Pelajaran dari Yogyakarta untuk Wakatobi



Ilustrasi; Tugu Yogyakarta
Membandingkan Daerah Istimewa Yogyakarta dengan Wakatobi tentu bukanlah padanannya. Dalam segala aspek DIY jauh lebih dominan, ditambah lagi dengan statusnya menjadi salah satu daerah istimewa. Namun demikian, pada aspek pariwisata mempunyai kemiripan jika tidak dikatakan sama. Aspek kemiripannya adalah bahwa baik Yogyakarta maupun Wakatobi sama-sama menjadi daerah tujuan wisata. Jika Yogyakarta memperkenalkan potensi daerahnya  yang unggul dalam aspek wisata budaya, maka Wakatobi mempromosikan diri sebagai daerah yang mempunyai keunggulan dalam hal wisata alam karena keindahan pantai dan panorama bawah lautnya. Tetapi, dalam hal ini Yogyakarta dapat dikatakan sebagai “senior” sedangkan Wakatobi adalah “yunior”. Pada konteks inilah penting bagi Wakatobi untuk mengambil banyak pelajaran dari Yogyakarta.
Aspek Menarik DI Yogyakarta
Secara geografis, daerah istimewa (disingkat DI) Yogyakarta adalah daerah setingkat provinsi terkecil setelah DKI Jakarta. Hanya memiliki empat kabupaten (Bantul, Gunungkidul, Kulon Progo, dan Sleman) dan satu kota yakni Kota Yogyakarta. Salah satu keistimewaan DI Yogyakarta adalah Sultan Hamengkubuwana menjabat sebagai Gubernur dan Adipati Paku Alam menempati posisi sebagai Wakil Gubernur. Sehingga daerah ini tidak mengenal pemilihan gubernur secara langsung.
Potensi utama DI Yogyakarta dibanding dengan daerah lain adalah pariwisata. DI Yogyakarta tidak memiliki sumber daya alam yang melimpah seperti halnya Papua, Kalimantan, Nusa Tenggara, Sulawesi, atau Maluku; juga tidak memiliki banyak industri sebagaimana Jakarta, Surabaya, Bandung, Semarang, atau Medan. DI Yogyakarta hanya mempunyai banyak objek dan daya tarik wisata yang dapat menyerap wisatawan, baik wisatawan mancanegara maupun wisatawan nusantara. Objek wisata Yogyakarta meliputi; wisata budaya, wisata alam, wisata belanja, wisata kuliner, wisata belajar, dan wisata pantai. Namun pemerintah DI Yogyakarta menyadari bahwa semua potensi ini tidak mempunyai nilai guna jika tidak menyerap wisatawan. Pemerintah DI Yogyakarta kemudian melakukan berbagai langkah guna menarik minat wisatawan untuk datang berwisata ke Yogyakarta.
Pertama, pemeliharaan semua situs-situs budaya. DIY memiliki tidak kurang dari 515 bangunan cagar budaya yang tersebar di 13 Kawasan Cagar Budaya. Keberadaan aset-aset budaya peninggalan peradaban masa lampau tersebut masih terpelihara. Eksistensinya menjadi embrio dan memberi spirit bagi tumbuhnya dinamika masyarakat dalam kehidupan budaya (Wikipedia.com). Ada budaya fisik (tangible) dan ada yang non fisik (intangible), semua masih terpelihara dan menjadi salah satu daya tarik kunjungan wisata DIY. Kedua, peningkatan kualitas dan layanan pendidikan. Data perguruan tinggi negeri dan swasta di Yogyakarta menunjukan bahwa ada 21 Universitas, 5 Institut, 41 Sekolah Tinggi, 8 Politeknik, dan 61 Akademi. Semua perguruan tinggi tersebut mempunyai akreditasi yang bagus dengan berbagai pilihan bidang kajian. Keberadaan perguruan tinggi dengan kualitas excellent tersebut menjadikan mahasiswa dari berbagai daerah tidak ragu untuk datang ke DIY. Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Daerah Istimewa Yogyakarta memperkirakan potensi ekonomi yang dimiliki oleh seluruh mahasiswa DIY mencapai Rp. 600 Miliar per bulan atau Rp. 7, 2 Triliun per tahun. Angota Dewan Pembina HIPMI DIY Rahadi Saptata Abra, menuturkan potensi tersebut diperoleh dari perhitungan biaya belanja setiap mahasiswa yang ada di DIY setiap tahun (JOGJA.CO).
