Ilustrasi; Tugu Yogyakarta |
Aspek Menarik DI Yogyakarta
Secara geografis,
daerah istimewa (disingkat DI) Yogyakarta adalah daerah setingkat provinsi terkecil
setelah DKI Jakarta. Hanya memiliki empat kabupaten (Bantul, Gunungkidul, Kulon
Progo, dan Sleman) dan satu kota yakni Kota Yogyakarta. Salah satu keistimewaan
DI Yogyakarta adalah Sultan Hamengkubuwana menjabat
sebagai Gubernur dan Adipati Paku Alam menempati posisi
sebagai Wakil Gubernur. Sehingga daerah ini tidak mengenal pemilihan gubernur
secara langsung.
Potensi utama DI Yogyakarta dibanding dengan daerah lain adalah pariwisata.
DI Yogyakarta tidak memiliki sumber daya alam yang melimpah seperti halnya
Papua, Kalimantan, Nusa Tenggara, Sulawesi, atau Maluku; juga tidak memiliki
banyak industri sebagaimana Jakarta, Surabaya, Bandung, Semarang, atau Medan.
DI Yogyakarta hanya mempunyai banyak objek dan daya tarik wisata yang dapat
menyerap wisatawan, baik wisatawan mancanegara maupun wisatawan nusantara.
Objek wisata Yogyakarta meliputi; wisata budaya, wisata alam, wisata belanja, wisata
kuliner, wisata belajar, dan wisata pantai. Namun pemerintah DI Yogyakarta
menyadari bahwa semua potensi ini tidak mempunyai nilai guna jika tidak
menyerap wisatawan. Pemerintah DI Yogyakarta kemudian melakukan berbagai
langkah guna menarik minat wisatawan untuk datang berwisata ke Yogyakarta.
Pertama, pemeliharaan semua
situs-situs budaya. DIY memiliki tidak kurang dari 515 bangunan cagar budaya
yang tersebar di 13 Kawasan Cagar Budaya. Keberadaan aset-aset budaya
peninggalan peradaban masa lampau tersebut masih terpelihara. Eksistensinya
menjadi embrio dan memberi spirit bagi tumbuhnya dinamika masyarakat dalam kehidupan
budaya (Wikipedia.com). Ada budaya fisik (tangible)
dan ada yang non fisik (intangible),
semua masih terpelihara dan menjadi salah satu daya tarik kunjungan wisata DIY.
Kedua, peningkatan kualitas dan
layanan pendidikan. Data perguruan tinggi negeri dan swasta di Yogyakarta
menunjukan bahwa ada 21 Universitas, 5 Institut, 41 Sekolah Tinggi, 8
Politeknik, dan 61 Akademi. Semua perguruan tinggi tersebut mempunyai akreditasi
yang bagus dengan berbagai pilihan bidang kajian. Keberadaan perguruan tinggi dengan
kualitas excellent tersebut
menjadikan mahasiswa dari berbagai daerah tidak ragu untuk datang ke DIY.
Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Daerah Istimewa Yogyakarta
memperkirakan potensi ekonomi yang dimiliki oleh seluruh mahasiswa DIY mencapai
Rp. 600 Miliar per bulan atau Rp. 7, 2 Triliun per tahun. Angota Dewan Pembina
HIPMI DIY Rahadi Saptata Abra, menuturkan potensi tersebut diperoleh dari
perhitungan biaya belanja setiap mahasiswa yang ada di DIY setiap tahun
(JOGJA.CO).
