Ilustrasi |
Bermula, ketika membaca berita melalui media online yang mewartakan bahwa seorang siswa salah satu SMP di
Kabupaten Wakatobi nyaris pingsan karena mengalami penganiayaan. Ironisnya, oknum
yang melakukan penganiayaan adalah gurunya sendiri. Siswa yang menjadi korban
pada akhirnya harus absen beberapa waktu ke sekolah, selain karena rasa trauma,
juga karena beban psikologis. Kejadian penganiayaan yang dialaminya terjadi
didalam kelas, dihadapan teman-temannya sendiri dan pada jam sekolah. Guru yang
mestinya memberikan didikan dan arahan untuk kebaikan, justru memperlakukannya
tidak manusiawi dihadapan teman-temannya sendiri. Bisa jadi, ini adalah
fenomena gunung es, yang tampak hanyalah sedikit sementara banyak kejadian yang
kurang lebih sama, tetapi tidak ketahuan karena tidak terpublikasi oleh media.
Jadilah setiap kasus tertutupi, sehingga tidak menimbulkan efek jera.
Paulo Freire, tokoh pemikiran kritis dan pembaharu pendidikan berkebangsaan
Brazil, dalam bukunya yang berjudul “The
Politic of Education: Culture, Power, and Liberation” melakukan kritik
terhadap sistem pendidikan yang diandaikannya sebagai sebuah “bank” (banking concept of education) dimana
pelajar diberi ilmu pengetahuan agar ia kelak mendatangkan hasil yang berlipat
ganda. Peserta didik dianggap sebagai obyek investasi dan sumber deposito
potensial. Mereka dianggap kurang lebih sama dengan komoditas ekonomi lainnya.
Sedangkan depositor atau investornya adalah para guru, sementara depositonya
adalah ilmu pengetahuan yang diajarkan kepada peserta didik. Anak didik lantas
diberlakukan sebagai “bejana kosong” yang siap diisi, sebagai sarana tabungan atau
penanaman modal ilmu pengetahuan yang hasilnya kelak akan dipetik. Dengan
demikian, guru adalah subjek aktif, sedangkan anak didik adalah objek pasif
yang penurut, dan selalu siap apapun yang dilakukan oleh guru kepadanya. Freire
kemudian menyusun secara sederhana daftar antagonisme pendidikan “gaya bank” sebagai berikut: (1) guru
mengajar, murid belajar; (2) guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa; (3)
guru berpikir, murid dipikirkan; (4) guru berbicara, murid mendengarkan; (5)
guru mengatur, murid diatur; (6) guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid
menuruti; (7) guru bertindak, murid meniru; (8) guru memilih apa yang akan
diajarkan, murid menyesuaikan; (9) guru mengacaukan wewenang ilmu pengetahuan
dengan wewenang profesionalismenya, dan mempertentangkannya dengan kebebasan
siswa; (10) guru adalah subjek proses belajar, sedangkan siswa adalah obyeknya.
Freire kemudian mengatakan bahwa oleh karena guru yang menjadi pusat segalanya,
maka merupakan hal yang lumrah jika kemudian peserta didik mengidentifikasi
menjadi seperti gurunya sebagai prototip manusia ideal yang harus ditiru dan
digugu. Implikasinya lebih jauh adalah pada saatnya nanti peserta didik ini
akan benar-benar menjadikan diri mereka sebagai duplikasi guru mereka dulu, dan
pada saat itu akan lahir generasi baru manusia-manusia penindas. Jika diantara
mereka ada yang menjadi guru atau pendidik, daur penindasan akan segera dimulai
dalam dunia pendidikan.
Ilustrasi |
Keberanian seorang guru memberlakukan peserta didiknya secara kasar,
apakah lagi dengan melakukan aniaya, bisa jadi adalah produk sistem pendidikan
“gaya bank” sebagaimana istilah Paulo Freire. Atau jikapun pendidikan yang
dilewati (institusi) sudah lebih modern, berarti paradigma guru tersebut masih
konvensional. Peserta didik masih dianggapnya sebagai objek yang tidak tahu
apa-apa, belum bisa berpikir cerdas, siap diatur dan menaati semua perintah, sehingga
dengan cara apapun guru dapat melakukannya pada peserta didik (termasuk
menganiaya), dan peserta didik harus pasrah demi kebaikannya, demi masa
depannya yang lebih baik. Otoritas guru sebagai subjek aktif begitu besar pada
peserta didik yang dianggapnya sebagai objek pasif. Sehingga yang terjadi baik
diruang-ruang kelas, maupun dilingkungan sekolah adalah peserta didik
tersubordinasi oleh guru.