Ketiga, optimalisasi potensi wisata pantai. Semula masyarakat Yogya tidak senang ke laut atau ke pantai, masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan juga jarang. Pernah pada suatu forum ilmiah di Aula Fakutas Geografi UGM, seorang pejabat tinggi di Dinas Perikanan Provinsi DIY menceritakan bahwa “masyarakat Yogya mulai berani melaut itu nanti sekitar tahun 90-an. Itupun payah, karena melautnya satu hari namun mabuknya satu minggu. Tetapi sekarang sudah mulai banyak yang senang melaut”. Seiring dengan pergeseran trend pariwisata, dari wisata alam ke wisata pantai dan bawah laut, maka pemerintah DIY mengoptimalkan pengelolaan wisata pantai. Salah satu pantai yang saat ini paling sering dikunjungi oleh wisatawan adalah Pantai Parangtritis.  Keempat, biaya hidup murah. Siapa saja yang datang ke Yogyakarta, pasti tidak akan mengalami kesulitan dalam biaya hidup. Harga makanan, pakaian, buku, dan lain-lain semua serba murah. DIY mempunyai banyak makanan khas, dan dijajakan dengan harga terjangkau. Di daerah Yogyakarta, kita masih menemukan harga nasi kuning 2.500 rupiah, nasi ayam 8.000 rupiah, atau makanan khas Yogya semacam Gudeg, gado-gado, lotek, ketoprak, pecel, masih dijual dibawah harga 10.000 rupiah. Sehingga, jangan heran kalau banyak wisatawan mancanegara yang semula tinggal di Bali lalu berpindah ke Yogya hanya untuk menekan biaya hidup. Kelima, jaminan keamanan. Salah satu kelebihan DIY adalah iklimnya yang kondusif. Saya selalu katakan bahwa iklim Yogyakarta itu “membelajarkan”. Artinya lingkungan sosial mengharuskan setiap mahasiswa mau tidak mau harus belajar. Jika ada yang tidak belajar, maka akan sangat mudah teridentifikasi. Aktivitas mahasiswa adalah kuliah, diperpustakaan, dilaboratorium, ke warnet, ke toko buku, berdiskusi, belajar kelompok, menulis, membaca, dan lain sebagainya. Semua masyarakat, entah penduduk setempat atau pendatang, yang datang kuliah atau tidak, pemerintah atau masyarakat biasa, aparat keamanan atau warga sipil saling mendukung dan bertanggung jawab dalam penciptaan lingkungan yang aman. Pada akhirnya, semua pendatang merasa nyaman dan senang berlama-lama di Yogyakarta.
Pelajaran Untuk Wakatobi
Lemba'a; Tradisi Wakatobi
Mengharapkan Wakatobi maju dan berkembang seperti halnya DI Yogyakarta, tentu butuh waktu. DIY telah memiliki sejarah panjang pembangunan, dan itu terjadi bahkan sebelum Indonesia merdeka. Kita dapat mengibaratkan Yogyakarta sebagai sosok yang telah tumbuh dewasa dan mapan, sedangkan Wakatobi ibarat anak baru lahir, yang mulai belajar merangkak jalan. Dengan demikian, mengambil pelajaran pada daerah yang telah maju seperti halnya DI Yogyakarta, tentu bukanlah “aib” bagi Wakatobi. Wakatobi butuh banyak referensi jika ingin potensi wisata yang dimiliki dapat dimanfaatkan secara optimal.
Wakatobi dapat belajar bagaimana DIY memelihara semua situs-situs sejarah yang dimiliki, guna menumbuhkan daya tarik wisatawan. Sebagai daerah yang pernah masuk dalam wilayah kekuasaan Kesultanan Buton dan menjadi salah satu sistem pertahanan laut (Barata Kahedupa), tentu Wakatobi memiliki banyak situs sejarah yang terkait dengan hal tersebut. Di Tindoi ada benteng, di Mandati Tonga, Kapota, dan Liya juga terdapat benteng. Di Liya ada Togo La Mantanari, dan ada kuburan Haji yang diduga sebagai salah satu Ulama yang menyebarkan Islam. Demikian halnya di Kaledupa, Tomia, maupun Binongko terdapat situs-situs sejarah. Sayangnya, keberadaan situs-situs sejarah ini masih memprihatinkan, nasibnya kurang terurus atau mungkin sudah terlupakan. Wakatobi juga dapat belajar bagaimana DIY mempertahankan sistem norma dalam masyarakat. Sistem norma yang dimiliki tidak hanya berlaku bagi abdi dalem (orang-orang yang berada di keraton), tetapi berlaku untuk ketertiban umum. Ketika ada sekelompok pendatang yang berencana melakukan deklarasi kemerdekaan, pam swakarsa langsung bersiaga dengan sendirinya, begitu juga ketika Sultan hendak menertibkan Jalan Malioboro, abdi dalem langsung bergerak dan tidak menimbulkan masalah sedikitpun. Bagaimana dengan Wakatobi? Pada masa kepemimpinan Hugua, lembaga adat pada masing-masing kadie sempat terbentuk. Tetapi, eksistensinya dapat dikatakan “wujuduhu ka’adamihi” (ada dan tidak ada sama saja). Lembaga-lembaga adat ini hanya hadir ketika ada acara baca do’a, setelah itu selesai. Padahal, aspek penting dari pembentukan lembaga adat adalah agar nilai dan norma adat dapat berfungsi mewujudkan keteraturan sosial. Posisinya adalah suplementer sekaligus komplementer dari norma hukum positif.
