Ilustrasi |
Era kepemimpinan Jokowi bersama Kabinet Kerja yang ia bentuk, telah menumbuhkan harapan yang tinggi pada masyarakat mengenai perubahan ‘wajah’ desa.
Berbagai permasalahan yang menyelimuti desa, mulai dari kemiskinan,
ketergantungan, ketertinggalan, rendahnya kualitas SDM, rendahnya
produktivitas, pengangguran, putus sekolah, gizi buruk, penyakit menular, dan
lain sebagainya diharapkan segera dapat teratasi. Espektasi ini tentu bukan
tanpa dasar, tetapi muncul seiring dengan adanya kucuran dana dalam jumlah
ratusan juta bahkan miliaran rupiah untuk setiap desa melalui dana desa (DD)
dan alokasi dana desa (ADD). Pemerintahan Jokowi nampaknya memahami bahwa
persoalan utama pembangunan di negeri ini adalah tidak adanya pemerataan, alias
ketimpangan atau ketidakadilan. Jika kita menatap wajah kota, maka yang nampak
adalah kemajuan, tetapi jika kita menoleh ke wajah desa maka yang kelihatan
adalah keterbelakangan. Bisa jadi, inilah alasan utama mengapa dana desa dan
alokasi dana desa segera dikucurkan. Pemerintah berkeinginan melakukan
pemerataan pembangunan, lalu memulainya dengan membangun desa. Muhammad Baiquni,
(2004), mengistilahkannya dengan “membangun pusat-pusat di pinggiran”.
Kini, tiga tahun sudah dana desa dan alokasi dana desa dalam pengelolaan
pemerintah desa, namun nampaknya harapan masyarakat akan perbaikan wajah desa
masih “jauh panggang dari api”. Alih-alih merubah wajah desa, yang terjadi
justru menambah kompleksitas persoalan yang melanda desa. Adanya dana desa,
lalu memunculkan kecemburuan sosial. Hal ini terutama disebabkan oleh tingginya
insentif yang diterima oleh aparatur desa namun tidak dibarengi dengan kinerja
yang maksimal sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat. Disamping kecemburuan
juga muncul kecurigaan terutama pada pengelolaan dana yang kurang transparan.
Bahkan yang dikhawatirkan oleh banyak kalangan adalah adanya dana desa (DD) dan
alokasi dana desa (ADD) membuka “kran baru” jalur korupsi. Jika selama ini,
korupsi hanya melanda kementerian, BUMN, Kepolisian, lembaga legislatif,
lembaga peradilan, pemerintah daerah, maka ke depan tidak menutup kemungkinan
akan “bergabung” dengan pemerintah desa. Rendahnya kualitas sumber daya
aparatur desa bisa jadi menjadi salah
satu alasan dari kekhawatiran tersebut. Oleh karena itu, dibutuhkan
langkah-langkah strategis bagi aparatur desa guna memaksimalkan pengelolaan
dana desa (DD dan ADD) sehingga dapat lebih bermanfaat terutama dalam
mewujudkan kemajuan desa dan kesejahteraan masyarakat desa.
Filosofi dana desa adalah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan
pemerataan pembangunan desa melalui peningkatan pelayanan publik di desa,
memajukan perekonomian desa, mengatasi kesenjangan pembangunan antar desa serta
memperkuat masyarakat desa sebagai subjek dari pembangunan. Demi mewujudkan cita-cita
luhur tersebut, pemerintah melalui Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,
dan Transmigrasi menetapkan prioritas penggunaan dana desa tahun 2017. Pada
pasal 4, Peraturan Menteri DPDTT Nomor 22 tahun 2016 dikatakan bahwa prioritas
penggunaan dana desa adalah untuk membiayai pelaksanaan program dan kegiatan di
bidang Pembangunan Desa dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (ayat 1). Selanjutnya
dikatakan bahwa prioritas penggunaan dana desa sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dipublikasikan kepada masyarakat oleh Pemerintah Desa di ruang publik atau
ruang yang dapat diakses oleh masyarakat Desa (ayat 2).
