Ilustrasi |
Kata isra berarti sebuah
perjalanan di tengah malam hari. Dalam bahasa agama, istilah malam hari juga
mengandung makna sebuah kegelapan yang menawarkan keheningan. Di saat orang
tengah tidur nyenyak dalam pelukan malam, justru seorang pencinta damai dan
pencerahan hati dipanggil Tuhan untuk bangun menunaikan shalat Tahajud,
beranjangsana dengan-Nya dalam suasana batin yang amat privat.
Setiap malam seorang muslim sesungguhnya memperoleh panggilan untuk
melakukan isra’ sebuah perjalanan malam yang amat berat karena harus berhasil
mematahkan dorongan nafsu untuk tidur disertai buaian mimpi. Menurut hasil
kajian psikologi, mereka yang membiasakan bangun malam lalu merenungkan makna
dan tujuan hidup dalam suasana hati dan pikiran yang jernih serta dalam suasana
privasi, maka kecerdasan spiritualnya (SQ-spiritual quotient) akan semakin
tajam sehingga seseorang menjadi lebih bijak (wise). Seorang yang SQ-nya tinggi akan lebih mampu mengendalikan
dirinya ditengah badai dan cuaca kehidupan yang bergejolak dan tidak bersahabat
karena kedekatannya dengan Tuhan yang belaian kasih-Nya selalu dirasakan
dalam setiap detak jantung dan langkah kakinya. Dan salah satu jalan yang paling
efektif untuk meningkatkan SQ adalah membiasakan isra, bangun malam untuk
berzikir dan berefleksi tentang hidup sembari memohon bimbingan Tuhan.
Bayangkan, seseorang yang hatinya selalu didekatkan dan bahkan
disambungkan dengan Dia, sumber segala keagungan dan kesucian, maka pikiran,
perasaan, ucapakn, dan tindakan akan mantap, tenang, dan jernih. Sebaliknya,
mereka yang hati dan pikirannya dipenuhi energi negatif, keji, dan kotor
seperti halnya penuh prasangka, iri, tidak senang melihat orang lain sukses dan
bahagia, senang mengambil hak orang lain, maka gerak-gerik ucapan, ekspresi
wajah, dan tindakannya akan selalu merusak apapun dan siapapun yang berada di
sekelilingnya.
Spirit dan makna isra sungguh relevan untuk siapapun yang hendak
memperoleh pencerahan hati dan pikiran dengan jalan mendobrak dominasi
hedonisme yang dilambangkan dengan gelapnya malam, yang oleh Rasulullah
Muhammad justru dibalik sebagai sebuah pendakian sepi dan penuh privasi menuju
orbit kesadaran batin yang lebih tinggi dengan jalan mikraj. Suasana Indonesia
dan dunia hari-hari ini adalah sebuah dunia yang gelap, dunia yang karut-marut
akibat gaya hidup yang hedonistik dan dikendalikan oleh hati dan pikiran yang
tidak senang melihat orang lain hidup damai dan bahagia. Sebuah proses
perubahan sosial yang berlangsung tanpa kendali hati nurani yang tulus dan
pikiran yang mencerahkan. Sebuah hiruk-pikuk politik yang berjalan tanpa desain
dan aktor yang memiliki komitmen kuat terhadap upaya menegakkan nilai-nilai
kemanusiaan dan keadilan sebagaimana yang dicontohkan Nabi Muhammad ketika
harus berjalan sendiri dalam gelap menuju jalan terang dengan berbagai
rintangan yang sangat berat.
Nabi Muhammad menawarkan jalan pembebasan yang disebut mikraj, yang
berarti sebuah transendensi diri keluar dari kungkungan rutinitas hidup dan
dominasi materi menuju langit spiritualitas untuk lebih dekat lagi dengan
Tuhan. Pemimpin sejati yang berhasil memimpin dunia adalah mereka yang mampu
keluar dari jeratan dunia lalu kesadarannya mengatasi dunia. Bagaimana mungkin
seorang pemimpin akan berhasil mencerahkan jalannya sejarah kalau dia masih
terpenjara dalam tembok jabatan, pangkat, popularitas, dan harta benda?
Bagaimana mungkin seorang pemimpin akan bisa menegakkan keadilan jika dirinya
tengah menikmati kekuasaan yang disangga oleh ketidakadilan? Oleh karena itu,
makna dan pesan isra dan mikraj sesungguhnya tepat bagi mereka yang tidak ingin
hidupnya terpenjara oleh sisi gelap (the dark side) dari sejarah kemanusiaan.
Para politisi yang selalu meneriakkan reformasi dan clean government akan
dengan mudah kehilangan arah, jika tidak memiliki komitmen dan kesanggupan yang
kuat untuk melakukan isra dan mikraj, berjalan melawan arus gravitasi bumi
hedonism untuk mencapai langit kesadaran ilahi sehingga memperoleh derajat
kemerdekaan yang sejati. Demikian kuatnya tekad dan pribadi Muhammad untuk
menggapai tangan Tuhan, sampai-sampai sayap sang Jibril terbakar tidak kuat
mendampingi Muhammad karena Jibril tidak mampu lagi mewadahi luapan cahaya
terang dari kasih-Nya.