Kini paradigma konvesional ini telah berubah. Peserta didik tidak lagi
dianggap sebagai objek pasif tetapi adalah subjek aktif. Dengan demikian,
posisinya adalah setara dengan tenaga pendidik, tidak ada lagi subordinasi.
Demikian halnya dalam kegiatan belajar, peserta didik tidak lagi dianggap
sebagai objek yang tidak tahu apa-apa dan tidak dapat berpikir. Peserta didik
harus dianggap sebagai subjek didik yang multitalent. Dalam perspektif behaviorisme, belajar adalah perubahan
tingkah laku, sehingga tugas guru atau pendidik adalah menciptakan situasi yang
dapat menumbuhkan kesadaran bagi peserta didik tentang pentingnya menata
tingkah laku; dalam perspektif kognitivisme,
belajar adalah mengolah informasi yang diterima agar lebih bermakna (meaningful); belajar adalah mengarahkan
peserta didik untuk menyadari kemanusiaannya sehingga menjadi manusia yang
sebenar-benarnya (teori humanisme); dan
belajar adalah membangun pengetahuan baru secara continue sebagai hasil dari proses pergumulan dengan lingkungan
belajar yang dimasuki (teori
konstruktivisme). Dengan demikian, posisi tenaga pendidik adalah mitra
peserta didik. Tugas pendidik adalah menciptakan atau membangun situasi sedemikian
rupa sehingga siswa dapat terlibat secara aktif
dengan materi pelajaran melalui pengolahan materi-materi dan interaksi
sosial. Dalam konteks ini, yang dibutuhkan kemudian adalah peran tenaga
pendidik sebagai sumber daya yang profesional. Mengajar tidak lagi dianggap sekedar
sebagai pekerjaan rutin yang prosesnya akan berakhir ketika pintu kelas telah
terlewati. Mengajar tidak lagi menjadi kewajiban yang membutuhkan energi dan
emosi, tetapi harus dianggap sebagai tugas mulia yang membutuhkan kecerdasan
pikir dan kepekaan nurani. Dengan kecerdasan pikir tenaga pendidik dapat
memahami bagaimana membangun interaksi dengan peserta didik yang membelajarkan,
dan dengan kepekaan nurani, dunia anak-anak betul-betul dapat dimasuki dan
dijiwai.
Ilustrasi |
Nampaknya, sertifikasi guru muaranya adalah kesana. Sebelum ditetapkan
sebagai guru profesional, maka seorang tenaga pendidik harus melalui rangkaian
pendidikan dan latihan. Ada empat kompetensi utama yang menjadi muatan didikan
dan latihan bagi calon guru profesional. Kompetensi akademik atau profesional
yang mengarah pada penguatan kemampuan bidang kajian, kompetensi pedagogik
untuk peningkatan kemampuan pengelolaan pembelajaran, kompetensi personal agar
terbentuk tenaga pendidik yang memiliki karakter mulia dan teladan, serta
kompetensi sosial untuk meningkatkan kemampuan dalam membangun komunikasi baik
pada peserta didik, sesama tenaga pendidik dan tenaga kependidikan, orang tua
murid, maupun masyarakat. Semua tenaga pengajar yang telah memiliki sertifikat
pendidik profesional, berarti telah tuntas (mastery)
pada keempat kompetensi tersebut. Dengan demikian, menjadi pertanyaan besar jika
masih ada tenaga pendidik profesional yang memberlakukan peserta didiknya
secara tidak wajar. Masihkah layak disebut sebagai guru profesional, ketika
anak yang sedang dalam masa perkembangan dan menjadi tugas bimbingannya, justru
dianiaya? Langkah pemukulan yang dilakukan menegaskan bahwa statusnya sebagai
guru profesional telah berubah dengan sendirinya menjadi guru emosional. Sehingga
ada baiknya, guru tersebut diberikan sanksi yang tegas. Apakah sertifikat
profesinya dibatalkan, dimutasi tempat tugasnya, atau dijadikan sebagai tenaga
kependidikan karena dianggap sudah tidak layak menjadi tenaga pendidik
profesional. Dengan langkah tegas seperti ini, akan ada efek jera baik bagi
diri sendiri (pelaku penganiayaan) maupun tenaga pendidik lainnya. Sehingga ke
depan, kekerasan dalam dunia persekolahan dapat diminimalisir. Wallahu a’lam bish-shawab.
Belum ada tanggapan untuk "Kekerasan di Sekolah: Mengapa Masih Terjadi?"
Posting Komentar