Bergesernya Zaman: Dari Budaya Malu ke Budaya Apload


Ilustrasi

Masa kecil, adalah tahapan “mengukir”, pada masa itu segala hal yang diajarkan kepada anak begitu mudah dipahami dan lekat dalam ingatan. Sehingga apa saja yang diajarkan oleh orang tua maupun guru baik dalam wujud perintah maupun larangan, dengan gampang diindahkan oleh sang anak. Namun demikian, proses ini tidak sama ketika anak sudah memasuki usia dewasa. Proses menanamkan nilai-nilai moral dan pesan-pesan agama sudah sedikit rumit, daya lekat dan kemudahan dalam mencerna nasihat yang diberikan orang tua dan guru sudah lebih sulit dicerna dibanding ketika masih kecil.
Sejak kecil, ada begitu banyak hal yang dilarang dalam kemasan “pemali” yang diajarkan oleh orang tua di rumah maupun dalam masyarakat. Pola ini (pemali) sangat efektif, anak begitu takut melakukan segala hal jika sudah dilabeli kata pemali. Seolah-olah akan ada akibat yang luar biasa bagi anak atau bagi keluarga jika anak berani melakukan hal yang pemali. Jadilah anak menjadi sangat taat pada berbagai hal yang diistilahkan dengan pemali. Tidak boleh duduk-duduk ditangga rumah sambil menopang dagu, tidak boleh makan sambil cerita, tidak boleh makan sambil berjalan, tidak boleh berteriak-teriak, tidak boleh tertawa berbahak-bahak di tempat keramaian, dan sejumlah larangan lainnya. Ketika kita kita menanyakan, mengapa dilarang? Jawabannya adalah karena pemali. Disamping itu, orang tua juga mempunyai kebiasaan mendidik dengan cara memberikan contoh perilaku dalam bentuk kebiasaan-kebiasaan. Misalnya, ketika ibu memasak di dapur dan menu yang dimasak berpotensi menghadirkan aroma hingga sampai diketahui oleh tetangga, maka ibu akan segera memerintahkan anak untuk menutup jendela. Ada dua makna dari kebiasaan tersebut. Pertama, menutup jendela agar aroma masakan tidak terasa oleh tetangga karena dikhawatirkan bahwa jumlah masakan hanya cukup untuk anggota keluarga sehingga tidak memungkinkan untuk dibagi dengan tetangga. Kedua, untuk tidak melukai perasaan tetangga, jika ternyata ada diantara mereka yang hidup dalam garis kemiskinan. Aroma sedap masakan adalah rasa senang dan bangga bagi keluarga yang mampu, tetapi justru menjadi duka dan sedih bagi yang tidak berkecukupan. Itulah nilai-nilai kearifan dari pola didik masa lalu.
Kebiasaan lain yang juga sering ditekankan oleh orang tua kepada anak adalah ketika makan agar persentuhan piring dijaga sehingga tidak mengasilkan suara atau bunyi. Tujuannya adalah supaya aktivitas makan tidak ada yang tahu kecuali orang dalam rumah. Ada keyakinan dalam masyarakat bahwa ilmu hitam (guna-guna) sangat mudah mengenai sasaran pada posisi sedang makan. Adab dan sopan santun ketika makan karenanya sangat diperhatikan oleh orang tua. Orang tua selalu mengingatkan untuk tidak lupa membaca do’a sebelum dan sesudah makan, persinggungan piring dengan piring atau gelas, sendok dan lain-lain dijaga, makan agar tidak buru-buru, dan jenis menu tidak boleh diceritakan kepada orang lain. Pada konteks ini, budaya malu sangat dikedepankan dalam pembentukan prilaku.
Kini, zaman sudah mulai berubah. Hegemoni dunia digital telah merambah segala lini kehidupan. Jurang pemisah, jarak tempuh, pagar atau dinding sekolah, bahkan dinding kamar sekalipun sudah tidak mampu membendung laju signal jaringan komunikasi. Jadilah terkoneksi semua aktivitas manusia dari semua penjuru bumi. Pada saat yang bersamaan, manusia begitu bereuforia menikmati ketersediaan sarana komunikasi untuk memenuhi salah satu kebutuhan esensi dirinya, yang oleh Abraham Maslow menyebutnya dengan Self Actualization Needs (Metaneeds). Tetapi sungguh sangat disayangkan, bahwa upaya pemenuhan kebutuhan aktualisasi diri dilakukan secara tidak terkontrol. Akibatnya adalah kita terjerembab masuk dalam kubangan jeratan sendiri, lahirlah budaya baru yang kita bangun sendiri yaitu budaya apload alias pamer. Segala sesuatu kita apload melalui media online, termasuk persoalan yang pada zaman dahulu menjadi hal yang tabu alias pemali kini menjadi hal yang biasa. Makanan sebelum dinikmati mesti difoto lalu apload, pakaian baru, make up baru, tas baru, mobil baru, motor baru, bahkan isi dapur dan isi rumah tidak segan-segan diumbar melalui media online. Bahkan terkadang yang lebih tidak rasional adalah, ucapan terima kasih kepada Allah tidak lagi dilakukan melalui do’a atau dalam sujud, tetapi justru dilakukan melalui media sosial. Ucapan terima kasih kepada sesama tentu akan sangat efektif jika melalui media online, namun jika terima kasih itu ditujukan kepada Allah, akan lebih elok jika dilakukan dalam do’a dan dalam sujud.
Lantas, apakah ini berarti bahwa ada larangan untuk memanfaatkan media sosial dalam rangka self actualization? Memanfaatkan media sosial untuk pemenuhan kebutuhan aktualisasi diri adalah penting bahkan menjadi hal yang niscaya. Tetapi, perlu ada frame, ada bingkai atau koridor, ada batasan sehingga tidak terjerumus masuk dalam wilayah pamer alias riya. Kata riya berasal dari kata ri’yah, yang artinya menampakkan atau memperlihatkan suatu amal kebaikan kepada sesama manusia. Sedangkan menurut istilah pengertian riya adalah melakukan ibadah dengan niat supaya dipuji oleh manusia, dan tidak berniat beribadah kepada Allah SWT. Imam Al Ghazali mendefinisikan riya sebagai tindakan mencari kedudukan pada hati manusia dengan memperlihatkan kepada mereka hal-hal kebaikan. Maka, ada baiknya jika pemanfaatan media sosial lebih diorientasikan pada menumbuhkan kesadaran, bukan dalam rangka “pameran”; untuk kritik sosial, untuk bukan hasut dan dengki; sebagai media dakwah, bukan menjadi media propaganda, dan untuk memberikan motivasi dan inspirasi demi kemaslahatan umat. Semoga ! Wallahu a’lam bish-shawab.

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Bergesernya Zaman: Dari Budaya Malu ke Budaya Apload"

Posting Komentar