Ketiga, optimalisasi potensi
wisata pantai. Semula masyarakat Yogya tidak senang ke laut atau ke pantai, masyarakat
yang berprofesi sebagai nelayan juga jarang. Pernah pada suatu forum ilmiah di
Aula Fakutas Geografi UGM, seorang pejabat tinggi di Dinas Perikanan Provinsi DIY
menceritakan bahwa “masyarakat Yogya mulai berani melaut itu nanti sekitar
tahun 90-an. Itupun payah, karena melautnya satu hari namun mabuknya satu
minggu. Tetapi sekarang sudah mulai banyak yang senang melaut”. Seiring dengan
pergeseran trend pariwisata, dari
wisata alam ke wisata pantai dan bawah laut, maka pemerintah DIY mengoptimalkan
pengelolaan wisata pantai. Salah satu pantai yang saat ini paling sering
dikunjungi oleh wisatawan adalah Pantai Parangtritis. Keempat,
biaya hidup murah. Siapa saja yang datang ke Yogyakarta, pasti tidak akan
mengalami kesulitan dalam biaya hidup. Harga makanan, pakaian, buku, dan
lain-lain semua serba murah. DIY mempunyai banyak makanan khas, dan dijajakan
dengan harga terjangkau. Di daerah Yogyakarta, kita masih menemukan harga nasi
kuning 2.500 rupiah, nasi ayam 8.000 rupiah, atau makanan khas Yogya semacam
Gudeg, gado-gado, lotek, ketoprak, pecel, masih dijual dibawah harga 10.000
rupiah. Sehingga, jangan heran kalau banyak wisatawan mancanegara yang semula
tinggal di Bali lalu berpindah ke Yogya hanya untuk menekan biaya hidup. Kelima, jaminan keamanan. Salah satu
kelebihan DIY adalah iklimnya yang kondusif. Saya selalu katakan bahwa iklim Yogyakarta
itu “membelajarkan”. Artinya lingkungan sosial mengharuskan setiap mahasiswa
mau tidak mau harus belajar. Jika ada yang tidak belajar, maka akan sangat
mudah teridentifikasi. Aktivitas mahasiswa adalah kuliah, diperpustakaan,
dilaboratorium, ke warnet, ke toko buku, berdiskusi, belajar kelompok, menulis,
membaca, dan lain sebagainya. Semua masyarakat, entah penduduk setempat atau
pendatang, yang datang kuliah atau tidak, pemerintah atau masyarakat biasa, aparat
keamanan atau warga sipil saling mendukung dan bertanggung jawab dalam
penciptaan lingkungan yang aman. Pada akhirnya, semua pendatang merasa nyaman
dan senang berlama-lama di Yogyakarta.
Pelajaran Untuk Wakatobi
Lemba'a; Tradisi Wakatobi |
Wakatobi dapat belajar bagaimana DIY memelihara semua situs-situs sejarah
yang dimiliki, guna menumbuhkan daya tarik wisatawan. Sebagai daerah yang
pernah masuk dalam wilayah kekuasaan Kesultanan Buton dan menjadi salah satu
sistem pertahanan laut (Barata Kahedupa),
tentu Wakatobi memiliki banyak situs sejarah yang terkait dengan hal tersebut.
Di Tindoi ada benteng, di Mandati Tonga, Kapota, dan Liya juga terdapat
benteng. Di Liya ada Togo La Mantanari, dan ada kuburan Haji yang diduga
sebagai salah satu Ulama yang menyebarkan Islam. Demikian halnya di Kaledupa,
Tomia, maupun Binongko terdapat situs-situs sejarah. Sayangnya, keberadaan situs-situs
sejarah ini masih memprihatinkan, nasibnya kurang terurus atau mungkin sudah
terlupakan. Wakatobi juga dapat belajar bagaimana DIY mempertahankan sistem
norma dalam masyarakat. Sistem norma yang dimiliki tidak hanya berlaku bagi abdi dalem (orang-orang yang berada di
keraton), tetapi berlaku untuk ketertiban umum. Ketika ada sekelompok pendatang
yang berencana melakukan deklarasi kemerdekaan, pam swakarsa langsung bersiaga
dengan sendirinya, begitu juga ketika Sultan hendak menertibkan Jalan Malioboro, abdi dalem langsung bergerak dan tidak
menimbulkan masalah sedikitpun. Bagaimana dengan Wakatobi? Pada masa
kepemimpinan Hugua, lembaga adat pada masing-masing kadie sempat terbentuk. Tetapi, eksistensinya dapat dikatakan “wujuduhu ka’adamihi” (ada dan tidak ada
sama saja). Lembaga-lembaga adat ini hanya hadir ketika ada acara baca do’a,
setelah itu selesai. Padahal, aspek penting dari pembentukan lembaga adat
adalah agar nilai dan norma adat dapat berfungsi mewujudkan keteraturan sosial.
