Hikmah Jumat
Ilustrasi |
Bermula ketika menghadiri acara pelamaran, saat itu sekedar berperan
sebagai ‘pelengkap’ alias ikut meramaikan, karena keluarga laki-laki telah
memberikan kepercayaan kepada salah satu orang tua untuk menjadi juru bicara
guna menyampaikan hajatan. Setelah sampai dirumah perempuan dan juru bicara
sudah menyampaikan maksud kedatangan, maka mulailah para orang tua adat baik
dari pihak keluarga laki-laki maupun dari keluarga perempuan berdiskusi tentang
kewajiban adat. Diskusi mulai menghangat ketika masuk pada pembahasan tentang
biaya yang akan dikenakan kepada pihak laki-laki yang dalam bahasa lokal
(Wakatobi) dikenal dengan istilah monea.
Monea berarti kebiasaan atau tradisi
yang menjadi acuan untuk menentukan beban yang akan dikenakan kepada keluarga
laki-laki dari keluarga perempuan. Pemberlakuan monea akan berbeda, tergantung pada strata sosial keluarga yang
melamar maupun yang dilamar. Dalam diskusi mengenai hal ini, ada tiga istilah
yang menjadi fokus bahasan, yaitu; kamondo,
rangkami, dan tambulako. Tetapi, karena masing-masing keluarga mempunyai sudut
pandang yang berbeda mengenai ketiga hal tersebut, maka diskusi pada malam itu
berakhir deadlock alias tidak
menemukan kata sepakat.
Pengalaman lain adalah ketika menghadiri acara kedukaan, ketika ada warga
yang meninggal dunia, lalu ikut menyaksikan bagaimana jenazah diselenggarakan.
Pada beberapa kasus, pihak keluarga duka hanya larut dalam kesedihan, larut dalam pelayanan warga yang datang melayat, sibuk menghubungi para orang tua
adat yang akan datang memberikan tahlilan (bahasa lokal; ratibu), lalu mayat dibiarkan dipembaringannya. Kegiatan utama
terkait dengan mayat, yaitu dimandikan, dikafani, dishalatkan, dan dikuburkan terkadang harus tertunda dalam waktu yang lama hanya karena menunggu
pelaksanaan tahlilan.
Dari beberapa kejadian tersebut, nampak bahwa ada persoalan yang harus
segera diluruskan dalam masyarakat kita. Masyarakat, dalam prakteknya ternyata
lebih mengedepankan tradisi daripada syariat. Kondisi ini tentu harus dirubah,
masyarakat harus mendahulukan syariat daripada tradisi, mendahulukan agama
daripada budaya. Dalam falsafah Buton dikatakan bahwa;
Bolimo karo somanamo lipu
Bolimo lipu somanamo sara
Bolimo sara somanamo agama
Dalam Islam, syariat dimaknai sebagai hukum dan aturan yang mengatur
seluruh aspek kehidupan manusia. Selain berisi hukum dan aturan, syariat juga
berisi mengenai berbagai penyelesaian masalah dalam kehidupan. Umat muslim
menganggap bahwa syariat merupakan petunjuk menyeluruh dan sempurna dalam
kehidupan manusia, baik menyangkut urusan pribadi dan komunal, urusan material
dan spiritual, serta urusan hidup, urusan mati, maupun urusan hidup sesudah
mati. Sumber utama syariat dalam ajaran Islam adalah Al-Qur’an, hadits, dan
ijtihad. Sedangkan tradisi atau kebiasaan adalah sesuatu yang telah dilakukan
secara turun temurun dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok
masyarakat. Dengan demikian, syariat lebih bersifat universal karena bersumber
dari ajaran agama, sedangkan tradisi lebih bersifat spasial karena bersumber
dari kebiasaan masyarakat tertentu.
