Ilustrasi Pergantian Tahun |
Ada fenomena sosio-kultural yang menarik dipenghujung
bulan desember 2016, yaitu ketika ‘masyarakat desa’ dalam jumlah yang tidak
sedikit berbondong-bondong memasuki wilayah kota, dan pada saat yang bersamaan ‘masyarakat
kota’ beramai-ramai memasuki wilayah desa. Masyarakat melakukan pergeseran dari
tempatnya yang lama ke tempat yang baru yang menurutnya adalah tempat yang
nyaman, guna menghilangkan kepenatan, serta merayakan momentum pergantian tahun
dalam suasana yang lebih manarik. Dikatakan sebagai fenomena sosio-kultural
karena peristiwa ini tidak hanya terjadi pada kelompok tertentu atau hanya pada
masyarakat Indonesia, tetapi terjadi pada semua golongan masyarakat di semua
belahan dunia, dan tidak hanya terjadi pada tahun ini saja, tetapi berlangsung
setiap tahun. Untuk apa? Untuk merayakan pergantian tahun yang menurutnya
adalah peristiwa langka karena hanya terjadi sekali dalam setahun.
Dalam tradisi Islam klasik, berpindahnya masyarakat
dari satu tempat ke tempat yang lain pernah terjadi dan itu dilakukan oleh
Rasulullah Muhammad SAW bersama para sahabatnya, yaitu ketika berpindah dari
Mekkah ke Madinah. Pada saat itu, konsep ‘kota’ dan ‘desa’ tidak digunakan,
meskipun pada akhirnya diketahui bahwa pemilihan nama madinah (semula Yatsrib)
bermakna kota dalam terminologi Arab.
Peristiwa berpindahnya Rasulullah SAW bersama para
sahabat di istilahkan dengan Hijrah. Istilah
hijrah berasal dari Bahasa Arab, yang berarti meninggalkan, menjauhkan dari dan
berpindah tempat. Makna ini merujuk pada apa yang dilakukan oleh Rasulullah
bersama para sahabat, yaitu ketika meninggalkan, menjauhkan dari tempat yang
lama, yaitu Mekkah dan berpindah ke tempat yang baru, yaitu Madinah. Tujuannya adalah
mempertahankan eksistensi Islam dan mengaktualisasikannya sebagai ajaran yang
membawa kedamaian bagi seluruh umat manusia. Lalu, mengapa pilihannya adalah Madinah?
Umar bin Khattab pernah berkata “ Madinah adalah induk dari segala kota. Dari kota
inilah, Islam membebaskan beberapa kota lainnya, seperti Mesir, Irak, Damaskus,
dan lain-lain.” Komaruddin Hidayat dalam kata pengantarnya pada buku “Madinah”
karangan Zuhairi Misrawi (2009), menjelaskan bahwa dalam bahasa Arab, Madinah
tidak sekedar bermakna kota dalam wujud bangunan fisik melainkan terkandung
makna dan visi filosofis-sosiologis. Madinah yang dalam bahasa Yunani mirip
dengan konsep polis, mengasumsikan
adanya aturan yang disepakati bersama oleh penghuninya yang tinggal secara
tetap (hadhir) sehingga pada
urutannya mereka secara sinergis membangun hadharah
atau peradaban. Konsep Madinah makanya merupakan antitesis terhadap kehidupan
nomaden (a’rab) yang memiliki tradisi
berperang dengan mengandalkan kekuatan fisik.
Fenomena ‘pergeseran’ masyarakat desa ke kota atau
sebaliknya, menjelang perayaan tahun baru, dapat dikatakan sebagai peristiwa “hijrah”
masa kini. Masyarakat melakukan perpindahan dari tempat yang lama ke tempat
yang baru (kota/desa) guna menemukan suasana yang menurutnya lebih nyaman, enjoyable, dan meaningful. Bedanya adalah, jika hijrah masa lalu lebih bersifat
substansial, maka hijrah masa kini lebih bersifat seremonial. Hijrah masa lalu
adalah langkah strategis kaum muslimin dibawah komando Rasulullah Muhammad SAW
guna mempertahankan eksistensi Islam ditengah resistensi kaum kafir. Sedangkan hijrah
masa kini (pergeseran untuk perayaan tahun baru) hanyalah rutinitas formal
biasa, tidak lebih dari sekedar memanfaatkan waktu libur, berkumpul keluarga,
atau bertemu teman diselingi sejuta cerita sukses atau romantisme masa lalu.
