Posting Komentar