Terjadinya pembauran antara syariat dan tradisi dalam kehidupan
masyarakat tentu tidak dapat dipisahkan dari akar sejarah perkembangan
agama-agama di nusantara. Bermula dari animisme, lalu berkembang ke dinamisme,
kemudian secara berturut-turut masuk dan berkembang agama Budha, Hindu, dan
Islam. Masih kuatnya sistem keyakinan pra Islam dalam praktek keberagamaan
masyarakat nampaknya menjadi penyebab sulitnya menghindari terjadinya pembauran
antara tradisi dan syariat. Praktek ibadah keyakinan baru (Islam) dilaksanakan
tetapi ritual keyakinan lama masih sulit dihilangkan. Aspek lain yang
menjadikan sulitnya menghindari pembauran antara tradisi dan syariat adalah
strategi dakwah yang dilakonkan oleh para muballig yang sangat menekankan
kesantunan. Ajaran lama tidak lansung disalahkan atau dihilangkan, tetapi di
susupi dengan ajaran Islam. Jadilah bacaan-bacaan yang semula menggunakan
mantra yang tidak jelas maknanya diganti dengan bacaan asma Allah atau
puji-pujian kepada baginda Rasulullah Muhammad SAW.
Meskipun demikian, antara syariat dengan tradisi tetap harus dipisahkan.
Masyarakat memang tidak dapat dipisahkan dari Agama dan budaya, dengan demikian
juga tak tapat dipisahkan dari syariat dan tradisi. Tetapi masyarakat harus
diberikan penyadaran bahwa antara syariat dan tradisi, yang harus dikedepankan
adalah syariat bukan tradisi. Pada kasus pernikahan misalnya, menikah adalah
peristiwa agama sehingga yang harus dikedepankan adalah syarat sahnya nikah.
Pada konteks ini, yang harus didiskusikan secara tuntas adalah apakah kedua
mempelai sama-sama mau, apa mas kawinnya, siapa walinya, siapa yang akan
menuntun pengucapan tobat, siapa yang menikahkan, ada ijab Kabul, ada khutbah
nikah atau nasihat perkawinan, dan ada saksi. Adapun diskusi mengenai tradisi
seperti kamondo, rangkami, dan tambulako
tidak masalah dilakukan, sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran agama, dan
tidak memicu konflik keluarga yang berakhir pada batalnya pernikahan.
Demikian pula dalam penyelenggaraan jenazah. Dalam syariat Islam,
kewajiban keluarga yang ditinggalkan adalah; memandikan, mengafani,
mensholatkan, dan menguburkan. Mengenai hal ini lebih cepat dilakukan adalah
lebih baik, bukan malah menunda-nundanya. Pelaksanaan ratibu (tahlilan) sebenarnya hanyalah tradisi, karena dalam ajaran
Islam tidak ditemukan adanya nash
yang menjelaskan tentang hal tersebut. Bahkan dalam sebuah hadits dijelaskan
bahwa “apabila manusia meninggal dunia
maka terputuslah semua amal ibadahnya, keduali tiga hal, yaitu; anak yang
sholeh yang terus mendoakannya, amal jariyah, dan ilmu yang bermanfaat”.
Akan tetapi, jika tahlilan dianggap
sebagai bagian dari do’a yang dilakukan oleh anak atau saudara kepada yang
meninggal, maka dapat saja itu dilakukan. Tetapi, tahlilan tidak boleh
menghalangi percepatan penguburan jenazah. Dengan demikian, waktu yang tepat
dilakukan tahlilan (jika perlu) adalah ketika mayat telah dikebumikan, bukan
sebelum dikebumikan. Wallahu a’lam bish
shawab
Native American tribes have certain rights underneath federal law to 빅카지노 govern themselves, similar to certain rights to offer playing. This implies that the state usually can not regulate tribal playing besides as allowed by federal law and federally approved agreements between a tribe and state (known as tribal-state compacts). When a tribe needs to offer playing on its lands, federal law requires that the state negotiate a compact with the tribe. If the tribe and the state can not agree, the federal authorities may problem a compact instead. In California, compacts enable tribal casinos to offer slot machines and different video games on tribal lands. They additionally require certain payments, similar to to the state and local governments.
BalasHapus