Pada tahap mikraj ini, kesadaran Muhammad berada dipuncak eksistensi
kosmologis sehingga terlihat planet bumi dan hiruk-pikuk penghuninya bagaikan
kita memandang segerombolan ikan dalam sebuah akuarium. Ikan-ikan itu
beranggapan bahwa dunianya adalah pusat jagad raya, karena mereka tidak tahu
bahwa luasnya akuarium akan lenyap seketika dilemparkan ke tengah lautan.
Demikian sempitnya tahap kesadaran manusia ketika masih terkurung oleh langit
bumi yang ruang lingkupnya bagaikan seluas tempurung kelapa ketika dibandingkan
dengan luasnya jagad raya.
Kesadaran semacam ini pernah dituturkan oleh beberapa astronot sepulang
dari mikraj berkeliling angkasa sehingga ketika turun mendarat di Bumi mereka
merasa bagaikan lahir kembali. Kecerdasan spiritualnya meningkat, wawasan
kosmologinya meluas, kecintaan dan kerinduannya untuk melihat bumi yang damai
semakin menyala, dan kian sadar bahwa diatas planet bumi yang satu ini ternyata
dihuni beragam flora, fauna, dan juga manusia dengan ragam agama, budaya,
bahasa, dan bangsa. Demikian indahnya planet Bumi ketika dilihat dari angkasa
sehingga apa yang disebut peperangan dan penghancuran ekologi merupakan
kjahatan dan dosa kosmis yang amat terkutuk karena merupakan penghianatan pada
Tuhan dan tindakan aniaya pada sesame penduduk bumi.
Kepak sayap untuk melakukan isra dan mikraj tidak hanya dimiliki Jibril
dan Nabi Muhammad, melainkan setiap insan. Tuhan telah meniupkan roh lahi pada
setiap jiwa manusia. Hati nurani kita yang terdalam senantiasa ingin terbang
mendekati Tuhan Yang Maha Kasih dan Maha Suci. Ibarat sangkar, badan kasar dan
sekat-sekat ideologis yang dibangun manusia sungguh teramat sempit dan menyiksa
bagi “sang rajawali” kesadaran ruhani kita untuk terbang melayang-layang
menikmati langit ketuhanan yang maha luas dan indah. Tetapi sayang, jeritan
kerinduannya dan kepak sayapnya lemah karena sudah sekian lama terkurung dalam
sangkar yang sempit dan pengap. Kita hidup dari sangkar ke sangkar, dari kotak
ke kotak, dari penjara ke penjara. Sangkar itu bisa jadi sebuah ideologi, partai,
jabatan, popularitas, dan sekian sangkar lain yang menghalangi kita memperoleh
kebebasan dalam alam spiritual dan intelektual yang merupakan panggung raksana
bagi aktialisasi kemanusiaan kita.
Warisan ajaran para Rasul Tuhan yang menjadi sumber inspirasi dan
pencerah hidup sepanjang zaman, kesemuanya itu didapat melalui perjuangan isra
dan mikraj. Disaat nabi Muhammad dalam keadaan yang sangat tertekan melihat
umatnya menderita karena tekanan lawan, beliau berdoa pada Tuhan untuk
memperoleh kekuatan dan keteguhan hati. Maka terjadilan peristiwa yang disebut
isra mikraj. Salah satu pengalaman batin yang sangat berharga yang ingin
dibagi-bagikan oleh Muhammad pada kita adalah sebuah ajaran dan metodologi
pembebasan diri berupa shalat. Jika shalat dihayati dan dilaksanakan secara
serius, terlebih shalat malam, maka seseorang akan terbebas dari jeratan
obyek-obyek kecintaan dunia yang serba sementara. Dengan shalat, kesadaran dan
orientasi hidup seseorang menjadi lebih tinggi, holistic, dan kepribadiannya
terbentuk sehingga mudah membedakan antara obyek perburuan dunian yang bersifat
instrumental dan fundamental, antara yang palsu dan sejati, antara kebahagiaan
sesaat dan abadi, antara halal dan haram.
Mungkin langit Bumi manusia ini sudah sedemikian gelap dan kotornya oleh
akumulasi energi negatif akibat kezaliman manusia sendiri sehingga cahaya ilahi
sulit menembus kabut tebal yang menutupi hati dan pikiran manusia. Kepak sayap
hati nurani terpatahkan oleh hiruk-pikuk pertengkaran dan pertempuran
antarkelas, antarpartai, antar bangsa, antarsuku yang kesemuanya berujung pada
penghancuran ekologi dan martabat manusia sendiri. Maka berbahagialah mereka
yang mau dan mampu berjalan merobohkan gelapnya tembok kehidupan dan terbang ke
langit kesadaran spiritual mematahkan gravitasi orbit Bumi hedonisme
(2006; 175-180).
Tulisan ini adalah karya Komaruddin Hidayat, diambil dalam bukunya yang diberi judul "Politik Panjat Pinang: Dimana Peran Agama?", diterbitkan oleh Kompas.
Belum ada tanggapan untuk "Kepak Sayap Hati Nurani: Renungan Isra-Mikraj"
Posting Komentar