Ilustrasi |
Pasa suatu kesempatan, Bilal bin Rabba merasakan adanya keanehan pada
diri Rasulullah Muhammad SAW. Subuh itu, Bilal sudah selesai mengumandangkan
Azan hingga ketika sudah selesai qamat, Muhammad belum juga muncul di Masjid.
Situasi ini bagi Bilal adalah hal yang tidak lumrah, karena beliau mengetahui
bahwa Rasulullah senantiasa tepat waktu datang di Masjid, selalu lebih duluan
sampai di Masjid sebelum azan subuh di kumandangkan. Bilal kemudian menyusul ke
rumahnya Muhammad SAW yang kebetulan bersampingan dengan masjid. Setelah
mengucapkan salam lalu masuk ke rumah, di dapatinya Rasulullah sedang menangis.
Bekas air mata di wajah dan tempat sujudnya masih nampak oleh Bilal. Ia
kemudian menanyakan perihal apa yang sedang menimpa Rasulullah.
Rasulullah Muhammad SAW kemudian menceritakan kepada Bilal, muazin
kesayangannya itu, bahwa ia baru saja menerima Wahyu dari Allah, dan wahyu
inilah yang membuatnya menangis. Rasul kemudian membacakan wahyu itu kepada
Bilal yang artinya, “sesungguhnya dalam
penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda
(kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berakal. (yaitu) orang-orang yang
mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan mereka
memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “wahai Tuhan
kami, tidaklah engkau ciptakan semua ini sia-sia; Mahasuci Engkau, lindungilah
kami dari azab neraka” (Ali Imran; 190-191).
Mendengar wahyu yang dibacakan oleh Rasulullah, Bilal tidak menangis, Bilal memahami ayat tersebut hanyalah peringatan biasa
sebagaimana ayat-ayat Al-Qur’an yang lainnya. Tetapi Rasul mempunyai pemahaman
yang jauh lebih mendalam atas kandungan ayat tersebut, itulah sebabnya ia
sampai menangis.
Ayat tersebut diawali dengan uraian tentang penciptaan langit dan bumi,
serta bergantinya siang dan malam secara terus-menerus. Bagaimana Allah
menciptakan langit dan bumi serta bagaimana malam dan siang saling menutupi
secara silih berganti adalah bukti ke-Maha Kuasaan-Nya. Tidak ada sesuatu yang
terjadi tanpa kehendak-Nya. Langit ditinggikan dengan segala sumber rejeki yang
turun darinya, dia tetap kokoh yang menjadi “payung” bagi bumi, bumi kemudian
dihamparkan dan ikhlas menjadi tempat “pijakan” lalu tumbuh segala sumber
penghidupan. Didalamnya ada gunung, lembah, sungai, lalu ada daratan lengkap
dengan lautnya, ada tanah yang subur juga ada yang tandus, tumbuh buah-buahan
serta sayur-mayur. Setelah itu dijadikan siang agar manusia bertebaran mencari
rizki yang halal dan baik, lalu dijadikan malam sebagai waktu beristrahat,
Allah sudah mengetahui kapasitas manusia dalam bekerja, karena itu disiapkan
waktu guna memulihkan tenaga untuk digunakan pada waktu selanjutnya. Semunya itu adalah tanda atau alamat kebesaran
Allah, bagi orang-orang yang disebutnya dengan ‘Ulul Albab’.
Mereka yang masuk kategori Ulul Albab
adalah orang-orang yang senantiasa menggunakan logic-nya, menggunakan rasionalitasnya untuk memahami hakikat
penciptaan alam semesta. Mereka lalu senantiasa mengingat Allah setiap saat,
apakah sedang berdiri, dalam posisi duduk, dan bahkan sedang berbaring, karena
menyadari bahwa tidak ada satupun yang diciptakan oleh Allah di alam raya ini
bersifat sia-sia, semua memberi manfaat bagi kehidupan manusia. Atas kesadaran
itu orang-orang yang masuk kategori Ulul
Albab senantiasa memuji Allah sebagai zat Yang Maha Suci serta senantiasa
berdo’a agar dihindarkan dari siksaan Api neraka.
Sudahkan kita termasuk orang-orang yang Ulul Albab? Ataukah kita masih menjadi orang-orang yang bangga
dengan kemampuanya, lalu menganggap semua sukses yang diraih adalah karena
usaha sendiri, tanpa intervensi
Tuhan. Kita masih berkutat dengan keegoan kita, bahwa jabatan tinggi yang kita
peroleh, honor banyak yang kita dapatkan, keuntungan banyak yang kita raih,
harta banyak yang kita kumpulkan, rumah mewah yang kita bangun, kendaraan mewah
yang kita pakai, dan lain sebagainya adalah berkat kemampuan dan skill yang dimiliki, lalu kita lupa mengingat
Tuhan. Jika segala yang dimiliki menjadikan kita semakin pandai bersyukur dan
banyak mengingat Allah, maka Insya Allah kita telah menjadi orang-orang yang Ulul Albab, tetapi apabila ‘kehadiran’
Tuhan dalam diri kita semakin jauh, semakin hampa seiring dengan bertambahnya
usia, harta, kedudukan, dan status sosial yang kita miliki, maka kita berarti
masih jauh dari kategori itu.
Nampaknya, inilah yang ditangisi oleh Rasulullah Muhammad SAW, beliau
memahami betul kandungan makna dari wahyu yang turunkan oleh Allah padanya. Itulah
sebabnya, beliau adalah orang yang paling rajin beribadah, paling sering
bertobat dan memohon ampun, serta selalu bersyukur dan mengingat Allah. Bagaimana
dengan umatnya? Bagaimana dengan kita yang jangankan mendalami makna yang
terkandung dalam setiap ayat-ayat Al-Qur’an, membacanya saja jarang. Sehari,
seminggu, sebulan, setahun, atau entah seberapa sering kita membaca Al-Qur’an? Jangan-jangan
kita masih lebih lama menggunakan waktu untuk hal-hal yang tidak berguna, dari
pada mengingat Allah, lebih banyak waktu untuk menghitung-hitung bekal untuk
hari ini, lalu kita lupa dengan bekal untuk hari esok. Jangan sampai kita lebih
banyak menghabiskan waktu untuk berpikir dan mengingat harta, daripada
mengingat berpikir dan mengagungkan asma
Allah. Jika demikian, maka wajarlah Rasulullah SAW menangis ketika menerima
wahyu tentang hakikat penciptaan langit dan bumi (Ali Imran; 190-191). Mari kita
tata hidup ini, semoga menjadi hamba Allah yang senantiasa pandai bersyukur,
dan selalu berzikir kepada Allah SWT. Wallahu
a’lam bish-shawab
Belum ada tanggapan untuk "Ketika Muhammad SAW ‘Menangis’"
Posting Komentar