Wakatobi dapat belajar dari DIY bagaimana kreativitas masyarakat dalam menumbuhkan wisata kuliner. Selain dikenal sebagai kota pelajar, Yogyakarta juga dikenal sebagai kota Gudeg. Makanan khas yang terbuat dari nangka muda dan dimasak dengan santan ini, sangat mudah ditemukan pada pagi hari disetiap sudut kota Yogya, harganya pun sangat terjangkau. Bukan hanya Gudeg, makanan khas lainnya semisal sate jamur, Oseng-oseng Mercon, Jadah Tempe, Cethil, Tiwul, Gatot, Geplak, dan lain sebagainya juga sangat mudah ditemukan dengan harga murah. Bagaimana dengan Wakatobi? Wakatobi memiliki kekayaan sumber daya laut yang luar biasa. Ikan sangat melimpah dengan kualitas rasa kelas wahid. Sangat terasa perbedaan kualitas rasa ikan Wakatobi dengan ikan dari daerah-daerah lain, semisal Kendari, Raha, maupun Bau-Bau. Apakah lagi dibandingkan dengan kualitas rasa ikan dari wilayah Jawa, tentu sangat jauh perbedaannya. Tapi sungguh disayangkan, bahwa harga ikan di Wakatobi cukup mahal, demikian halnya dengan biaya hidup. Situasi ini tentu akan membuat wisatawan tidak betah berlama-lama tinggal di Wakatobi. Potensi sumber daya laut lainnya adalah rumput laut atau agar-agar. Tetapi, potensi ini belum mampu dikelola dengan baik menjadi cemilan khas Wakatobi. Demikian pula dengan potensi kerang-kerang, hasil laut ini sangat banyak di Wakatobi, namun dimanfaatkan sebatas mengkonsumsi isinya, sedangkan kulitnya dibuang begitu saja, masyarakat belum mampu mengelolanya menjadi cenderamata khas Wakatobi.
Wakatobi dapat belajar dari DIY bagaimana mengembangkan potensi wisata pantainya. Wakatobi memiliki banyak pantai indah semacam Patuno, Waha, Hoga, dan One Moba’a. Namun sungguh disayangkan, pantai-pantai yang indah itu sebagian tidak terurus, dan sebagian lagi mulai rusak karena pasir putihnya habis oleh ulah oknum-oknum serakah perusak lingkungan. Wakatobi juga dapat belajar bagaimana masyarakat DIY mewujudkan situasi yang kundusif di daerahnya. Tidak ada perkelahian antar pemuda atau kelompok, jarang terjadi ngebut-ngebutan di jalan raya. Masyarakat kemana saja akan merasa aman baik pada waktu siang hari ataupun malam hari. Berbagai event budaya dalam skala internasional maupun nasional dihadirkan di Yogyakarta. Untuk siapa? Untuk para wisatawan, baik mancanegara maupun nusantara. Dengan iklim yang kondusif, mahasiswa menjadi nyaman dalam belajar, demikian pula wisatawan menjadi nyaman berwisata, entah wisata budaya, wisata kuliner, wisata belanja, wisata pantai atau wisata belajar. Bagaimana dengan Wakatobi? Nampaknya, Wakatobi mesti banyak belajar dari DIY. Perkelahian antar pemuda yang sering terjadi hingga memakan korban bisa menjadi penyebab enggannya wisatawan datang ke Wakatobi. Padahal, kita mesti sadari bahwa semakin tinggi angka kunjungan wisata, geliat ekonomi masyarakat semakin “hidup”. Sebaliknya, semakin rendah angka kunjungan wisata (terutama wisatawan mancanegara), geliat ekonomi masyarakat menjadi lesu. Semoga Wakatobi dapat mengambil pelajaran ini. Wallahu a’lam bish-shawab.

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Pelajaran dari Yogyakarta untuk Wakatobi"

Posting Komentar