Maka, ada baiknya jika nilai substansi dari ‘hijrah
masa lalu’ tetap kita bawa dalam konteks ‘hijrah masa kini’. Dengan langkah
ini, maka aspek yang akan kita tampakkan pada peristiwa ‘hijrah masa kini’
adalah bukan hanya aspek seremonialnya saja, tetapi juga aspek substansialnya. Bagaimana
caranya? Pertama, meninggalkan tempat
yang lama. Tempat disini bukan bermakna wilayah atau nama daerah, tetapi adalah
posisi kita dalam konteks membangun relasi dengan sesama (dialektikal
horizontal) dan membangun relasi dengan Tuhan (dialektikal vertikal). Apakah kita
termasuk hamba yang pandai bersyukur kepada Khaliq atau tidak, dan apakah kita termasuk
pribadi yang baik kepada sesama atau tidak. Dari perenungan akan hal ini, kita
akan menemukan tempat kita yang sebenarnya. Konkritnya seperti ini; dari 24 jam
dalam satu hari satu malam kita diberikan nafas oleh Allah, ada berapa menit
gita gunakan untuk shalat? Dari dua belas bulan kita diberikan waktu oleh Allah
dalam setahun, ada berapa hari kita gunakan untuk berpuasa? Dari sekian banyak
harta (uang/emas/benda berharga lainnya) yang kita kumpulkan dalam setahun, ada
berapa persen yang kita keluarkan untuk zakatnya? Dan sejumlah pertanyaan
lainnya. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut akan menentukan posisi
kita yang sebenarnya, itulah tempat kita yang lama. Jika ternyata jawabannya
masih negatif atau belum maksimal, maka berarti tempat itu harus segera kita tinggalkan,
Kedua, memasuki
tempat yang baru. Tempat baru hanyalah istilah, wujudnya adalah area yang akan
kita masuki. Dari dunia gelap kita masuki tempat baru yang terang, dari tempat
kotor kita masuki tempat baru yang lebih bersih. Dalam konteks ini, penting
untuk membangun komitmen yang baru guna menjadi hamba yang baru yaitu yang
lebih baik dari sebelumnya. Dengan demikian, sangat penting untuk kita
renungkan perkataan sahabat Umar bin Khattab bahwa “hendaklah kalian menghisab diri kalian sebelum kalian dihisab, dan hendaklah
kalian menimbang diri kalian sebelum kalian ditimbang, dan bersiap-siaplah
untuk hari besar ditampakkannya amal”. Memasuki tempat yang baru berarti
meninggalkan semua kebiasaan lama yang tidak baik dan menggantinya dengan
kebiasaan baru yang lebih baik; menjauhi perbuatan-perbuatan lama yang tidak
bermanfaat dan menggantinya dengan kebiasaan baru yang lebih bermanfaat;
merubah kebiasaan melanggar dengan kebiasaan taat hukum; meninggalkan perbuatan tercela dan menggantinya dengan perbuatan terpuji, dan lain sebagainya.
Dua hal tersebut semestinya menjadi alasan mengapa
kita berhijrah, Dengan demikian, aspek seremonial dan aspek substansial included di dalam perayaan pergantian
tahun. Apakah berhijrah dari desa ke kota, atau dari kota ke desa, hal yang
harus kita kedepankan adalah menghisab diri kita apakah kita sudah menjadi
lebih baik serta membangun komitmen baru untuk menjadi lebih baik lagi. Wallahu a’lam bish-shawab.
Belum ada tanggapan untuk "'Hijrah' untuk Refleksi Pergantian Tahun"
Posting Komentar