Posisinya adalah suplementer sekaligus komplementer dari norma hukum positif.
Wakatobi dapat belajar dari DIY bagaimana kreativitas masyarakat dalam
menumbuhkan wisata kuliner. Selain dikenal sebagai kota pelajar, Yogyakarta
juga dikenal sebagai kota Gudeg. Makanan
khas yang terbuat dari nangka muda dan dimasak dengan santan ini, sangat mudah
ditemukan pada pagi hari disetiap sudut kota Yogya, harganya pun sangat
terjangkau. Bukan hanya Gudeg,
makanan khas lainnya semisal sate jamur, Oseng-oseng Mercon, Jadah Tempe,
Cethil, Tiwul, Gatot, Geplak, dan lain sebagainya juga sangat mudah ditemukan
dengan harga murah. Bagaimana dengan Wakatobi? Wakatobi memiliki kekayaan
sumber daya laut yang luar biasa. Ikan sangat melimpah dengan kualitas rasa
kelas wahid. Sangat terasa perbedaan kualitas rasa ikan Wakatobi dengan ikan
dari daerah-daerah lain, semisal Kendari, Raha, maupun Bau-Bau. Apakah lagi
dibandingkan dengan kualitas rasa ikan dari wilayah Jawa, tentu sangat jauh
perbedaannya. Tapi sungguh disayangkan, bahwa harga ikan di Wakatobi cukup
mahal, demikian halnya dengan biaya hidup. Situasi ini tentu akan membuat
wisatawan tidak betah berlama-lama tinggal di Wakatobi. Potensi sumber daya
laut lainnya adalah rumput laut atau agar-agar. Tetapi, potensi ini belum mampu
dikelola dengan baik menjadi cemilan khas Wakatobi. Demikian pula dengan
potensi kerang-kerang, hasil laut ini sangat banyak di Wakatobi, namun
dimanfaatkan sebatas mengkonsumsi isinya, sedangkan kulitnya dibuang begitu
saja, masyarakat belum mampu mengelolanya menjadi cenderamata khas Wakatobi.
Wakatobi dapat belajar dari DIY bagaimana mengembangkan potensi wisata
pantainya. Wakatobi memiliki banyak pantai indah semacam Patuno, Waha, Hoga,
dan One Moba’a. Namun sungguh disayangkan, pantai-pantai yang indah itu
sebagian tidak terurus, dan sebagian lagi mulai rusak karena pasir putihnya
habis oleh ulah oknum-oknum serakah perusak lingkungan. Wakatobi juga dapat
belajar bagaimana masyarakat DIY mewujudkan situasi yang kundusif di daerahnya.
Tidak ada perkelahian antar pemuda atau kelompok, jarang terjadi ngebut-ngebutan
di jalan raya. Masyarakat kemana saja akan merasa aman baik pada waktu siang
hari ataupun malam hari. Berbagai event budaya dalam skala internasional maupun nasional dihadirkan di Yogyakarta. Untuk siapa? Untuk para wisatawan, baik mancanegara maupun nusantara. Dengan iklim yang kondusif, mahasiswa menjadi nyaman
dalam belajar, demikian pula wisatawan menjadi nyaman berwisata, entah wisata
budaya, wisata kuliner, wisata belanja, wisata pantai atau wisata belajar.
Bagaimana dengan Wakatobi? Nampaknya, Wakatobi mesti banyak belajar dari DIY.
Perkelahian antar pemuda yang sering terjadi hingga memakan korban bisa menjadi
penyebab enggannya wisatawan datang ke Wakatobi. Padahal, kita mesti sadari
bahwa semakin tinggi angka kunjungan wisata, geliat ekonomi masyarakat semakin
“hidup”. Sebaliknya, semakin rendah angka kunjungan wisata (terutama wisatawan
mancanegara), geliat ekonomi masyarakat menjadi lesu. Semoga Wakatobi dapat
mengambil pelajaran ini. Wallahu a’lam
bish-shawab.
Belum ada tanggapan untuk "Pelajaran dari Yogyakarta untuk Wakatobi"
Posting Komentar