Penjelasan peraturan Menteri DPDTT tersebut meniscayakan tiga hal bagi
Pemerintah Desa demi mengoptimalkan pengelolaan dana desa. Pertama, pemenuhan asas
transparansi. Dana desa harus diketahui seluruh masyarakat, bukan hanya
pada aspek kuantitas atau jumlah, tetapi juga pada aspek distribusi atau
peruntukkan. Berapa dana desa yang diterima, digunakan untuk apa,
serta apa manfaatnya, masyarakat wajib mengetahuinya. Bahkan karena tegasnya, pemerintah desa
diharuskan membuat pengumuman atau mempublikasikannya kepada masyarakat di
ruang publik. Dengan langkah ini, penggunaan dana desa betul-betul diketahui
oleh masyarakat, dan karenanya pemerintah desa akan terhindarkan dari
kecurigaan atau sakwasangka. Kedua, peningkatan pembangunan Desa. Pembangunan
mencakup dua aspek, yaitu fisik-material
dan mental-spiritual. Kedua aspek ini
tidak boleh ada yang terabaikan dalam perencanaan penggunaan desa. Lingkungan fisik dibangun bersamaan dengan pembangunan mental. Oleh karena
itu, penting bagi pemerintah desa untuk melibatkan semua unsur masyarakat dalam
musyawarah perencanaan pembangunan desa. Kepala Desa bersama aparaturnya,
sekretaris Desa, anggota BPD (Badan Permusyawaratan Desa), tokoh agama, lembaga adat, ormas keagamanaa, kelompok nelayan, kelompok tani, kelompok pengrajin, penyedia jasa, pihak penyelenggara pendidikan, semua dilibatkan dalam
musyawarah. Bila perlu, instansi terkait dilibatkan guna mendapatkan berbagai
masukan dan tawaran program demi kemajuan desa. Dengan langkah ini, program pembangunan yang
direncanakan pemerintah desa dapat sesuai dengan kebutuhan.
Ilustrasi |
Ketiga, maksimalkan pemberdayaan masyarakat. Kegiatan ini ditujukan untuk
meningkatkan kapasitas dan kapabilitas masyarakat desa dengan mendayagunakan
potensi dan sumber dayanya sendiri sehingga desa dapat mandiri. Harus diakui
bahwa salah satu persoalan yang dihadapi oleh desa adalah rendahnya kualitas
SDM. Sehingga, melalui kegiatan pemberdayaan, dana desa dapat bermanfaat untuk
meningkatkan kapasitas aparatur desa maupun masyarakat. Nelayan dapat diberikan
bantuan penyuluhan serta bantuan pemberdayaan berupa pukat atau alat tangkap
lainnya, petani dapat diberikan penyuluhan serta bantuan pemberdayaan berupa
bibit dan alat-alat pertanian, demikian pula tukang kayu, pengrajin tenun, pedagang
roti dan kue tradisional, kelompok pelestari lingkungan, petani rumput laut,
pengelola sanggar budaya, dan lain sebagainya. Dalam konteks ini, penting bagi
pemerintah desa untuk membentuk koperasi unit desa (KUD) dan badan usaha milik
desa (BUMDes). Melalui KUD, anggaran pemberdayaan dapat dikelola secara
profesional, transparan, dan akuntabel, dan melalui BUMDes berbagai hasil
produksi masyarakat dapat dikelola dan di distribusikan sehingga lebih beguna
dan bermanfaat untuk kemajuan desa.
Jika ketiga prioritas tersebut dapat diwujudkan oleh pemerintah desa,
maka desa pasti akan semakin maju. Demikian pula kekhawatiran banyak kalangan
bahwa dengan adanya ADD maupun DD akan ‘menyeret’ desa menjadi lahan korupsi
baru akan tertepis dengan sendirinya. Semoga ! Wallahu a’lam bish-shawab
Belum ada tanggapan untuk "Tiga Langkah Mengoptimalkan Dana Desa"
Posting Komentar